Jumat, 04 Agustus 2017

BELARASA DENGAN UCAPAN SYUKUR

Pesta digelar meriah di istana. Pelbagai menu lezat dihidangkan, bukan pengganjal perut yang lapar melainkan untuk memanjakan lidah. Sebab, setelah perut kenyang, mereka akan mengorek langit-langit mulut agar dapat memuntahkan kembali makanan yang sudah mereka telan. Selanjutnya mereka dapat makan kembali dan pesta dilanjutkan! Anggur dan pelbagai minuman keras menjadi pelengkap mesta mereka sebab, tanpa itu bukanlah pesta. Menu selanjutnya tarian! Bukan tarian biasa melainkan tarian erotis. Salome, anak Herodias itu menari luar biasa, liak-liuk tubuhnya begitu memesona sang raja. “Aku bersumpah, apa pun yang kau minta, hai sang penari, akan kukabulkan!” demikian sesumbar sang raja.

“Kepala Yohanes Pembatis, ya…kepala Yohanes Pembaptis!” Pinta sang gadis penari itu. Sabda kadung terucap, pantang ditarik kembali. Kepala Yohanes Pembaptis dalam talam menjadi hiasan pesta syukuran ulang tahun raja Herodes Antipas. Pesta berdarah!

Setelah mendengar tentang pembunuhan Yohanes Pembaptis, Yesus memutuskan menyingkir dan mengasingkan diri ke tempat yang sunyi. Namun ternyata orang banyak terus mengikuti-Nya. Ia menyembuhkan mereka dari pelbagai penyakit dan kelemahan, memberi mereka makan (Matius 14:13-21). Perjamuan di tempat yang sunyi itu diwarnai kepedulian, perhatian, pelayanan, pembagian, dan hidup dalam kelimpahan sangat kontras dengan pesta kemabukan, dendam dan pembunuhan dalam istana Herodes.

Dalam Injil Matius, Yesus berulang kali ditampilkan sebagai orang terancam dan harus menyingkir. Kita ingat ketika masa kanak-kanak, Yesus bersama orang tuanya harus menyingkir ke Mesir karena ancaman Herodes. Kali ini pun sama ancaman datang dari Herodes Antipas yang menyamakan Yesus dengan Yohanes Pembaptis yang telah bangkit. “Setelah mendengar berita itu (maksudnya berita tentang pembunuhan Yohanes) menyingkirlah Ia dari situ, hendak mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota mereka.” (Matius 14:13).

Dalam narasi Matius sangat jelas, Yesus menghindari ancaman Herodes. Namun, tujuan penyeberangan untuk mengungsi mengalami perubahan dengan kedatangan orang banyak. Orang banyak ini dalam Injil Matius tidak disamakan dengan bangsa Israel yang sesat dan menolak-Nya, sebaliknya mereka mendengar serta mengikuti Yesus dan akan menerima roti dari tangan murid-murid Yesus (ay.19). Yesus memandang mereka dengan belas kasihan sehingga mendorong-Nya untuk bertindak: memulihkan, menyembuhkan penyakit mereka dan kemudian memberi mereka makan.

Sebelum Yesus memberi mereka makan ada dialog dengan para murid yang cukup panjang (Mat. 14:15-18). Dalam percakapan itu dilukiskan keadaan darurat: sudah malam, tempat terpencil, dan orang banyak tanpa bekal makanan. Kondisi ini menuntut tindakan segera. Para murid mengusulkan agar orang banyak itu disuruh pulang saja, mengurusi diri mereka masing-masing mencari makanan di desa-desa terdekat. Yesus menjawab, “tidak,…kamu harus memberi mereka makanan!” Murid-murid-Nya menolak. Ini mustahil: tidak ada uang dan juga tidak ada penjual makanan apalagi dalam skala besar!

Mustahil! Itulah kata yang ada dalam benak para murid. Mereka sendiri – bersama Yesus – sebagai pengungsi yang menghindari kebengisan Herodes Antipas, tidak ada uang dan tidak ada makanan. Maka yang paling logis adalah menyuruh mereka mengurus sendiri kebutuhannya masing-masing. Namun, sayangnya dalam situasi krisis ini mereka lupa bahwa mereka telah menerima kuasa dari Yesus sendiri (Matius 10:1). “
Dalam keadaan sebagai pengungsi yang terancam penguasa, Yesus tetap memikirkan orang lain. “Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit.” (Matius 14:14) Kata “belas kasihan” berasal dari kata splagchnizomai menunjukkan kepedulian mendalam yang dilandasi oleh empati yang kemudian diwujudkan melalui tindakan pertolongan dan pemulihan, itulah belarasa!

Tindakan Yesus yang mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkan roti, dan memberikannya kepada orang yang dijamu, sama dengan tindakan tuan rumah pada setiap perjamuan Yahudi. Tetapi, Yesus melakukannya hanya dengan beberapa roti dan ikan untuk mengenyangkan orang banyak di tempat sunyi. Ia mengingatkan kita akan Musa serta pemberian manna di padang gurun, dan akan Elisa dengan dua puluh roti jelai mengenyangkan seratus orang, dan masih ada sisanya. Yesus melampaui kedua nabi besar itu. Yesus menunjukkan Allah yang peduli kepada kebutuhan manusia.

Roti yang diberikan kepada para murid tidak untuk dimakan oleh mereka, melainkan supaya mereka bagikan kepada orang banyak, seperti yang kelak akan menjadi tugas mereka pada perjamuan Tuhan dalam jemaat. Merekalah yang membagikan roti yang disediakan Yesus dan orang banyak makan sampai kenyang. Murid-murid yang pada awalnya kurang percaya, akhirnya diyakinkan oleh kuasa Yesus yang dibagikan-Nya juga dengan mereka. Hasilnya luar biasa: mereka kenyang, sisa dua belas keranjang dan yang makan tidak kurang dari lima ribu keluarga!

Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa belarasa atau kepedulian itu bukan hanya sebuah perasaan. Merasa iba terhadap kesulitan atau penderitaan orang lain. Bukan itu! Melainkan, lebih jauh dari itu. Merasakan, berada pada posisi orang yang dalam kesulitan dan kemudian mengambil langkah konkrit untuk mengatasi setiap kesulitan itu. Tindakan menolong dan memberdayakan orang lain tidak selalu menunggu diri sendiri hidup berkelebihan. Bukan ini kuncinya! Lihat saja, pesta pora Herodes Antipas. Bukankah mereka telah hidup berkelimpahan secara materi? Tidak ada jaminan seseorang dapat peduli kepada sesamanya kalau ia sudah kaya atau berkelimpahan. Ada banyak cerita – termasuk Herodes – tentang orang kaya, berkuasa dan mempunyai segalanya namun sangat sulit mempunyai sikap belarasa.

Secara materi dan kondisi, Yesus tidak berada pada posisi menguntungkan. Ia terancam Herodes, berada di tempat sunyi, dan tidak banyak makanan! Namun, situasi ini bukanlah alasan untuk tidak peduli dengan kesulitan orang lain. Bagaimana dengan kita? Apakah tidur kita tetap nyenyak ketika mendengar rintihan orang lain? Apakah masih nikmat menelan makanan, sementara di samping kiri-kanan kita ada orang-orang yang mengais makanannya di tempat sampah?

Seperti Yesus memakai tangan para murid untuk menyalurkan makanan kepada setiap orang yang membutuhkan. Demikian juga sampai hari ini, Dia ingin memakai tangan kita untuk menyampaikan makanan kepada orang lain. Apakah kita menggunakan tangan ini dengan semestinya? Ataukah kita mengenggamnya untuk diri sendiri? Bersyukurlah kalau tangan kita masih berfungsi dengan baik.

Jakarta, 4 Agustus 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar