Pesta digelar meriah di istana. Pelbagai menu lezat dihidangkan, bukan
pengganjal perut yang lapar melainkan untuk memanjakan lidah. Sebab, setelah
perut kenyang, mereka akan mengorek langit-langit mulut agar dapat memuntahkan
kembali makanan yang sudah mereka telan. Selanjutnya mereka dapat makan kembali
dan pesta dilanjutkan! Anggur dan pelbagai minuman keras menjadi pelengkap
mesta mereka sebab, tanpa itu bukanlah pesta. Menu selanjutnya tarian! Bukan
tarian biasa melainkan tarian erotis. Salome, anak Herodias itu menari luar
biasa, liak-liuk tubuhnya begitu memesona sang raja. “Aku bersumpah, apa pun
yang kau minta, hai sang penari, akan kukabulkan!” demikian sesumbar sang raja.
“Kepala Yohanes Pembatis, ya…kepala Yohanes Pembaptis!” Pinta sang gadis
penari itu. Sabda kadung terucap, pantang ditarik kembali. Kepala Yohanes Pembaptis
dalam talam menjadi hiasan pesta syukuran ulang tahun raja Herodes Antipas.
Pesta berdarah!
Setelah mendengar tentang pembunuhan Yohanes Pembaptis, Yesus memutuskan
menyingkir dan mengasingkan diri ke tempat yang sunyi. Namun ternyata orang
banyak terus mengikuti-Nya. Ia menyembuhkan mereka dari pelbagai penyakit dan
kelemahan, memberi mereka makan (Matius 14:13-21). Perjamuan di tempat yang
sunyi itu diwarnai kepedulian, perhatian, pelayanan, pembagian, dan hidup dalam
kelimpahan sangat kontras dengan pesta kemabukan, dendam dan pembunuhan dalam
istana Herodes.
Dalam Injil Matius, Yesus berulang kali ditampilkan sebagai orang
terancam dan harus menyingkir. Kita ingat ketika masa kanak-kanak, Yesus
bersama orang tuanya harus menyingkir ke Mesir karena ancaman Herodes. Kali ini
pun sama ancaman datang dari Herodes Antipas yang menyamakan Yesus dengan
Yohanes Pembaptis yang telah bangkit. “Setelah
mendengar berita itu (maksudnya berita tentang pembunuhan Yohanes) menyingkirlah Ia dari situ, hendak
mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak
mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota
mereka.” (Matius 14:13).
Dalam narasi Matius sangat jelas, Yesus menghindari ancaman Herodes.
Namun, tujuan penyeberangan untuk mengungsi mengalami perubahan dengan
kedatangan orang banyak. Orang banyak ini dalam Injil Matius tidak disamakan
dengan bangsa Israel yang sesat dan menolak-Nya, sebaliknya mereka mendengar serta
mengikuti Yesus dan akan menerima roti dari tangan murid-murid Yesus (ay.19).
Yesus memandang mereka dengan belas kasihan sehingga mendorong-Nya untuk
bertindak: memulihkan, menyembuhkan penyakit mereka dan kemudian memberi mereka
makan.
Sebelum Yesus memberi mereka makan ada dialog dengan para murid yang
cukup panjang (Mat. 14:15-18). Dalam percakapan itu dilukiskan keadaan darurat:
sudah malam, tempat terpencil, dan orang banyak tanpa bekal makanan. Kondisi
ini menuntut tindakan segera. Para murid mengusulkan agar orang banyak itu
disuruh pulang saja, mengurusi diri mereka masing-masing mencari makanan di
desa-desa terdekat. Yesus menjawab, “tidak,…kamu harus memberi mereka makanan!”
Murid-murid-Nya menolak. Ini mustahil: tidak ada uang dan juga tidak ada
penjual makanan apalagi dalam skala besar!
Mustahil! Itulah kata yang ada dalam benak para murid. Mereka sendiri –
bersama Yesus – sebagai pengungsi yang menghindari kebengisan Herodes Antipas,
tidak ada uang dan tidak ada makanan. Maka yang paling logis adalah menyuruh
mereka mengurus sendiri kebutuhannya masing-masing. Namun, sayangnya dalam
situasi krisis ini mereka lupa bahwa mereka telah menerima kuasa dari Yesus sendiri
(Matius 10:1). “
Dalam keadaan sebagai pengungsi yang terancam penguasa, Yesus tetap
memikirkan orang lain. “Ketika Yesus
mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah
hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang
sakit.” (Matius 14:14) Kata “belas kasihan” berasal dari kata splagchnizomai menunjukkan kepedulian
mendalam yang dilandasi oleh empati yang kemudian diwujudkan melalui tindakan pertolongan
dan pemulihan, itulah belarasa!
Tindakan Yesus yang mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkan
roti, dan memberikannya kepada orang yang dijamu, sama dengan tindakan tuan
rumah pada setiap perjamuan Yahudi. Tetapi, Yesus melakukannya hanya dengan
beberapa roti dan ikan untuk mengenyangkan orang banyak di tempat sunyi. Ia
mengingatkan kita akan Musa serta pemberian manna di padang gurun, dan akan
Elisa dengan dua puluh roti jelai mengenyangkan seratus orang, dan masih ada
sisanya. Yesus melampaui kedua nabi besar itu. Yesus menunjukkan Allah yang
peduli kepada kebutuhan manusia.
Roti yang diberikan kepada para murid tidak untuk dimakan oleh mereka,
melainkan supaya mereka bagikan kepada orang banyak, seperti yang kelak akan
menjadi tugas mereka pada perjamuan Tuhan dalam jemaat. Merekalah yang
membagikan roti yang disediakan Yesus dan orang banyak makan sampai kenyang. Murid-murid
yang pada awalnya kurang percaya, akhirnya diyakinkan oleh kuasa Yesus yang
dibagikan-Nya juga dengan mereka. Hasilnya luar biasa: mereka kenyang, sisa dua
belas keranjang dan yang makan tidak kurang dari lima ribu keluarga!
Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa belarasa atau kepedulian itu
bukan hanya sebuah perasaan. Merasa iba terhadap kesulitan atau penderitaan
orang lain. Bukan itu! Melainkan, lebih jauh dari itu. Merasakan, berada pada
posisi orang yang dalam kesulitan dan kemudian mengambil langkah konkrit untuk
mengatasi setiap kesulitan itu. Tindakan menolong dan memberdayakan orang lain
tidak selalu menunggu diri sendiri hidup berkelebihan. Bukan ini kuncinya!
Lihat saja, pesta pora Herodes Antipas. Bukankah mereka telah hidup
berkelimpahan secara materi? Tidak ada jaminan seseorang dapat peduli kepada
sesamanya kalau ia sudah kaya atau berkelimpahan. Ada banyak cerita – termasuk Herodes
– tentang orang kaya, berkuasa dan mempunyai segalanya namun sangat sulit
mempunyai sikap belarasa.
Secara materi dan kondisi, Yesus tidak berada pada posisi menguntungkan.
Ia terancam Herodes, berada di tempat sunyi, dan tidak banyak makanan! Namun,
situasi ini bukanlah alasan untuk tidak peduli dengan kesulitan orang lain.
Bagaimana dengan kita? Apakah tidur kita tetap nyenyak ketika mendengar
rintihan orang lain? Apakah masih nikmat menelan makanan, sementara di samping
kiri-kanan kita ada orang-orang yang mengais makanannya di tempat sampah?
Seperti Yesus memakai tangan para murid untuk menyalurkan makanan kepada
setiap orang yang membutuhkan. Demikian juga sampai hari ini, Dia ingin memakai
tangan kita untuk menyampaikan makanan kepada orang lain. Apakah kita menggunakan
tangan ini dengan semestinya? Ataukah kita mengenggamnya untuk diri sendiri?
Bersyukurlah kalau tangan kita masih berfungsi dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar