Kamis, 14 September 2017

MELEPAS MAAF



Sebelas September 2001 bagi sebagain besar korban dan keluarga dari empat serangan mematikan tidak mungkin dapat dilupakan begitu saja. Empat serangan bunuh diri yang ditujukan ke New York dan Washington D.C. telah merenggut 2.977 nyawa dan melukai lebih dari 6000 orang.

Salah seorang yang menjadi korban adalah Bobby seorang bocah SD. Steven, sang ayah tentu sangat berduka atas kepergian Bobby. Marah, sudah pasti. Namun, ia menyadari dendam tidak akan membuat suasana dan kehidupan lebih baik. Hari itu Steven berpidato dengan mengenakan topi baseball Bobby. Dia menceritakan kepedihan dan kemarahan yang menyebabkan dirinya kehilangan Bobby. Tetapi kemudian Steven berkata, "Setiap detik saya percaya bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Saya tidak ingin ada seorang ayah yang merasakan apa yang saya rasakan saat ini." Steven kemudian membentuk sebuah kelompok bernama "Ikatan keluarga untuk hari esok yang penuh kedamaian," dengan slogan "Kesedihan kami bukan sebuah panggilan untuk perang!"

Steven menyadari bahwa  ketika ia membalas sakit hati dan kemarahannya atas terbunuhnya Bobby dan kemudian mencoba melakukan hal yang sama - balas dendam - tentu akan ada ayah seperti dirinya! Dan lingkaran setan ini akan terus berputar. Steven berani memutus lingkaran itu dengan mencoba berdamai dan memaafkan.

Melepas maaf, gampang diucapkan namun mengerjakannya punya segudang kesulitan. Mengapa? Konon manusia mempunyai kelemahan dan keterbatasan. Petrus, mungkin mewakili keterbatasan kita, tujuh kali pemberian maaf terhadap orang yang sama ketika melakukan kesalahan itu sudah teramat cukup. Tujuh kali itu pun bagi sebagian besar orang merupakan hal luar biasa. Coba renungkan, apakah ada di antara kita ketika diperlakukan tidak baik, berulang-ulang sampai tujuh kali, adakah yang bisa melakukannya? Hebat, jika Anda bisa! Namun ternyata, yang sudah luar biasa dalam anggapan manusia, menurut Yesus belumlah cukup. Ia mengatakan, "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." (Matius 18:22).

Apa maksudnya dengan angka-angka tujuh dan tujuh puluh kali tujuh kali? Dalam tradisi Perjanjian Lama angka-angka ini rupanya bukan hal asing. Petrus berpendapat bahwa angka tujuh adalah tujuh kali batas tertinggi atau maksimal manusia dapat mengampuni sesamanya yang bersalah. Dalam Kitab Kejadian dikenal hukum balas dendam yang amat kejam. Rumusannya dikutip sehubungan dengan Lamekh yang telah membunuh orang yang melukainya. Ia berkata, "Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat" (Kej.4:24) Allah tidak menerima sikap Lamekh dan semua orang yang melakukan praktik balas dendam di zaman dulu. Maka kemudian kita dapat mengerti kalau Allah memberi batasan dalam perkara balas dendam. "Mata ganti mata, gigi ganti gigi." (Imamat 24:20). Itulah batasannya. Jangan sampai orang yang dilukai mata atau tanggal giginya melakukan balas dendam dengan menghilangkan nyawa lawannya itu.

Namun, kalau kita telusuri hukum Allah itu terus menuju kepada hukum positip: semula balas dendam itu dipandang wajar dan tampaknya dibolehkan, kemudian balas dendam itu dibatasi. Selanjutnya, dalam ajaran Yesus progres itu semakin tajam: Orang benar tidak boleh membalas dendam! Semasa pemberitaan Injil, Yesus dengan tegas menolak hukum balas dendam. Ia mengajarkan agar para musuh dan orang-orang yang telah melakukan penganiayaan itu pun harus dikasihi (Matius 5;44). Selebihnya, pengampunan harus diberikan sebanyak tujuh puluh kali tujuh kali. Dengan demikian Yesus menutup kemungkinan seseorang untuk melakukan tindakan balas dendam. Hukum balas dendam itu telah diubah menjadi hukum pengampunan yang tanpa batas, sebab kalau pengampunan itu berbatas maka sesungguhnya manusia itu tidak mengampuni!

Untuk menjelaskan peralihan dari hukum balas dendam kepada hukum pengampunan, Yesus menggunakan cerita perumpamaan. Dikisahkan ada seorang hamba yang berhutang sepuluh ribu talenta kepada raja. Itu berarti 60 juta dinar, karena 1 talenta bernilai 6000 dinar. Jika saja upah bekerja buruh satu hari 1 dinar, maka hamba itu harus menghabiskan 60 juta hari agar hutangnya lunas! Suatu jumlah yang tidak mungkin terbayar. Hamba itu kemudian memelas. Ia mengemis belas kasihan dari sang raja. Tergeraklah raja oleh belas kasihan, maka dihapusnya seluruh hutang hambanya itu.

Namun apa yang terjadi kemudian. Hamba itu melupakan kebaikan tuannya. Ia menangkap dan mencekik dan menjebloskan ke dalam penjara temannya yang berhutang 100 dinar itu - padahal apalah artinya 100 dinar dibandingkan dengan 60 juta dinar? Atas kejadian itu, teman-teman yang lain melaporkannya kepada sang raja. Tentu raja yang baik hati itu sangat kecewa. Ia memerintahkan prajuritnya untuk menangkap hamba yang jahat itu dan menyerahkan kepada algojo-algojonya sampai. Sang raja itu berkata, "Bukankah engkau pun harus mengasihi kawanmu seperti aku mengasihi engkau?" Inilah alasan mengapa kita harus mengampuni. Tidak lain karena kita sudah lebih dahulu diampuni. Utang-utang kita sudah dibayar lunas oleh Yesus Kristus dan kita diminta-Nya untuk hidup dalam damai dan pengampunan satu terhadap yang lain.

Benar, memaafkan atau mengampuni mempunyai segudang kesulitan. Namun, bukan berarti tidak bisa. Masalahnya mau atau tidak kita berjuang melakukannya. Pasti bisa, kita sudah diberi modal "60 juta dinar" untuk menyelesaikan masalah "100 dinar", lebih dari cukup! Pengampunan yang Tuhan berikan kepada kita adalah pengampunan yang tidak terbatas oleh karena itu kita pun dipanggil untuk tidak membatasi pengampunan yang diberikan oleh Allah. Walau menyakitkan, percayalah bahwa ujung dari sebuah pengampunan itu pasti manis!

Pada bulan Mei 1981, Paus Yohanes Paulus II ditembak oleh Mohammad Agca. Dua tahun kemudian, Lance Morrow menceritakan bahwa di balik tembok putih polos Penjara Rebbiba di Roma, Yohanes Paulus menggenggam tangan orang yang hampir membunuhnya, selama 21 menit! Paus duduk dengan orang yang hampir melenyapkan nyawanya. Keduanya bercakap dengan lembut. Sekali dua kali Agca tertawa. Sang Paus mengampuninya. Pada akhir pertemuan, tidak jelas apakah Agca mencium cincin Paus ataukah ia cium tangan Paus sebagai sebuah penghormatan! Sebuah akhir yang manis, bukan?

Anda pun dapat mengakhiri segala kepahitan yang berasal dari luka batin mendendam dengan hal yang indah dan manis. Resepnya sangat mudah, bukalah pintu maaf dan pengampunan. Ingat Anda sudah diberi modal yang begitu besar oleh Tuhan!

Jakarta, 14 September 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar