"Indonesia banget!" Begitulah komentar
sebagian besar rakyat Indonesia ketika menyaksikan perayaan detik-detik
proklamasi di Istana Merdeka, Jakarta 17 Agustus yang lalu. Meski demikian
tetap saja ada satu dua orang yang nyinyir dan masih menganggapnya sebagai
politik pencitraan rezim Jokowi.
Boleh saja orang berpendapat
pesta rakyat yang di gelar di Istana Negara itu sebagai bagian dari politik
sang penguasa. Namun cobalah kita berpikir, bukankah tidak ada penguasa yang
tidak berpolitik? Semua kegiatan berbangsa dan bernegara tidak mungkin
dipisahkan dari ranah politik! Politik di tangan orang-orang baik akan menjadi
maslahat bagi sebuah komunitas bangsa. Sebaliknya, politik dan kekuasaan bisa
menjadi petaka bila berada di tangan orang-orang jahat. Apa pun pendapat orang,
fakta menunjukkan jelas ada yang berbeda dalam pesta kemerdekaan kemarin itu.
Getaran di episentrum istana itu mau menegaskan bahwa inilah Indonesia dengan
pelbagai keragaman budaya yang disajikan lewat balutan busana adat yang
ditampilkan oleh para undangan pesta rakyat itu!
Joko Widodo bersama Nyonya
bersedia untuk sejenak menanggalkan kejawaannya
yang selama ini dipandang superior di bumi Nusantara. Mereka berdua mengenakan
pakaian adat Kalimantan Selatan. Sang Presiden memberi ruang kepada semua suku-suku
bangsa di tanah air. Ia menyapa semua undangan dan berbaur bersama rakyat
biasa. Semua mendapat tempat, inilah Indonesia! "Inilah jati diri bangsa
kita dalam bernegara. Inilah kekuatan bangsa kita dalam menghadapi setiap
tantangan," kata sang presiden sehari sebelumnya di gedung parlemen.
Dalam hari yang sama, beda
tempat tetapi berbanding terbalik. Di Negara yang katanya embahnya demokrasi, Amerika Serikat. Presiden Donald Trump kembali
dihujani kecaman lantaran ucapannya yang membela kaum kulit putih dalam
peristiwa kekerasan di Charlottesville. Unjuk rasa kaum kulit hitam yang
menuntut keadilan berujung bentrok. Pada akhir unjuk raja, seorang simpatisan
pendukung supremasi kulit putih menabrakkan mobilnya ke arah kerumunan
pengunjuk rasa. Insiden itu menewaskan Heather Heyer, aktivis penentang
neo-Nazi, dan mencederai 19 orang lainnya. Arogansi Trump memicu mundurnya
sederet CEO yang tergabung dalam Forum Kebijakan dan Strategi serta Dewan
Manufaktur pendukung rezim Trump.
Supremasi, superioritas,
triumpalistik dan sejenisnya telah memakan begitu banyak korban. Lihat saja apa
yang telah dilakukan oleh Nazi, politik aparthaid di Afrika Selatan, pemusnahan
etnis atau genosida di Bosnia Herzegovina, Ruwanda, Somalia, dan banyak lagi
yang lainnya. Sudah tak terhitung nyawa dan penderitaan manusia maupun bumi ini
akibat arogansi diri dan kelompok yang berlebihan.
Masing-masing kelompok atau
suku bangsa tentu punya apa yang menjadi kebanggaan mereka. Tak terkecuali umat
Yahudi. Mereka bangga dengan predikat sebagai bangsa pilihan Allah. Mereka
merasa jauh lebih mulia dibanding dengan bangsa-bangsa lain. Taurat yang
diberikan Allah kepada Musa merupakan bukti bahwa hanya merekalah yang
dikhususkan Allah sebagai umat kesayangan-Nya. Di satu sisi, benar bahwa Allah
memilih dan mengkhususkan umat Israel sebagai umat pilihan. Namun, pada pihak
lain bukan berarti Allah tidak sayang kepada umat atau bangsa lain, apalagi
menganggapnya sampah. Allah memilih Israel agar melalui mereka kasih Allah
menjangkau semua orang di segala bangsa.
Taurat merupakan pegangan hidup
umat pilihan Allah. Namun sayangnya, tidak semua aspek kehidupan dengan jelas
diatur oleh Taurat. Maka apa yang belum jelas itu diperjelas melalui tafsir
para rabi, hasilnya ditetapkan sebagai aturan. Aturan ini turun-temurun dipraktikan
dan menjadi adat istiadat. Orang-orang Farisi dikenal sebagai kelompok yang
memelihara ketat adat istiadat ini. Adat istiadat nenek moyang ini sering
disebut sebagai Taurat Lisan. Tentu, semula penafsiran Taurat yang telah
berakar menjadi adat istiadat adalah baik, yakni memudahkan dan mendorong orang
untuk menaati Taurat TUHAN dan tujuan mulianya adalah menghasilkan orang-orang
yang saleh. Namun celakanya, seringkali Taurat Lisan itu menjadi tempat
berkelit dan topeng dari apa yang seharusnya dikerjakan.
Dalam bacaan Injil Minggu ini
(Matius 15: 10-28, lebih baik dibaca dari ayat 1) beberapa ahli Taurat dan
orang Farisi berdebat dengan Yesus. Perdebatan diawali dengan pertanyaan
mengenai mengapa para murid makan tanpa membasuh tangan terlebih dulu. Bagi
mereka apa yang dilakukan oleh para murid itu melanggar adat istiadat nenek
moyang. Yesus tidak menjawab soal cuci tangan. Namun dalam kesempatan ini, Ia
mau membuka kebusukan mereka yang berlindung dalam kedok Taurat dan tradisinya.
Yesus mengecam mereka dengan
contoh dari salah satu ketentuan Taurat tentang menghormati ayah dan ibu. Yesus
tahu percis bahwa mereka sering melanggar hukum ini. Tradisi nenek moyang
mereka mengajarkan bahwa seorang anak yang sudah memberikan sejumlah hartanya
untuk dipersembahankan kepada Tuhan - yang sebenarnya harta itu untuk merawat
orangtuanya - tidak lagi wajib untuk mengurusi orang tuanya. Inilah yang
disebut sebagai tradisi kurban: kalau sesuatu telah dikurbankan bagi Allah,
orang yang sebenarnya berhak atas sesuatu itu tidak lagi bisa menuntut haknya
kalau hal itu sudah dikurbankan untuk Allah. Bagi Yesus, praktik ini tidak
dapat dibenarkan bahkan jahat dan busuk. Jelas-jelas mereka telah melanggar
perintah Allah demi adat istiadat nenek moyang. Mereka tidak menaati perintah
Allah, yakni menghormati ayah dan ibu hanya untuk memenuhi tradisi kurban. Ada
kalanya tradisi ini dilakukan untuk melepaskan tanggung jawab mereka dalam
memelihara orang tua. Yesus melihat praktik ini adalah sebuah kemunafikan!
Yesus lagi-lagi tidak membahas
persoalan cuci tangan. Namun, lebih jauh dari itu tentang makanan yang halal
dan haram. Tujuan dari mencuci tangan sebelum makan adalah menjaga kebersihan.
Sekarang Yesus mengatakan bahwa bukan hal-hal luar yang menaziskan atau
menghalalkan seseorang. Bukan tangan kotor yang menaziskan makana yang dimakan.
Bukan yang masuk melalui mulut yang menaziskan, melainkan yang keluar. Tentu
perkataan Yesus ini tidak mudah dimengerti sekalipun oleh para murid-Nya
sendiri. Yesus menjelaskan bahwa apa yang keluar dari mulut itu berasal dari
dalam, dari hati. Dari hatilah timbul segala pikiran yang jahat, pembunuhan,
perzinahan, pencurian, sumpah palsu, hujat dan sebagainya. Itu semua bukan
bersumber dari makanan! Maka bukanlah mananan yang harus dibereskan, melainkan
hati!
Pelajaran untuk tidak terjebak
dalam primordial dan berlindung dalam kebanggaan palsu mestinya sudah selesai
buat para murid. Namun nyatanya ketika Yesus menyingkir keluar dari wilayah
"umat istimewa" daerah itu adalah Tirus dan Sidon, pelajaran itu
belum selesai. Kini, Yesus berjumpa dengan seorang perempuan Kanaan yang anaknya sedang sakit kerasukan. Ia
memohon dengan sangat agar Yesus memulihkan anaknya itu. Perempuan Kanaan ini menyembah
Yesus dan mengakui-Nya sebagai Tuhan. Namun, para murid merasa terganggu dengan
kedatangan perempuan itu.
Dalam catatan Injil Matius,
para murid telah beberapa kali menyuruh pergi orang-orang tanpa memenuhi
kebutuhan mereka (Mat. 14:15; 15:32-33). Sikap tak peduli murid-murid terhadap
perempuan asing ini merupakan cerminan jemaat Matius yang dominan Yahudi. Atas
dasar itu, maka jawaban Yesus terhadap permohonan si perempuan tersebut
merupakan refleksi dari superioritas Yahudi-Kristen pada zaman Matius. Tidaklah
mengherankan kalau kata-kata Yesus terlihat kasar dan rasis, "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang
hilang dari umat Israel. (Mat. 15:24)", "Tidak patut mengambil roti bagi anak-anak dan melemparkannya kepada
anjing.(Mat. 14:26).
Apakah Yesus rasis dan
diskriminatif? Tujuan cerita ini bukanlah menggambarkan Yesus sebagai Yahudi
diskriminatif - sebab kalau hal ini benar, buat apa kisah sebelumnya Yesus
mendobrak adat istiadat primordial Yahudi. Kisah ini, mau mengajarkan bahwa
Allah peduli kepada semua orang, termasuk orang yang dianggap kafir dan tidak
mungkin mendapat berkat dari sudut pandang superioritas Yudaisme. Kisah ini mau
mengoreksi kebanggaan jemaat Matius akan tradisi dan eklusifisme mereka. Kisah
ini mau bicara tentang iman yang otentik. Dalam diri perempuan Kanaan iman dan
kerendahan hati berkelindan sama seperti sang perwira di Kapernaun.
Kalau di awal saya mengutip
kalimat "Indonesia banget!"
Bisakah setiap pengikut Yesus membuka diri, membagi ruang bagi sesama,
merangkul mereka dan mengasihi tanpa bertanya sukumu apa? Agamamu apa? Kalau
itu dapat kita lakukan maka yang seperti ini, "Kristen banget!"
Independent day '2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar