Rabu, 06 September 2017

MENOLAK DIAM



Baru-baru ini lembaga pemberi peringkat utang ternama dunia yang bermarkas di Amerika Serikat mendapat sorotan tajam. Tiga lembaga pemeringkat utang, Standard and Poor's (S&P), Fitch Rating, dan Moody's Investor Service tidak berani mengkritisi utang negara adidaya itu. Sampai Agustus tahun ini, utang Amerika Serikat 19,9 triliun dollar AS. Dua lembaga pemeringkat utang (S&P dan Moody's Investor Service) hanya berani  menurunkan dari peringkat "AAA" (pengutang "ektrim kuat" untuk membayar) menjadi hanya "AA" (pengutang "sangat kuat" untuk membayar). Sedangkan Fitch Rating mengeluarkan catatan, "Jika pagu utang tidak dinaikan, maka kode "AAA" mungkin tidak cocok lagi."

Sebaliknya, sikap lembaga-lembaga pemeringkat ini sangat berbeda dan cenderung keras terhadap negara-negara berkembang. Sangat mudah bagi mereka memberikan penilaian, teguran, kritikan pada utang negara-negara berkembang bahkan disertai dengan catatan mudah "berpotensi default, gagal bayar". Bandingkan dengan Indonesia yang diberi peringkat "BBB" dengan utang sampai Januari tahun ini 320,28 milyar dollar AS, ini tidak ada apa-apanya dibanding utang AS yang mencapai 19,9 triliun dollar AS.

Diamnya para pemeringkat utang ternama itu sebenarnya bukan mereka tidak tahu, melainkan ada risiko ketika bersuara. Namun, diamnya mereka telah membuat gelisah para ekonom Amerika Serikat apalagi rezim Trump berusaha memenuhi janji politiknya - yang oleh sebagian orang dinilai tidak rasional - , yakni mengurangi pajak. Hal ini justeru menambah masalah, yakni defisit anggaran sebesar 3,5 triliun dollar AS! Mereka yang tahu dari dalam pondasi ekonomi Amerika pasti gelisah, sebab jika terus dibiarkan maka kebangkrutan tinggal menunggu waktu saja!

Banyak orang tidak mau bersuara ketika berhadapan dengan risiko. Sebaliknya, ketika menguntungkan dirinya tak segan-segan bersuara lantang meski tidak didukung data yang memadai. Kita mudah menunjuk kesalahan orang atau kelompok lain, lalu menghakimi dan mencela tetapi hal serupa tidak dilakukan terhadap diri sendiri! "Menolak diam", tidaklah mudah ketika itu ditujukan terhadap sesama dalam kalangan sendiri apalagi terhadap orang atau lembaga yang punya otoritas lebih di atas kita padahal dengan diam justeru kita sedang turut mengali kubur kematian.

Gereja Kristen Indonesia yang berlatar belakang Tionghoa, punya budaya pay seng kie, yakni perasaan enggan, sungkan atau tidak enak ketika harus menegur seseorang ketika ia melakukan kekeliruan. Sedikit banyak budaya semacam ini merata dalam kalangan masyarakat Timur. Biasanya kita percaya bahwa waktulah yang akan menyelesaikannya. Kita diajari untuk tidak menciptakan "kegaduhan". Sementara di pihak lain, kita menyadari bahwa sikap demikian justeru sedang menyimpan bom waktu yang kita tidak tahu kapan saja bisa meledak! Sebagaimana masyarakat Timur lainnya, Yahudi punya budaya semacam itu. Namun, Kitab Suci mereka mengajarkan untuk menegur dan tidak mendiamkan apa yang salah terus berlangsung. Demikian juga dalam bacaan Injil Minggu ini (Matius 18:15-20), Yesus mengingatkan supaya kita menolak untuk diam ketika menyaksikan apa yang salah itu terjadi.

"Elegxon!" kata Yesus. "Tegurlah!" dalam konteks ini tidak berarti bahwa menegur itu dengan nada mencela. Menegur di sini mengandung pengertian "yakinkanlah dia", dalam pengertian "jelaskan dosanya" (bnd. Imamat 19:17).  Elegxon bermaksud bukan mencela atau memarahi seseorang karena dia telah melakukan dosa. Kalau hanya mengkritik, menyalahkan, memaki, memarahi dan mencela merupakan perkara mudah. Namun, menyadarkan, memberi tahu letak kesalahan seseorang lalu memberikan dia kesempatan mengakuinya, serta dituntun kembali ke jalan yang benar tentu bukan perkara mudah. Sebab, banyak orang yang melakukan kesalahan atau dosa tidak menyadari bahwa yang dilakukannya itu adalah salah. Alih-alih sadar akan dosanya, mereka merasa sedang berbuat baik atau sedang mengabdi kepada Allah. Bukankah itu yang terjadi dengan para pemuka Yahudi yang menyalibkan Yesus: mereka merasa sedang menegakkan syareat tauhid Yudaisme. Hari ini banyak orang yang seperti itu: merasa benar di jalan yang salah. Lihatlah para pemotor yang merasa benar sendiri bahkan lebih galak ketika melanggar rambu lalu-lintas dan melawan arah. Tengoklah para koruptor yang merasa jadi pahlawan lantaran ia telah menyumbang gereja atau lembaga sosial lainnya.

Banyak orang yang melawan arus kebenaran justeru merasa sedang berbuat baik. Jelas bukan perkara mudah menyadarkan dan menyakinkan orang-orang seperti ini. Perlu perjuangan bahkan mungkin saja kita akan berjumpa dengan kesulitan dan penderitaan ketika melakukan hal ini. Bagaimana ketika seseorang itu tidak dapat diyakinkan akan kesalahannya oleh satu orang saja? Yesus mengajarkan perlu dipanggil satu, dua orang lain untuk menambah kesaksian dan membantu menyadarkannya. Petunjuk ini sesuai dengan apa yang tercatat dalam proses pengadilan (Ulangan 19:15). Namun, apa yang diajarkan Yesus bukanlah proses pengadilan publik, melainkan usaha perdamaian secara kekeluargaan. Bila tidak dapat diselesaikan juga, persolannya diserahkan kepada jemaat (ekklesia). Jelas maksudnya bukan menelanjangi dan memusuhi orang yang bersalah itu, melainkan seluruh jemaat ikut bertanggungjawab untuk mendoakan dan mengajaknya kembali kepada jalan yang benar. Yang Tuhan inginkan bukanlah pengucilan apalagi binasanya orang berdosa, melainkan pertobatan (bnd. Yehezkiel 33:11).

Jika sampai pada tahap ini, ia bersih kukuh dengan pendiriannya (kesalahan dan dosanya) maka pandanglah dia sebagai orang yang tidak mengenal Allah. Dalam seluruh rangkai proses peneguran itu jemaat berfungsi seperti "penjaga Israel" di menara penjaga (Yeh.33:1-20) yang memberi peringatan terhadap musuh. Mereka yang diingatkan melalui sangkakala harus bangun dan bersiap-siap menghadapi musuh sebab kalau tidak mereka akan binasa. Namun, ketika mereka memilih untuk tetap tidur dan berleha-leha, hingga musuh datang dan mereka binasa, maka itu bukanlah kesalahan penjaga, darahnya bukan lagi tanggungan si penjaga itu. Narasi ini mengajarkan ketika kita memilih diam, sementara teman atau saudara kita melakukan dosa maka kita dituntut bersalah di hadapan Tuhan. Memilih diam berarti turut berdosa! Sebaliknya, ketika seluruh proses peneguran telah kita lakukan dan orang itu memilih terus melakukan dosa, maka dalam hal ini "darahnya" menjadi tanggungannya sendiri.

Pengikut Yesus harus ikut bertanggung jawab atas semua saudara seiman yang melakukan kekeliruan. Pengikut Yesus harus terlibat penuh dalam proses penyadaran seseorang dari kesalahannya. Proses itu berbeda dengan memarahi, mencela, menggosipkan atau mengucilkan orang yang bersalah. Proses itu bertujuan mendamaikan orang yang bersalah itu pertama-tama dengan Allah dan kemudian dengan orang yang bersangkut paut dengan dosanya. Langkah-langkahnya mungkin bertahap dan melelahkan, bisa saja yang bersangkutan ngenyel, merasa benar sendiri dan menuding orang lain penyebab dari kesalahannya. Dalam hal inilah kita meminta hikmat dari Tuhan dan dalam hal ini pula kita harus memberi contoh dan teladan yang baik. Sebab, tidak mungkin kita mengajak dan menunjukkan jalan yang baik dan benar sementara kita juga masih senang hidup berkanjang dalam dosa.

Perlu dingat pula bahwa usaha pendamaian itu bukanlah kegiatan manusia semata. Dalam kesatuan dan permohonan jemaat, tindakan pendamaian dibawa kepada Bapa dalam doa. Titik lemah kita sebagai gereja biasanya hanya pandai berorganisasi, menunjukkan kesalahan orang tanpa mau melibatkan Allah sebagai pemilik umat dan gereja-Nya.    

Jakarta 06 September 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar