Alkisah, seorang profesor dari
sebuah universitas ternama memiliki hasrat menggelora untuk menemukan dan
mendapatkan keinginannya yang terakhir. Selain terkenal di seantero dunia
sebagai pakar arkeologi suku Maya, dia juga mengarang beberapa buku,
menerbitkan hasil risetnya dalam jurnal-jurnal bergengsi, dan sering menjadi
pembicara pada banyak konferensi internasional. Namun, itu semua belum cukup.
Dia telah menemukan banyak artefak berharga yang kini sudah banyak tersimpan di pelbagai museum.
Dia telah menemukan banyak pengetahuan tentang suku Maya, tetapi hal ini lagi-lagi
belum cukup. Yang paling dia dambakan adalah mendapatkan apa yang menurut
koleganya, sebuah mitos, sebuah rumor, sebuah petunjuk sederhana tentang
sesuatu yang mungkin ada dan mungkin juga tidak.
Tulisan-tulisan kuno yang dia
pelajari seolah meyakinkannya bahwa siapa pun yang mampu menemukan dan memiliki
sebuah guci wasiat, maka segala keinginannya akan terkabul. Inilah yang
menjadikan ambisinya begitu menyala. Keyakinan itulah yang menyebabkannya
menyatakan, "Saya tidak pernah akan merasa bahagia hingga berhasil
menemukan guci wasiat suku Maya itu!"
Dokumen-dokumen dari suku Maya
yang ada padanya tidak memberikan referensi tempat benda yang menjadi obsesinya
tersebut berada, kecuali keterangan singkat bahwa guci tersebut disimpan di
sebuah kuil khusus yang belum diketahui. Kini, sang Profesor itu memutuskan
untuk terbang dengan pesawat ringan melintasi hutan-hutan di Amerika Tengah,
angin yang kuat menerbangkan pesawatnya keluar jalur. Sambil memandang ke bawah
untuk menentukan di mana posisinya, mata arkeologisnya yang terlatih melihat
sebuah bukit berbentuk kerucut di sebuah tempat terpencil. Bukit itu muncul
menyembul di tengah hutan. Jantungnya berdebar keras. Bagi orang lain mungkin
bukit tersebut tak lebih dari sebuah bukit kecil simetris yang indah. Bagi
profesor ini, bukit tersebut adalah sebuah kuil asing yang belum pernah
dikenal.
Dengan harapan yang membuncah,
cepat-cepat dia membentuk tim ekspedisi lintas darat. Dia memastikan menyewa
asisten yang sering dia ajak bekerja sama, yaitu seorang pria yang sudah faham
betul seluk-beluk daerah itu. Dia bisa dipercaya, pekerja keras, dan setia,
tetapi punya kelemahan, yakni pecandu alkohol. Untuk menjamin kesetiaan dan
kejujurannya, sang arkeolog berupaya keras memastikan bahwa tidak ada minuman
memabukkan yang dimasukkan ke dalam suplai bahan makanan untuk ekspedisi
tersebut.
Membuka jalan melewati hutan
yang begitu lebat dan menggali kuil yang sudah berabad-abad dilupakan sungguh
merupakan kerja keras. Cuacanya panas sekali. Kelembabannya begitu tinggi, dan
asistennya jelas terlihat ingin minum. Sesudah bekerja keras seharian, hanya
ada satu yang ada dalam pikirannya. Minum! Secara tak sengaja, dialah yang
pertama kali berlari memasuki ruang kuil bagian dalam. Hidungnya dengan cepat
mendeteksi bau wiski yang paling lezat. Dia mengikuti bau tersebut menyeberangi
ruang bagian dalam kuil menuju sebuah altar yang di atasnya terdapat sebuah
guci. Dia membuka sumbat leher guci dan menenggak wiski yang menurutnya paling
lezat daripada yang pernah dia minum sebelumnya. Sang profesor berada tidak
jauh darinya. Dia mengira si asisten itu telah menyembunyikan beberapa botol
wiski ke dalam suplai makanan mereka. Di tengah geramnya, sang profesor melihat
guci yang ada di atas altar, tepat di tempat asistennya menemukannya lebih
dahulu.
Sepintas guci itu tidak ada
bedanya dengan hasil karya suku Maya lainnya, sebuah guci keramik berwarna
putih susu dihiasi gambar jaguar suci, matahari, dan dewa bulan. Meskipun
begitu, dia tahu inilah guci yang dia cari. Seperti asistennya, sang arkeolog
ini membuka sumbat leher guci, namun dia tidak mencium bau alkohol. Ketika guci
itu diguncang, ternyata tidak ada isinya. Dengan hati-hati dia mengepaknya
untuk dibawa pulang. Dia tidak sabar ingin memberitahu koleganya yang skeptis
bahwa, guci itu ada dan dia sudah menemukannya. Dia sangat bahagia!
Sudah dua atau tiga hari
perjalanan dan rasa penasaran sang profesor itu kian meningkat dan tidak dapat
ditahan lagi. Benarkah guci ini dapat mengabulkan semua permintaannya? Apakah
guci tersebut bisa memberikan sesuatu yang paling diinginkannya? Apakah guci
itu memiliki kekuatan dan keajaiban seperti yang dijelaskan dalam
pahatan-pahatan batu yang dia pelajari dahulu? Akhirnya, pada suatu malam, saat
bulan purnama, dia mengambil kotak tempat guci tersebut disimpan dan duduk
bersandar pada sebuah pohon. Dia membuka harta bendanya yang paling berharga
dan memutuskan untuk menguji kemampuan guci ajaib itu. Dia membuka sumbat guci
tua itu. Sambil memeganginnya di bawah sinar bulan, dia mengucapkan permintaan
utamanya, "Saya ingin bebas dari luka, rasa sakit, tragedi, dan kesedihan.
Saya ingin kebahagiaan total!" Kepandaian akademis dan kepakaran sang
profesor tenggelam dalam obsesi dan ambisinya. Dia tidak mau merenungkan dahulu
apa yang dia minta. Luka, derita, dan ketidakbahagiaan adalah bagian dari
pengalaman semua orang.
Benar, baru saja dia
mengucapkan permintaannya, keinginannya terkabul. Dia jatuh dan mati di samping
guci tersebut, bebas dari luka, sakit, dan kesedihan. Keesokan paginya,
asistennya bangun dan keluar dari tendanya. Dia menyiapkan makan pagi dan
membawanya ke tenda sang profesor. Dia heran karena tidak menemukan sang
profesor. Ia mencarinya dan akhirnya menemukan majikannya duduk di bawah pohon
sudah tak bernyawa dan di sampingnya tergeletak guci wasiat!
Ada kemiripan Simeon dengan
sang profesor arkeolog dalam cerita kita. Simeon seorang yang sedang mencari
dan menanti-nantikan Mesias. Betapa bahagianya dia ketika berjumpa dengan Yusuf
dan Maria yang mengendong bayi Yesus menuju ke Bait Suci. Siapa Simeon? Injil
Lukas (Lukas 2:25-35) tidak menjelaskan apakah Simeon itu imam dan berapa
umurnya. Tetapi Lukas langsung menegaskan bahwa ia tinggal di Yerusalem. Simeon
dikenal sebagai seorang yang benar dan saleh dan ia menantikan penghiburan bagi
Israel. Kepadanya telah dinyatakan oleh Roh Kudus bahwa ia tidak akan mati
sebelum melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi Tuhan" (Luk.2:25-26).
Simeon mengakhiri hidupnya
setelah mengalami perjumpaan dengan Sang Mesias. Kebahagiaan yang sepenuhnya
itu ditandai dengan penyerahan hidup, "Sekarang,
Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan
firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang datang dari-Mu..."
(Luk.2:29). Berbeda dari sang profesor itu, Simeon benar-benar bahagia karena
ia melihat sendiri janji Allah itu. Oh, bukan karena usianya sudah renta dan
banyak mengalami kelemahan tubuh yang menyebabkan ia meminta untuk segera pergi
dari dunia. Bukan, bukan itu! Melainkan, karena sudah tidak ada lagi yang dapat
membahagiakan dirinya ketimbang melihat Sang Mesias itu. Tentu, tidak semua
orang dikaruniai kebahagiaan seperti Simeon. Namun, setidaknya kita bisa
mencontoh dari kehidupan seorang Simeon.
Simeon disebutkan seorang yang
hidupnya benar (dikaios) dan saleh (eulabes) di hadapan Allah. Kata dikaios
dapat berarti "benar" dan "adil" sedangkan eulabes berarti : hidup saleh dan sangat
berhati-hati serta takut akan Tuhan. Simeon dikatakan benar dan saleh, hal itu
menunjukkan bahwa ia senantiasa berlaku benar, adil, sangat berhati-hati, hidup
saleh, dan takut akan Tuhan. Arah hidupnya hanya ditujukan kepada penantian
akan datangnya Mesias yang diutus Allah. Tidak mengherankan jika kehidupannya
dikuasai oleh Roh Kudus. Jadi, seseorang akan berjumpa dengan kebahagiaan
sejati bukan melalui benda ini dan itu, atau kuasa-kuasa yang selalu
diperebutkan orang. Melainkan, hanya dengan hidup saleh dan benar.
Beberapa jam lagi kita akan
mengakhiri tahun 2017. Bagaimana kita mengakhiri tahun ini? Apakah penuh dengan
rasa syukur dan bahagia? Ataukah sebaliknya, diwarnai oleh kelu kesah,
ketidakpuasan dan beban berat serta penderitaan? Seharusnya, perjumpaan kita dengan
Sang Mesias membuahkan kebahagiaan sejati dan menolong kita untuk hidup benar
dan saleh di hadapan Allah. Hal ini akan menjadi modal buat kita - dengan
memertahankan hidup saleh dan benar - menyongsong kedatangan-Nya kembali
sehingga kebahagiaan itu benar-benar paripurna! Selamat mengakhiri tahun 2017
dengan sukacita!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar