Tulisannya sudah lama,
terdapat di harian umum nasional, KOMPAS Rabu,
29 Agustus 2007. Sepuluh tahun lalu, Rhenald Kasali menulis "Guru Inspirati". Pada awal
tulisannya, ia bertutur tentang dua jenis guru, yakni guru kurikulum dan guru
inspiratif. Yang pertama, amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa
bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Mereka mengajarkan
sesuatu yang standar (habitual thinking).
Menurut pengamatan Kasali, guru kurikulum mewakili 99 % guru yang ia temui.
Sedangkan guru inspiratif amat
terbatas, kurang dari satu persen. Tipe guru ini, ia bukan guru yang mengajar
dengan target terselesaikannya tranfer pelajaran menurut kuota kurikulum.
Namun, mengajak para nara didik untuk berpikir kreatif (maximum thingking). Mereka mengajak murid-murid melihat sesuatu
dari luar (thingking out of the box),
mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas.
Jika guru-guru kurikulum
melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin- pembaru
yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama. Dunia memerlukan keduanya,
seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan
validitas eksternal (yang dikuasai oleh guru inspiratif) dalam menjelajah ilmu
pengetahuan. Sayangnya sistem pendidikan kita lebih berpihak kepada guru
kurikulum. Padahal, keberadaaan guru inspiratif akan amat menentukan berapa
lama sebuah bangsa mampu keluar dari krisis. Semakin dibatasi, akan semakin
lama dan semakin sulit suatu bangsa keluar dari kegelapan.
Berbicara tentang guru rasanya
kita sepakat bukan hanya merujuk pada orang-orang yang secara formal bekerja
sebagai pendidik di lembaga-lembaga pendidikan. Sebutan guru tidak lepas dari
peranannya dalam mendidik dan mengajar. Pada hakekatnya, setiap orang yang
memahami kepakaran ilmu tertentu atau setiap orang yang tahu tentang kebenaran
dan mengajarkan atau menularkannya ilmunya kepada orang lain, ia sedang
menjalankan fungsi guru. Setiap pengajar mestinya tidak hanya pandai mentrasfer
pengetahuan kepada nara didiknya, melainkan orang pertama yang melakukan apa
yang diajarkannya. Itulah bagian dari integritas. Nyatanya, banyak kita temui para
pengajar tidak konsisten dengan apa yang diajarkannya. Hal yang sama terjadi
pada pengajar-pengajar spiritual kerohanian.
Pengajar atau guru dalam
tradisi Yahudi disebut rabi. Seorang
rabi akan mengambil tempat duduk dan ia duduk ketika mengajar. Dalam bacaan
Injil Minggu ini, Yesus menyebut bahwa mereka duduk di "kursi Musa"
(Matius 23:2). Istilah kursi Musa
menunjuk pada kursi di bagian depan rumah ibadat tempat sang rabi mengajar. Selain
itu ungkapan ini mau menunjukkan kepada otoritas atau wibawa Taurat yang
diterima Musa. Maka orang yang menduduki kursi Musa ialah pengajar dan penafsir
resmi Hukum Musa. Orang-orang Farisi mengklaim bahwa Musa, selaku pemegang
wibawa tertinggi, hanya dapat dipahami berdasarkan interpretasi yang disajikan
oleh orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Dalam Misyna (kumpulan ajaran lisan Yahudi) disebutkan bahwa Musa
menerima Hukum dari Allah di Sinai dan meneruskannya kepada Yosua. Selanjutnya,
Yosua meneruskannya kepada para tua-tua, lalu para tua-tua kepada para nabi,
dan para nabi kepada pimpinan sinagoge.
Tampaknya Yesus mengakui
wibawa atau kewenangan mengajarkan Taurat itu. Tak pelak lagi, mereka adalah
para pengajar yang disegani dalam masyarakat Yahudi. Oleh karena itu Yesus
meminta agar para murid dan orang-orang Yahudi lainnya menuruti dan melakukan
apa yang diajarkan oleh mereka karena Yesus pada dasarnya tidak pernah
membatalkan hukum Taurat (Matius 5:17-19). Meski demikian, Yesus juga
memberikan peringatan keras terhadap para pengajar yang "menduduki kursi
Musa", yang sedang menikmati "aji mumpung", mumpung punya
otoritas!
Mengapa kritik tajam Yesus
ditujukan kepada para pengajar Taurat itu? Ini bukan masalah otoritas dan
tatanan Taurat. Ini masalah integritas! Yesus memberi contoh yang menyingkap
motivasi sebenarnya dari prilaku orang-orang Farisi dan ahli Taurat. Motiv itu
antara lain:
Ibadah dijadikan alat pamer
kesalehan
Sejak dari awal, Yesus telah
menengarai bahwa sedekah, doa dan puasa sering dilakukan agar mereka dihormati
dan dipuji orang (bdk. Matius 6:1,5,16). Seruan Musa dalam Ulangan 6:8, dan
yang lainnya agar orang-orang Israel mengikat Syema Yisreel, perintah kasih kepada Tuhan Allah, sebagai tanda
pada tangan mereka dan menjadikannya lambang di dahi mereka, merupakan bahasa
kiasan untuk mengajak umat agar piikiran dan perbuatan mereka selalu
berorientasi pada perintah itu. Tetapi para rabi melakukannya secara harfiah
dengan membungkus beberapa teks Taurat dan mengikatnya dengan tali-tali pada
tangan dan dahi di saat sembahyang (disebut tefilin,
tali sembahyang). Ada juga yang membuatnya lebar-lebar agar kesalehan mereka
dengan mudah dapat dilihat orang. Selain itu, orang Yahudi memakai jubah yang
berjumbai, berupa tali-tali pendek yang terpilin pada empat ujung baju mereka
(Ul.22:12), maksud semula adalah untuk mengingatkan diri mereka pada segala
perintah Allah (Bil.15:38-39). Jumbai ini pun oleh para guru aliran Farisi
dibuat panjang-panjang untuk memamerkan kesalehan mereka.
Gila hormat
Dalam undangan perjamuan,
mereka suka duduk di tempat kehormatan di samping tuan rumah. Guru-guru itu pun
sangat suka duduk di bagian depan rumah ibadat, terpisah dari rakyat jelata.
Mereka sangat suka dipanggil rabi, harfiah "tuanku", gelar kehormatan
bagi para rabi. Namun sebaliknya, dengan dalil ajaran dan tradisi Taurat,
mereka menuntut orang lain apa yang sebenarnya tidak pernah mereka lakukan
untuk diri sendiri. Beban-beban berat mereka taruh di pundak orang, sementara
dirinya tidak menyentuh pun enggan. Mereka tidak mau berbuat apa pun untuk
membantu masyarakat dalam membantu meringankan beban itu.
Itulah rabi, pengajar dan
orang-orang yang menduduki "kursi Musa" pada zaman Yesus. Maka sangat
logis ketika Yesus mengatakan pada para pendengarnya, "Tetapi kamu, janganlah kamu disebut
Rabi:.." (Mat.23:8). Tentu yang dimaksud Yesus adalah rabi munafik. Mereka tidak layak ditiru.
Demikian juga para murid diminta untuk tidak ambisius menjadi pemimpin. Semua
gelar kehormatan itu pada zaman Yesus justeru bukanlah untuk melayani
orang-orang papa, melainkan bermuara untuk penghormatan diri sendiri.
Melayani dan Merendahkan diri
Yesus tampil ibarat guru inspiratif versi Kasali. Ia
mengajak para murid-Nya untuk berpikir kritis, tidak sekedar harfiah. Ia
mengajak orang-orang untuk thingking out
of the box. "Barangsiap terbesar
di antara kamu, hendaknya ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan
diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa
merendahkan diri, ia akan ditinggikan." (Mat.23:11-12). Kebesaran dan
kewibawaan para pengikut Yesus di tengah jemaat tidak ditentukan oleh
gelar-gelar kehormatan, melainkan oleh pelayanan yang diberikan kepada sesama
saudaranya. Gila hormat dan kesombongan justeru akan menghancurkan diri sendiri
maupun komunitas.
Kesombongan menurut John Mason merupakan satu-satunya penyakit di
mana si pasien merasa sehat, sementara membuat setiap orang di sekitarnya
merasa sakit. Ya, benar juga, sebab orang yang tinggi hati justeru menikmati
keadaan itu. Ia merasa baik-baik saja. Namun, orang di sekitarnya menjadi muak!
Tinggi hati dan rendah hati sebenarnya merupakan pilihan. Ia bukan
takdir, semua tergantung kepada kita. Tentang pilihan ini, C. Peter Wagner
menjelaskan, ""meninggikan" dan "merendahkan"
merupakan kata kerja aktif, Itu berarti si subyeklah (diri kita) yang
menentukan: Mau pilih yang mana?
Sedangkan "direndahkan" dan "ditinggikan"
adalah kata kerja pasif. Artinya si subyek (diri kita) yang dikenai dampaknya.
Jika saja kita memilih merendahkan diri (sebagai pilihan kita; bukan takdir),
maka dampaknya atau konsekwensinya kita akan ditinggikan, demikian juga
sebaliknya.
Namun, meski demikian kita harus berhati-hati. Jangan keliru: Kita
merendahkan diri atau mau melayani dengan tujuan agar kita ditinggikan dan pada
akhirnya kita dilayani. Atau dengan kata lain, kita mencanangkan/bercita-cita
ingin ditinggikan, kemudian memakai jalan merendahkan diri. Bukan itu! Sebab
kalau demikian tetap saja ambisi kita adalah meninggikan diri. Merendahkan diri
yang sejati tidak pernah berpikir bahwa suatu saat dirinya akan ditinggikan.
Ketika akhirnya Tuhan meninggikan seorang yang benar-benar rendah hati, hal itu
adalah sebuah kasih karunia, sebuah dampak.
Jakarta, 2 Nov 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar