Apa yang kita fahami tentang “pola”? Secara umum orang memahaminya
sebagai bentuk atau model yang biasa dipakai atau ditiru untuk menghasilkan
produk yang sama. Contohnya pola dalam membuat busana, motif batik, barang
kerajinan, dan produk-produk lainnya. Mungkin mirip-mirip “cetak biru”.
Selanjutnya, pola juga tidak hanya berkaitan dengan benda tetapi juga dalam
perilaku. Pola hidup Kerajaan Allah mengandung pemahaman bahwa orang yang
mengetahui rahasia Kerajaan Allah akan menerapkan apa yang diinginkan Sang
Raja, yakni Allah sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Pola hidup Kerajaan Allah
bukanlah wacana melainkan kehidupan praksis kini dan di sini sambil berharap
kesempurnaannya pada masa depan.
Dalam Injil, Yesus tidak hanya menyatakan Kerajaan Allah itu sebagai
perkara rumit di masa depan sebagai realitas eskatologis yang kelak akan tiba
pada kedatangan-Nya kembali. Tetapi Ia menyatakan bahwa Kerajaan Allah sudah
hadir di dalam diri dan melalui pewartaan-Nya, “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka
sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Mat.12;28). Bahkan
kehadiran Kerajaan Allah itu tidak hanya melalui karya dan karsa Yesus sendiri.
Injil Lukas 10:17-18 menunjukkan bahwa Yesus ingin agar para murid mengerjakan
pelbagai pekerjaan dan pelayanan yang bersumber pada kuasa Kerajaan Allah.
Sejatinya Kerajaan Allah lebih dari sekedar kata, wacana atau doktrin,
melainkan moralitas yang sama sekali baru, berbeda dari tatanan umum duniawi. Mengapa?
Berbeda dan baru, oleh karena sebelumnya kebanyakan orang Yahudi memahami bahwa
Allah hanya memilih bangsa Israel dalam Kerajaan-Nya, hanya mereka yang
Yahudilah yang mempunyai hubungan istimewa dengan Allah. Mereka yang ada dalam
Kerajaan Allah adalah mereka yang setia memelihara Taurat. Mereka kudus dan tak
bercacat dalam melakukan ritual. Kerajaan Allah tidak akan diberikan kepada
mereka yang tidak memakan kosher atau
tidak mengindahkan hari sabat. Kerajaan Allah tidak mungkin dinikmati oleh para
pendosa: pelacur, pezinah atau pemungut cukai. Kerajaan Allah hanya akan
dimasuki oleh mereka yang sehat dan utuh secara fisik. Sakit penyakit merupakan
tanda kutukan dari Allah atas dosa yang mereka lakukan. Kerajaan Allah tidak
tersedia bagi mereka yang sakit, buta atau cacat. Orang miskin adalah orang
yang ditinggalkan oleh Allah! Oleh karena itu sulit bagi mereka untuk melihat Kerajaan
Allah dalam diri Yesus yang menjungkirbalikkan pemahaman Yudaisme ini.
Kerajaan Surga yang dihadirkan Yesus bukanlah semangat triumpalistik yang ingin menguasai dan
menaklukkan orang lain. Melainkan moralitas keprihatinan dan keberpihakan
kepada mereka yang selama ini memikul kuk yang berat serta tersisih: miskin,
papa, sakit, dan penyandang stigma pendosa. Selain dalam karya dan karsa, Yesus
menggunakan pengajaran dalam bentuk banyak perumpamaan untuk menjelaskan
Kerajaan Surga.
Beberapa perumpamaan dalam bacaan Injil yang kita baca hari ini (Matius
13 :31—33, 44-52) menyajikan suatu paradoks: di satu pihak, Kerajaan Surga itu
sangat kecil, seperti biji sesawi namun ia dapat tumbuh menjadi pohon yang
besar sehingga burung-burung dapat hinggap pada dahannya. Kerajaan Allah yang
diwujudkan dalam diri Yesus Kristus memang kecil. Bukankah mula-mula Yesus
hanya memanggil 12 orang murid saja. Bandingkan dengan tradisi keagamaan Yahudi
yang telah mapan; tidak ada apa-apanya! Namun, yang kecil ini kelak menjadi
besar, terus bertumbuh. Kebesarannya bukan terletak dalam penaklukkan kelompok
lain. Tetapi dengan menampilkan gaya hidup, atau pola kehidupan Kerajaan Allah.
Setidaknya kehidupan jemaat mula-mula mencerminkan hal ini.
Paradok selanjutnya, Kerajaan Surga digambarkan sebagai mutiara dan
harta karun yang amat berharga, namun di pihak lain seseorang yang menemukannya
harus mengorbankan segalanya untuk mendapatkannya. Dari perumpamaan ganda
tentang harta dan mutiara sering orang menarik kesimpulan bahwa untuk mendapatkan
Kerajaan Allah seseorang harus mengorbankan segala-galanya. Namun, makna
sesungguhnya bukan seperti itu. Kedua perumpamaan ini hendak menekankan begitu
tinggi dan mulianya Kerajaan Surga yang dibaratkan seperti mutiara dan harta
karun yang tidak ada bandingnya. Perhatikan ini : dalam kedua perumpamaan itu
dikisahkan bahwa mereka yang terlebih dahulu mengetahui dan mendapatkan mutiara
dan harta karun. Selanjutnya apa yang mereka miliki terasa tidak berarti
apa-apa dibandingkan dengan apa yang kini mereka temui. Nah, untuk itu mereka
bersedia melepaskan apa pun yang ada pada mereka demi “harta yang tak ternilai
itu”. Jelas karena mereka tahu bahwa nilainya jauh lebih tinggi. Nilai tinggi
itulah yang menjelaskan mengapa orang menaruh Kerajaan itu di atas segalanya,
lalu memberikan atau menanggalkan segalanya untuk memperoleh anugerah itu.
Sulit bagi para pemuka Yahudi, orang Farisi dan ahli Taurat untuk
melihat bahwa di dalam diri Yesus itulah sesungguhnya “mutiara” dan “harta
karun” yang tak ternilai dapat mereka jumpai. Sehingga tidak mudah bagi mereka
untuk melepaskan segala sesuatu yang terkait dengan “harta” mereka yakni
kebanggaan dan superioritas. Sebaliknya, bagi si pemungut cukai dan si
penzinah, tanpa kesulitan mereka menemukan “mutiara” dan “harta karun” itu.
Dampaknya, bagi si pemungut cukai tidak merasa rugi apa pun ketika ia menjual
setengah dari hartanya dan membagikannya kepada orang miskin serta
mengembalikan empat kali lipat kepada mereka yang pernah diperasnya. Dan
perempuan penzinah itu tidak menyayangkan setengah kati minyak narwastu murni dituangkan
untuk membasuh kaki Yesus dan menyeka dengan rambutnya! Itulah juga yang terjadi dengan Paulus, sejak perjumpaan dengan Yesus, apa yang menjadi kebanggaannya selama ini: sebagai orang Farisi, murid Gamaliel, tak bercacat dalam melakukan dan memelihara Taurat, kini - itu semua - menjadi tidak berarti dibanding kekayaan kasih karunia di dalam Yesus. Bahkan, Paulus menganggap semua kebanggaannya yang lalu itu hanya sampah belaka! Mengapa? Karena semua orang
telah menemukan “harta yang tak ternilai” itu, telah berjumpa dengan
Kerajaan Surga!
Aneka macam orang bisa masuk dalam Kerajaan Surga, bukan hanya yang
miskin dan yang kaya, tetapi juga yang baik dan yang jahat. Mereka berkumpul di
dalam Kerajaan itu ibarat aneka macam ikan yang terjaring di dalam pukat. Ada
yang berguna, dan ada yang nantinya harus dibuang. Selama pukat masih ditarik,
nelayan membiarkan itu terjadi. Begitu juga dalam Kerajaan Allah pada masa
sekarang, campuran orang baik dan buruk diterima dalam sebuah kenyataan. Mereka
sama-sama disebut umat Tuhan. Namun, barulah ketika pukat itu sudah penuh,
Kerajaan Surga sudah mencapai kepenuhannya, Tuhan sendiri akan memisahkan yang
baik dari yang jahat dan membuang yang jahat itu ke dalam kerajaan kelam.
Ingatlah ketika Yesus menyampaikan ajaran-Nya tentang Kerajaan Surga hal
ini bukan semata teori atau doktrin. Melainkan sangat praktis dan etis.
Bagaimana dengan kita? Ketika kita mengalami kesulitan untuk menanggalkan apa
yang menjadi kebanggaan kita, masih arogan dengan kepandaian, hikmat dan apa
pun yang kita miliki, itu artinya: kita belum bertemu apalagi memiliki “harta”
yang sesungguhnya! Hanya orang yang telah berjumpa dengan “mutiara” atau “harta
karun” itulah yang dapat menghadirkan Kerajaan Allah. Hanya orang yang telah
mengalami perjumpaan dengan Kerajaan Surga akan dapat menghadirkan pola “Surga”
itu dalam kehidupan nyata kini dan di sini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar