Kamis, 02 November 2017

TIDAK AJI MUMPUNG

Tulisannya sudah lama, terdapat di harian umum nasional, KOMPAS Rabu, 29 Agustus 2007. Sepuluh tahun lalu, Rhenald Kasali menulis "Guru Inspirati". Pada awal tulisannya, ia bertutur tentang dua jenis guru, yakni guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama, amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Mereka mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Menurut pengamatan Kasali, guru kurikulum mewakili 99 % guru yang ia temui.

Sedangkan guru inspiratif amat terbatas, kurang dari satu persen. Tipe guru ini, ia bukan guru yang mengajar dengan target terselesaikannya tranfer pelajaran menurut kuota kurikulum. Namun, mengajak para nara didik untuk berpikir kreatif (maximum thingking). Mereka mengajak murid-murid melihat sesuatu dari luar (thingking out of the box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas.

Jika guru-guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin- pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama. Dunia memerlukan keduanya, seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal (yang dikuasai oleh guru inspiratif) dalam menjelajah ilmu pengetahuan. Sayangnya sistem pendidikan kita lebih berpihak kepada guru kurikulum. Padahal, keberadaaan guru inspiratif akan amat menentukan berapa lama sebuah bangsa mampu keluar dari krisis. Semakin dibatasi, akan semakin lama dan semakin sulit suatu bangsa keluar dari kegelapan.

Berbicara tentang guru rasanya kita sepakat bukan hanya merujuk pada orang-orang yang secara formal bekerja sebagai pendidik di lembaga-lembaga pendidikan. Sebutan guru tidak lepas dari peranannya dalam mendidik dan mengajar. Pada hakekatnya, setiap orang yang memahami kepakaran ilmu tertentu atau setiap orang yang tahu tentang kebenaran dan mengajarkan atau menularkannya ilmunya kepada orang lain, ia sedang menjalankan fungsi guru. Setiap pengajar mestinya tidak hanya pandai mentrasfer pengetahuan kepada nara didiknya, melainkan orang pertama yang melakukan apa yang diajarkannya. Itulah bagian dari integritas. Nyatanya, banyak kita temui para pengajar tidak konsisten dengan apa yang diajarkannya. Hal yang sama terjadi pada pengajar-pengajar spiritual kerohanian.

Pengajar atau guru dalam tradisi Yahudi disebut rabi. Seorang rabi akan mengambil tempat duduk dan ia duduk ketika mengajar. Dalam bacaan Injil Minggu ini, Yesus menyebut bahwa mereka duduk di "kursi Musa" (Matius 23:2). Istilah kursi Musa menunjuk pada kursi di bagian depan rumah ibadat tempat sang rabi mengajar. Selain itu ungkapan ini mau menunjukkan kepada otoritas atau wibawa Taurat yang diterima Musa. Maka orang yang menduduki kursi Musa ialah pengajar dan penafsir resmi Hukum Musa. Orang-orang Farisi mengklaim bahwa Musa, selaku pemegang wibawa tertinggi, hanya dapat dipahami berdasarkan interpretasi yang disajikan oleh orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Dalam Misyna (kumpulan ajaran lisan Yahudi) disebutkan bahwa Musa menerima Hukum dari Allah di Sinai dan meneruskannya kepada Yosua. Selanjutnya, Yosua meneruskannya kepada para tua-tua, lalu para tua-tua kepada para nabi, dan para nabi kepada pimpinan sinagoge.

Tampaknya Yesus mengakui wibawa atau kewenangan mengajarkan Taurat itu. Tak pelak lagi, mereka adalah para pengajar yang disegani dalam masyarakat Yahudi. Oleh karena itu Yesus meminta agar para murid dan orang-orang Yahudi lainnya menuruti dan melakukan apa yang diajarkan oleh mereka karena Yesus pada dasarnya tidak pernah membatalkan hukum Taurat (Matius 5:17-19). Meski demikian, Yesus juga memberikan peringatan keras terhadap para pengajar yang "menduduki kursi Musa", yang sedang menikmati "aji mumpung", mumpung punya otoritas!

Mengapa kritik tajam Yesus ditujukan kepada para pengajar Taurat itu? Ini bukan masalah otoritas dan tatanan Taurat. Ini masalah integritas! Yesus memberi contoh yang menyingkap motivasi sebenarnya dari prilaku orang-orang Farisi dan ahli Taurat. Motiv itu antara lain:

Ibadah dijadikan alat pamer kesalehan
Sejak dari awal, Yesus telah menengarai bahwa sedekah, doa dan puasa sering dilakukan agar mereka dihormati dan dipuji orang (bdk. Matius 6:1,5,16). Seruan Musa dalam Ulangan 6:8, dan yang lainnya agar orang-orang Israel mengikat Syema Yisreel, perintah kasih kepada Tuhan Allah, sebagai tanda pada tangan mereka dan menjadikannya lambang di dahi mereka, merupakan bahasa kiasan untuk mengajak umat agar piikiran dan perbuatan mereka selalu berorientasi pada perintah itu. Tetapi para rabi melakukannya secara harfiah dengan membungkus beberapa teks Taurat dan mengikatnya dengan tali-tali pada tangan dan dahi di saat sembahyang (disebut tefilin, tali sembahyang). Ada juga yang membuatnya lebar-lebar agar kesalehan mereka dengan mudah dapat dilihat orang. Selain itu, orang Yahudi memakai jubah yang berjumbai, berupa tali-tali pendek yang terpilin pada empat ujung baju mereka (Ul.22:12), maksud semula adalah untuk mengingatkan diri mereka pada segala perintah Allah (Bil.15:38-39). Jumbai ini pun oleh para guru aliran Farisi dibuat panjang-panjang untuk memamerkan kesalehan mereka.

Gila hormat
Dalam undangan perjamuan, mereka suka duduk di tempat kehormatan di samping tuan rumah. Guru-guru itu pun sangat suka duduk di bagian depan rumah ibadat, terpisah dari rakyat jelata. Mereka sangat suka dipanggil rabi, harfiah "tuanku", gelar kehormatan bagi para rabi. Namun sebaliknya, dengan dalil ajaran dan tradisi Taurat, mereka menuntut orang lain apa yang sebenarnya tidak pernah mereka lakukan untuk diri sendiri. Beban-beban berat mereka taruh di pundak orang, sementara dirinya tidak menyentuh pun enggan. Mereka tidak mau berbuat apa pun untuk membantu masyarakat dalam membantu meringankan beban itu.

Itulah rabi, pengajar dan orang-orang yang menduduki "kursi Musa" pada zaman Yesus. Maka sangat logis ketika Yesus mengatakan pada para pendengarnya, "Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi:.." (Mat.23:8). Tentu yang dimaksud Yesus adalah rabi ­munafik. Mereka tidak layak ditiru. Demikian juga para murid diminta untuk tidak ambisius menjadi pemimpin. Semua gelar kehormatan itu pada zaman Yesus justeru bukanlah untuk melayani orang-orang papa, melainkan bermuara untuk penghormatan diri sendiri.

Melayani dan Merendahkan diri
Yesus tampil ibarat guru inspiratif versi Kasali. Ia mengajak para murid-Nya untuk berpikir kritis, tidak sekedar harfiah. Ia mengajak orang-orang untuk thingking out of the box. "Barangsiap terbesar di antara kamu, hendaknya ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." (Mat.23:11-12). Kebesaran dan kewibawaan para pengikut Yesus di tengah jemaat tidak ditentukan oleh gelar-gelar kehormatan, melainkan oleh pelayanan yang diberikan kepada sesama saudaranya. Gila hormat dan kesombongan justeru akan menghancurkan diri sendiri maupun komunitas.

Kesombongan menurut John Mason merupakan satu-satunya penyakit di mana si pasien merasa sehat, sementara membuat setiap orang di sekitarnya merasa sakit. Ya, benar juga, sebab orang yang tinggi hati justeru menikmati keadaan itu. Ia merasa baik-baik saja. Namun, orang di sekitarnya menjadi muak!

Tinggi hati dan rendah hati sebenarnya merupakan pilihan. Ia bukan takdir, semua tergantung kepada kita. Tentang pilihan ini, C. Peter Wagner menjelaskan, ""meninggikan" dan "merendahkan" merupakan kata kerja aktif, Itu berarti si subyeklah (diri kita) yang menentukan: Mau pilih yang mana?

Sedangkan "direndahkan" dan "ditinggikan" adalah kata kerja pasif. Artinya si subyek (diri kita) yang dikenai dampaknya. Jika saja kita memilih merendahkan diri (sebagai pilihan kita; bukan takdir), maka dampaknya atau konsekwensinya kita akan ditinggikan, demikian juga sebaliknya.

Namun, meski demikian kita harus berhati-hati. Jangan keliru: Kita merendahkan diri atau mau melayani dengan tujuan agar kita ditinggikan dan pada akhirnya kita dilayani. Atau dengan kata lain, kita mencanangkan/bercita-cita ingin ditinggikan, kemudian memakai jalan merendahkan diri. Bukan itu! Sebab kalau demikian tetap saja ambisi kita adalah meninggikan diri. Merendahkan diri yang sejati tidak pernah berpikir bahwa suatu saat dirinya akan ditinggikan. Ketika akhirnya Tuhan meninggikan seorang yang benar-benar rendah hati, hal itu adalah sebuah kasih karunia, sebuah dampak.
Jakarta, 2 Nov 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar