Kamis, 28 September 2017

BERTOBATLAH DAN BUKAN MENGHAKIMI



Tersebutlah seorang murid Konfusius terkemuka. Ia sudah berumur 80 tahun, dan dipercaya tidak ada seorang pun di daratan China yang bisa menyamai kepakarannya dalam pengetahuan dan pemahaman ajaran Konfusius. Hari itu, ia mendengar bahwa di suatu tempat yang benar-benar jauh dan terpecil telah muncul ajaran atau doktrin baru. Orang-orang banyak membicarakannya bahwa doktrin itu lebih canggih dari apa yang diajarkannya. Hal ini membuat si pakar Konfusius ini menjadi gusar dan kesal. Dia kehilangan semangat hidup. Kegundahannya memaksa dia untuk menyelesaikan dengan cara apa pun.

Sang pakar yang tidak muda lagi ini memutuskan untuk menempuh perjalanan panjang, melintasi wilayah yang bermil-mil jauhnya untuk bertemu dengan si pengajar doktrin baru itu. Setelah sekian lamanya menempuh perjalanan maka sampailah dia di depan sang pengajar doktrin baru itu. Segera saja ia meminta sang guru itu untuk menjelaskan doktrin baru temuannya itu. Sang guru itu menjawab, "Tuan yang terhormat, ajaran yang kami sebarkan sangatlah sederhana. Tidak sulit apalagi rumit. Biasanya kami ringkas dalam sebuah kalimat, 'Hindari berbuat jahat, lakukan perbuatan baik sebanyak mungkin'. Itulah inti doktrin yang kami ajarkan!"

Mendengar jawaban itu, berkobarlah amarah sang cendekiawan sepuh itu, lalu katanya, "Apa maksud Anda? Saya datang jauh-jauh ke sini menghadapi mara bahaya dan ancaman menempuh perjalanan maut yang panjang di usia saya yang renta. Dan Anda hanya mengutip kata-kata sederhana yang bahkan anak umur tiga tahun pun hafal kata-kata itu! Anda mengejek saya?"

Sang guru itu dengan sangat sopan menjawab, "Saya tidak sedang mengejek Tuan. Tapi itu betul ajaran dan apa yang sedang kami hidupi adalah itu. Tolong jangan emosi dulu, pikirkan baik-baik: Meskipun kalimat itu mudah diucapkan, bahkan setiap anak umur tiga tahun dapat dengan mudah menghafalnya, tetapi bisa saja orang umur delapan puluh tahun pun gagal untuk melakukannya!"

Berbicara, menghafal, mengerti dan memahami bisa saja jauh panggang dari api dengan prilaku hidup. Perkataan dan ajaran yang kita pegangi bisa jadi berbeda dengan apa yang kita lakukan. Coba kita renungkan: Dalam beberapa minggu ini ketika kita mengikuti khotbah-khotbah leksionari tahun A (Injil Matius), telah banyak diajar dan diingatkan kembali tentang ajaran dan teladan dari Kristus. Minggu lalu kita diajak untuk bersyukur dan tidak iri hati dengan anugerah Tuhan untuk orang lain. Minggu sebelumnya, kita diingatkan untuk mengampuni sesama kita yang telah melukai kita. Bukan tujuh kali tetapi tujuh puluh kali tujuh kali. Nah, coba kita jujur dengan diri sendiri - jangan lihat orang lain - benarkah dengan sekuat tenaga kita melakukan firman itu?

Yang mengherankan sering kali kita merasa tidak bermasalah bahkan aman-aman saja ketika tidak melakukan firman itu dengan baik. Sebagian orang Kristen tetap yakin bahwa prilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari tidaklah berpengaruh terhadap janji keselamat dari Tuhan. Tidak sedikit orang Kristen melakukan tindakan korupsi, manifulasi pajak, curang dalam berbisnis, menyuap agar mendapatkan proyek, melakukan tindakan kekerasan dan banyak lagi yang sejenis dengan itu. Sementara dirinya merasa bahwa hal-hal itu bukanlah perkara yang dapat membatalkan keselamatan. Ternyata Allah tidak menghendaki sikap nyaman seperti ini. Allah menuntut pertanggungjawaban atas setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Yehezkiel mengecam cara berpikir orang Israel yang selalu mengaitkan eksistensi mereka dengan leluhur (Yehezkiel 18). Mereka yakin sebagai bangsa pilihan Allah, umat yang diistimewakan Allah. Pastilah Allah akan selalu berpihak kepada mereka terlepas dari apa yang mereka lakukan!

Demikian juga dengan Yesus. Ia menegur para pembesar Yahudi yang merasa diri paling benar, paling ahli dalam pengetahuan tentang ajaran agama. Namun, kenyataannya minim sekali untuk dilakukan bahkan bertentangan dengan esensi ajaran yang mereka pegangi. Yesus menegur mereka dengan kisah perumpamaan seorang bapak yang mempunyai dua anak laki-laki (Matius 21:23-32). Kedua anak itu dimintanya untuk bekerja di kebun anggur. Anak pertama menyatakan kesediaanya dengan menjawab, "Ya" atas permintaan bapaknya ini. Sedangkan sang adik dengan tegas mengatakan, "Tidak!" Namun, apa yang terjadi kemudian? Jawaban "Ya" dari anak yang pertama ternyata dalam praktiknya tidak dikerjakan. Ia tidak pergi ke kebun anggur ayahnya itu! Anda bisa bayangkan jika punya anak di depan kita baik-baik namun kenyataannya sebaliknya.

Bagaimana dengan anak kedua? Jawaban yang diberikan sangat menyakitkan. Ia menolak permintaan bapaknya. Namun, apa yang terjadi kemudian? Anak ini menyesali akan kata-kata yang menyakiti ayahnya. Kemudian ia berubah pikiran. Kini ia kembali ke kebun anggur ayahnya dan mengerjakan tepat seperti yang diingini sang ayah.

Perumpamaan ini menegaskan kembali tema yang banyak diangkat oleh Injil Matius, yakni bahwa kehidupan beragama bukan sekedar sibuk memoles kata-kata dengan sopan mengucapkan "Ya" padahal nyatanya tidak dilakukan. Kehidupan beragama itu mestinya bermuara pada pertobatan diri bukan sibuk mencari-cari kesalahan orang lain. Imam-imam kepada yang berdebat dengan Yesus menjadi representasi dari anak pertama dalam cerita perumpamaan itu. Mereka mendengar peringatan Yohanes Pembaptis yang menyerukan pertobatan, tetapi tidak merespon dengan baik. Alih-alih berubah pikiran, mereka malah memusuhi dan sibuk mencari alasan untuk menyingkirkan baik Yohanes Pembaptis maupun Yesus. Tentu saja sikap ini sangat kontras dengan mereka yang diberi label "pendosa". Mereka ini adalah pemungut cukai, pezinah, pencuri, dan semua pelanggar Hukum Taurat. Namun, kemudian mereka menyesal dan percaya kepada Yesus. Mereka bertobat, berhenti dari keberdosaan mereka dan sekarang memulai hidup yang baru. Hidup yang mengerjakan kehendak Allah. Percis seperti anak kedua yang semula menolak permintaan ayahnya. Namun, kini kembali menggarap kebun anggur itu!

Sejarah Kitab Suci mengajarkan bahwa bukan karena keturunan tertentu atau merasa diri umat istimewa kemudian dapat mengecualikan untuk tidak melakukan kehendak-Nya dengan sungguh-sungguh. Malah sebaliknya, Tuhan meminta untuk setiap orang yang telah mengenal-Nya dengan baik harus memerhatikan hidup jauh lebih baik lagi. Sebaliknya, bisa saja pada mulanya kita tidak menyukai ibadah dan pengenalan akan Tuhan. Kita hidup dalam dan menikmati dosa. Ingatlah bahwa bagi Tuhan tidak ada kata terlembat untuk bertobat. Bagaikan bapa dalam perumpamaan Anak yang Hilang, Ia selalu menantikan orang-orang berdosa untuk kembali kepada-Nya. Bagi Dia tidak ada dosa yang paling besar untuk diampuni. Selalu ada pintu terbuka untuk setiap orang yang ingin kembali kepada-Nya. Jangan sia-siakan waktu yang ada, sebab kita tidak tahu batas sang waktu untuk kita itu kapan!

Jakarta 28 September 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar