Autobiografi karya Frank
Abagnale, Catch Me If Yuo Can ( Frank
Abagnale & Stan Redding, New York: Broadway Books, 2000) adalah kisah
tentang seorang penipu hebat. Kisah tentang dirinya sendiri. Cerita dalam buku
ini kemudian dibuat film Hollywood, menceritakan kisah hidup Abegnale mulai
dari usia 16 tahun, berpura-pura sebagai pilot PanAm, profesor akademi, dokter,
pengacara, dan lain-lain. Dalam setiap perannya ia sangat mahir mengelabui
orang. Misalnya, ia mampu mencairkan uang sebesar 2,5 juta dollar AS dari cek
kosong. Seperti halnya para penipu lainnya, dia ulung dalam memperoleh teman
dan memengaruhi orang.
Pada akhirnya, dalam usia 21
tahun aparat hukum menangkap basah Abagdale di Perancis. Dia disidangkan dan
dijatuhi hukuman penjara di beberapa negara, dan akhirnya diekstradisi ke
Amreika Serikat lalu di sana ia dijatuhi hukuman 12 tahun penjara di penjara
federal. Setelah empat tahun menjalani hukumannya, dia dibebaskan dengan syarat
harus membantu pemerintah dalam menangkap para penipu lainnya. Tampaknya, Abegnale
bekerjasama dengan baik. Segera sesudah itu, dia mendirikan perusahaan
konsultan yang memberikan nasihat kepada lembaga perbankan, korporasi, dan FBI
dalam menangani pencegahan penipuan. Jadi Abegnale setelah menyadari kesalahan
di masa lalunya sebagai seorang penipu ulung, kini ia bertanggung jawab untuk
menggunakan "talenta" untuk memerangi penipuan.
Kata bertanggung jawab merupakan sebuah pilihan. Dalam kasus Abagnale,
bisa saja ia memilih untuk tidak koopratif dengan penegak hukum. Ia bisa
menutup rapat-rapat celah untuk membongkar dan menangkap teman-teman
seprofesinya yang penipu. Ia bisa mengubur "talentanya" itu karena
takut risiko yang dihadapi ketika kelompok dari para penipu itu menganggapnya
sebagai penghianat dan harus dilenyapkan. Namun, ia memilih bertanggung jawab
untuk memerangi kejahatan; memerangi masa lalunya yang kelam.
Tanggung jawab adalah pilihan bagi setiap orang, bagi
Anda dan saya. Bacaan Injil hari ini (Matius 25:14-30) menggambarkan hamba yang
memilih bertanggung jawab dan yang menghindari tanggung jawab. Sang tuan yang
kaya ini hendak pergi ke luar kota entah kapan akan kembali. Tidak jelas! Yang
jelas ia memercayakan kepada masing-masing hambanya sejumlah talenta: lima,
dua, dan satu. Jumlah itu sesuai dengan kesanggupan mereka masing-masing, jadi
bukan karena paksaan. Talenta adalah satuan jumlah uang yang cukup besar. Satu
talenta berjumlah 10.000 dinar. Satu dinar setara upah buruh bekerja satu hari.
Untuk nilai satu talenta hari ini jika dirupiahkan, Anda bisa menghitung
sendiri.
Hamba yang menerima lima
talenta dan dua talenta menjalankan uang itu dengan penuh tanggung jawab.
Ketika sang tuan kembali, mereka menyerahkan talenta itu bersama dengan labanya
yang dua kali lipat jumlahnya dari modal yang diberikan kepada mereka. Tuan itu
memuji mereka sebagai hamba yang baik dan setia. Kepada mereka selanjutnya sang
tuan memberi tanggung jawab yang lebih besar. Namun, apa yang terjadi dengan
hamba yang diserahi tanggung jawab satu talenta? Ia tidak melakukan apa pun
dengan talenta itu! Ia menguburnya agar aman. Dengan demikian ia tidak setia
mempergunakan kesanggupannya. Alih-alih mempertanggungjawabkan kewajibannya, ia
berargumentasi membela diri dan menuduh sang tuan sebagai orang licik. Tuannya
memandang dia hamba yang jahat. Jahat,
bukan karena dia menggelapkan uang tuannya untuk berfoya-foya memuaskan
kesenangan dirinya. Tidak! Melainkan karena dia tidak melakukan apa pun. Apa akibatnya
dari tindakan hamba ini? Talenta itu diambil dan diserahkan kepada orang yang
bertanggung jawab dan dia sendiri dicampakkan!
Stefan Leks, seorang penafsir
melihat aslinya, perumpamaan ini sangat mungkin dialamatkan oleh Yesus kepada
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang karena nasionalisme picik dan
ekslusivisme sempit. Mereka menahan - dalam bahasa perumpamaan tentang talenta,
mereka mengubur - harta Hukum, yakni
Taurat bagi mereka sendiri sehingga harta itu seolah-olah mandul alias tidak
bermanfaat, baik bagi Israel sendiri apalagi bagi bangsa-bangsa di luar Israel.
Sebelumnya, Yesus banyak mengkritik para ahli Taurat dan orang-orang Farisi
atas sikap ekslusivisme yang membebani masyarakat dengan hukum-hukum tafsiran
mereka, padahal mereka sendiri tidak mampu menjalankannya. Hukum itu tidak
berkembang menjadi berkat bagi orang lain. Hukum itu justeru menghalangi orang
untuk berjumpa dengan Allah yang penuh rakhmat.
Akan tiba saatnya Allah
menuntut pertangungjawaban atas sikap konservatif-mandul pimpinan agama Yahudi
ini. Kita ingat kecaman Yesus, "Celakalah
kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang
munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Surga di depan orang. Sebab
kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha masuk."
(Mat.23:13). Kita dapat membandingkan sikap elit Yahudi ini dengan sikap hamba
yang menerima satu talenta. Hamba ini
begitu hati-hati dan ketakutan (scrupulous)
sehingga ia mencari cara untuk aman. Setelah menemukan cara itu, ia yakin bahwa
tidak mungkin ia dipandang bersalah selama perbuatannya dinilai secara hukum. Toh
tidak ada yang hilang dari talenta itu. Sikap hamba itu sangat serupa dengan
sikap orang-orang Farisi.
Yesus telah kembali ke Surga,
Ia kini duduk di sebelah kanan Allah Bapa dan dari sana Ia akan datang
kembali...Kedatangan-Nya yang kemudian adalah seperti sang tuan dalam
perumpamaan. Kapan waktunya? Tidak ada seorang pun yang dapat memprediksi. Yang
jelas, Ia akan datang dan menanyakan talenta yang dipercayakan kepada setiap
orang percaya. Ia juga pasti bertanya, apa yang kita lakukan terhadap apa yang
Tuhan percayakan kepada kita?
Meminjam kisah Abagnale, kita
semua adalah manusia berdosa. Memang tidak sekaliber dia. Namun, bukankah tidak
ada yang bebas dari dosa? Yesus, telah menebus kita dari cara hidup yang lama,
bukan dengan emas dan perak, kata Petrus, melainkan dengan darah yang mahal.
Dengan nyawa-Nya sendiri. Ketika kita dipulihkan, diampuni dan menjadi
anak-anak Allah, Dia pun berharap agar kita meneruskan apa yang dilakukan-Nya.
Menebarkan cinta kasih Allah, tidak membatasinya hanya untuk kepentingan dan
kalangan sendiri. Melainkan, talenta itu terus berkembang. Abagnale, dengan segala risiko yang harus
ditanggungnya bekerjasama dengan aparat penegak hukum memberantas kejahatan.
Talentanya ia gunakan untuk kebaikan. Bagimana dengan kita? Apakah kita
menggunakan talenta yang dipercayakan kepada kita dengan baik sehingga orang
lain tidak saja mengenal, melainkan merasakan dan mengalami kehadiran Allah
yang mengasihi, mengampuni dan memberikan masa depan cerah. Itulah cara hidup
yang bertanggung jawab sebagai umat tebusan-Nya.
Sekali lagi, tanggung jawab
adalah sebuah pilihan. Rasa syukur dan takut akan memengaruhi pilihan kita.
Ketika kita mensyukuri anugerah kasih Tuhan maka, mengembangkan talenta untuk
menjadi berkat bagi banyak orang merupakan keniscayaan. Bertanggung jawab untuk
mendatangkan kebaikan dan mengenalkan orang lain pada kasih Kristus bukanlah
beban, melainkan kasih karunia. Namun, rasa takut membuat cemas, ragu lalu
egois memikirkan keselamatan diri sendiri dan akibatnya memilih untuk tidak
melakukan apa pun; mengubur talenta. Tindakan seperti ini adalah jahat di mata
Tuhan. Ukuran jahat di mata Tuhan bukan saja karena kita melanggar
hukum-hukum-Nya, melainkan juga karena tidak melakukan apa pun. Memilih diam,
padahal ada tugas yang harus dikerjakan!
Jakarta, 14 Nov'17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar