Jumat, 18 Agustus 2017

KASIH ALLAH UNTUK SEMUA



"Indonesia banget!" Begitulah komentar sebagian besar rakyat Indonesia ketika menyaksikan perayaan detik-detik proklamasi di Istana Merdeka, Jakarta 17 Agustus yang lalu. Meski demikian tetap saja ada satu dua orang yang nyinyir dan masih menganggapnya sebagai politik pencitraan rezim Jokowi.
                          
Boleh saja orang berpendapat pesta rakyat yang di gelar di Istana Negara itu sebagai bagian dari politik sang penguasa. Namun cobalah kita berpikir, bukankah tidak ada penguasa yang tidak berpolitik? Semua kegiatan berbangsa dan bernegara tidak mungkin dipisahkan dari ranah politik! Politik di tangan orang-orang baik akan menjadi maslahat bagi sebuah komunitas bangsa. Sebaliknya, politik dan kekuasaan bisa menjadi petaka bila berada di tangan orang-orang jahat. Apa pun pendapat orang, fakta menunjukkan jelas ada yang berbeda dalam pesta kemerdekaan kemarin itu. Getaran di episentrum istana itu mau menegaskan bahwa inilah Indonesia dengan pelbagai keragaman budaya yang disajikan lewat balutan busana adat yang ditampilkan oleh para undangan pesta rakyat itu!

Joko Widodo bersama Nyonya bersedia untuk sejenak menanggalkan kejawaannya yang selama ini dipandang superior di bumi Nusantara. Mereka berdua mengenakan pakaian adat Kalimantan Selatan. Sang Presiden memberi ruang kepada semua suku-suku bangsa di tanah air. Ia menyapa semua undangan dan berbaur bersama rakyat biasa. Semua mendapat tempat, inilah Indonesia! "Inilah jati diri bangsa kita dalam bernegara. Inilah kekuatan bangsa kita dalam menghadapi setiap tantangan," kata sang presiden sehari sebelumnya di gedung parlemen.

Dalam hari yang sama, beda tempat tetapi berbanding terbalik. Di Negara yang katanya embahnya demokrasi, Amerika Serikat. Presiden Donald Trump kembali dihujani kecaman lantaran ucapannya yang membela kaum kulit putih dalam peristiwa kekerasan di Charlottesville. Unjuk rasa kaum kulit hitam yang menuntut keadilan berujung bentrok. Pada akhir unjuk raja, seorang simpatisan pendukung supremasi kulit putih menabrakkan mobilnya ke arah kerumunan pengunjuk rasa. Insiden itu menewaskan Heather Heyer, aktivis penentang neo-Nazi, dan mencederai 19 orang lainnya. Arogansi Trump memicu mundurnya sederet CEO yang tergabung dalam Forum Kebijakan dan Strategi serta Dewan Manufaktur pendukung rezim Trump.

Supremasi, superioritas, triumpalistik dan sejenisnya telah memakan begitu banyak korban. Lihat saja apa yang telah dilakukan oleh Nazi, politik aparthaid di Afrika Selatan, pemusnahan etnis atau genosida di Bosnia Herzegovina, Ruwanda, Somalia, dan banyak lagi yang lainnya. Sudah tak terhitung nyawa dan penderitaan manusia maupun bumi ini akibat arogansi diri dan kelompok yang berlebihan.

Masing-masing kelompok atau suku bangsa tentu punya apa yang menjadi kebanggaan mereka. Tak terkecuali umat Yahudi. Mereka bangga dengan predikat sebagai bangsa pilihan Allah. Mereka merasa jauh lebih mulia dibanding dengan bangsa-bangsa lain. Taurat yang diberikan Allah kepada Musa merupakan bukti bahwa hanya merekalah yang dikhususkan Allah sebagai umat kesayangan-Nya. Di satu sisi, benar bahwa Allah memilih dan mengkhususkan umat Israel sebagai umat pilihan. Namun, pada pihak lain bukan berarti Allah tidak sayang kepada umat atau bangsa lain, apalagi menganggapnya sampah. Allah memilih Israel agar melalui mereka kasih Allah menjangkau semua orang di segala bangsa.

Taurat merupakan pegangan hidup umat pilihan Allah. Namun sayangnya, tidak semua aspek kehidupan dengan jelas diatur oleh Taurat. Maka apa yang belum jelas itu diperjelas melalui tafsir para rabi, hasilnya ditetapkan sebagai aturan. Aturan ini turun-temurun dipraktikan dan menjadi adat istiadat. Orang-orang Farisi dikenal sebagai kelompok yang memelihara ketat adat istiadat ini. Adat istiadat nenek moyang ini sering disebut sebagai Taurat Lisan. Tentu, semula penafsiran Taurat yang telah berakar menjadi adat istiadat adalah baik, yakni memudahkan dan mendorong orang untuk menaati Taurat TUHAN dan tujuan mulianya adalah menghasilkan orang-orang yang saleh. Namun celakanya, seringkali Taurat Lisan itu menjadi tempat berkelit dan topeng dari apa yang seharusnya dikerjakan.

Dalam bacaan Injil Minggu ini (Matius 15: 10-28, lebih baik dibaca dari ayat 1) beberapa ahli Taurat dan orang Farisi berdebat dengan Yesus. Perdebatan diawali dengan pertanyaan mengenai mengapa para murid makan tanpa membasuh tangan terlebih dulu. Bagi mereka apa yang dilakukan oleh para murid itu melanggar adat istiadat nenek moyang. Yesus tidak menjawab soal cuci tangan. Namun dalam kesempatan ini, Ia mau membuka kebusukan mereka yang berlindung dalam kedok Taurat dan tradisinya.

Yesus mengecam mereka dengan contoh dari salah satu ketentuan Taurat tentang menghormati ayah dan ibu. Yesus tahu percis bahwa mereka sering melanggar hukum ini. Tradisi nenek moyang mereka mengajarkan bahwa seorang anak yang sudah memberikan sejumlah hartanya untuk dipersembahankan kepada Tuhan - yang sebenarnya harta itu untuk merawat orangtuanya - tidak lagi wajib untuk mengurusi orang tuanya. Inilah yang disebut sebagai tradisi kurban: kalau sesuatu telah dikurbankan bagi Allah, orang yang sebenarnya berhak atas sesuatu itu tidak lagi bisa menuntut haknya kalau hal itu sudah dikurbankan untuk Allah. Bagi Yesus, praktik ini tidak dapat dibenarkan bahkan jahat dan busuk. Jelas-jelas mereka telah melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyang. Mereka tidak menaati perintah Allah, yakni menghormati ayah dan ibu hanya untuk memenuhi tradisi kurban. Ada kalanya tradisi ini dilakukan untuk melepaskan tanggung jawab mereka dalam memelihara orang tua. Yesus melihat praktik ini adalah sebuah kemunafikan!

Yesus lagi-lagi tidak membahas persoalan cuci tangan. Namun, lebih jauh dari itu tentang makanan yang halal dan haram. Tujuan dari mencuci tangan sebelum makan adalah menjaga kebersihan. Sekarang Yesus mengatakan bahwa bukan hal-hal luar yang menaziskan atau menghalalkan seseorang. Bukan tangan kotor yang menaziskan makana yang dimakan. Bukan yang masuk melalui mulut yang menaziskan, melainkan yang keluar. Tentu perkataan Yesus ini tidak mudah dimengerti sekalipun oleh para murid-Nya sendiri. Yesus menjelaskan bahwa apa yang keluar dari mulut itu berasal dari dalam, dari hati. Dari hatilah timbul segala pikiran yang jahat, pembunuhan, perzinahan, pencurian, sumpah palsu, hujat dan sebagainya. Itu semua bukan bersumber dari makanan! Maka bukanlah mananan yang harus dibereskan, melainkan hati!

Pelajaran untuk tidak terjebak dalam primordial dan berlindung dalam kebanggaan palsu mestinya sudah selesai buat para murid. Namun nyatanya ketika Yesus menyingkir keluar dari wilayah "umat istimewa" daerah itu adalah Tirus dan Sidon, pelajaran itu belum selesai. Kini, Yesus berjumpa dengan seorang perempuan Kanaan  yang anaknya sedang sakit kerasukan. Ia memohon dengan sangat agar Yesus memulihkan anaknya itu. Perempuan Kanaan ini menyembah Yesus dan mengakui-Nya sebagai Tuhan. Namun, para murid merasa terganggu dengan kedatangan perempuan itu.

Dalam catatan Injil Matius, para murid telah beberapa kali menyuruh pergi orang-orang tanpa memenuhi kebutuhan mereka (Mat. 14:15; 15:32-33). Sikap tak peduli murid-murid terhadap perempuan asing ini merupakan cerminan jemaat Matius yang dominan Yahudi. Atas dasar itu, maka jawaban Yesus terhadap permohonan si perempuan tersebut merupakan refleksi dari superioritas Yahudi-Kristen pada zaman Matius. Tidaklah mengherankan kalau kata-kata Yesus terlihat kasar dan rasis, "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. (Mat. 15:24)", "Tidak patut mengambil roti bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.(Mat. 14:26).

Apakah Yesus rasis dan diskriminatif? Tujuan cerita ini bukanlah menggambarkan Yesus sebagai Yahudi diskriminatif - sebab kalau hal ini benar, buat apa kisah sebelumnya Yesus mendobrak adat istiadat primordial Yahudi. Kisah ini, mau mengajarkan bahwa Allah peduli kepada semua orang, termasuk orang yang dianggap kafir dan tidak mungkin mendapat berkat dari sudut pandang superioritas Yudaisme. Kisah ini mau mengoreksi kebanggaan jemaat Matius akan tradisi dan eklusifisme mereka. Kisah ini mau bicara tentang iman yang otentik. Dalam diri perempuan Kanaan iman dan kerendahan hati berkelindan sama seperti sang perwira di Kapernaun.

Kalau di awal saya mengutip kalimat "Indonesia banget!" Bisakah setiap pengikut Yesus membuka diri, membagi ruang bagi sesama, merangkul mereka dan mengasihi tanpa bertanya sukumu apa? Agamamu apa? Kalau itu dapat kita lakukan maka yang seperti ini, "Kristen banget!"

Independent day '2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar