Seorang dokter berusaha dengan pelbagai cara untuk menolong pasiennya dalam menghadapi penyakit mematikan. Sang dokter menyadari ketika pasiennya menolak pelbagai terapi dan tindakan yang ia lakukan itu berarti akan mempercepat menuju kematian. Mungkin begitulah tindakan Allah terhadap manusia berdosa. Ia memakai segala macam cara agar manusia tidak binasa dalam keberdosaannya. Allah menghendaki pertobatan dan menyambut kasih-Nya itu. Namun, apa tanggapan manusia terhadap prakarsa Allah itu? Selalu ada alasan untuk menolak.
Penolakan itu tersirat dalam ucapan Yesus, “Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak berkabung.” (Matius 11:17). Ini merupakan kalimat teguran. Allah telah “meniup seruling” mengumandangkan melodi sukacita dalam Injil. Injil Allah mengisahkan tentang begitu besarnya kasih Allah bagi umat manusia. Dan itu nyata dalam diri Yesus Kristus. Allah membuka seluas-luasnya pintu pertobatan termasuk bagi para pemungut cukai, pezinah dan semua orang berdosa. Anak Manusia datang dengan makan dan minum”, Ia akrab dengan orang berdosa, Ia ramah dan mudah didekati. Namun, apa tanggapan mereka? Ya, mereka tidak “menari” dengan iringan seruling sukacita itu!
Pada pihak lain, ketika Allah mengumandangkan “kidung duka, mereka tidak berkabung”. Kidung duka dalam konteks ini adalah pesan yang dibawakan oleh Yohanes Pembaptis. Ia menyerukan pertobatan dan dengan ancaman keras. Yohanes tidak makan dan minum layaknya orang biasa, ia tidak bergaul akrab dengan khalayak ramai melainkan mengasingkan diri di padang gurun. Yohanes menyerukan “kidung duka” tentang kebinasaan. Namun, cara seperti ini pun tetap saja membuat mereka bergeming. Alih-alih bertobat, di penghujung karyanya, Yohanes harus membayar dengan kepalanya sendiri!
Menanggapi penolakan mereka, Yesus tetap menyukurinya, “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil.” (Mat.11:25) Dalam kalimat ini tersirat bahwa ada orang-orang yang menolak-Nya, yakni mereka yang disebut orang bijak dan orang pandai. Tetapi ada juga orang-orang yang menerima-Nya. Mereka ini adalah orang-orang “kecil”.
Siapa yang dimaksud dengan orang bijak dan orang pandai? Julukan ini menunjuk kepada orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang mahir dalam urusan Taurat dan tradisi nenek moyang. Namun, dengan kepandaian itu mereka menantang, menentang dan menolak Yesus. Hikmat dan kepandaian itu bukannya mempermudah mereka menyambut Yesus sebagai Mesias melainkan untuk membuat pelbagai macam dalil menolak karya Kristus. Karena penolakan itulah maka Allah menyembunyikan hikmat terhadap mereka.
Bagai sebuah pisau: di tangan penjahat bisa digunakan untuk membunuh, namun di tangan dokter bedah dapat mengangkat penyakit. Demikian juga dengan hikmat dan kepandaian, ia bisa membuat orang tertutup pada hikmat Allah yang sesungguhnya, mengingkari, menantang dan menentang. Namun, pada pihak lain hikmat dan kepandaian dapat menolong kita mengerti hikmat Allah itu. Banyak cerita di sekitar kita tentang orang-orang yang kita hormati keilmuannya. Namun, begitu kukuh dan angkuh untuk menerima usulan, masukan apalagi kritik. Ia merasa diri sudah cukup pandai dan berilmu maka tidak lagi membutuhkan nasihat orang lain.
Bisa jadi penyakit ini pun menghinggapi kita. Merasa sudah cukup memahami, mengerti dan menguasai pokok-pokok iman, sehingga bagi kita tertutup segala kemungkinan-kemungkinan lain. Pokoknya harus begitu! Kita menjadi sulit untuk membuka diri seperti Yesus membuka diri bagi mereka yang dicap sebagai pendosa berat. Seolah-olah Yesus yang kita kenal adalah Yesus untuk kalangan sendiri dan tidak boleh untuk mereka yang kita anggap berdosa! Kita jarang berpikir bagaimana seandainya Yesus hadir dalam rapat-rapat gerejawi kita, apakah Ia akan puas dengan cara kita ngotot mempertahankan kebenaran versi diri sendiri yang didukung oleh hikmat dan kepandaian kita? Ataukah Ia akan tersenyum melihat kiprah kita dalam keluarga kita? Bukankah baik sebagai suami, istri atau anak, kita sering mau menang sendiri.
Hikmat dan kepandaian adalah karunia Tuhan, jadi semestinya ia tidak boleh menghalangi kita untuk mengenal hikmat Allah yang lebih besar di dalam diri Yesus Kristus (Mat.11:19a). Demikian pula hikmat dan kepandaian itu tidak boleh membuat kita arogan dan membatasi karya Allah untuk orang dan ciptaan-Nya yang lain.
Pada pihak lain, Yesus bersyukur karena Bapa menyatakan semuanya kepada “orang kecil”. Tentu yang dimaksud di sini adalah para murid Yesus dan jemaat Matius yang telah bertobat dan menjadi seperti “anak kecil” (bnd.Mat. 18:3). Mereka ini diberikan karunia untuk memahami rahasia-rahasia Kerajaan Allah dan siapa Yesus. Ini bukanlah pemikiran mereka sendiri, namun karena kehendak Allah yang dinyatakan di dalam diri Yesus Krsitus.
Yesus menempatkan diri sebagai orang kecil yang bersandar kepada Bapa-Nya, sebagai hamba yang melayani sesama, khususnya yang hina dan berdosa. Ingatlah, karena pada masa itu orang cerdik pandai cenderung menolak-Nya. Yesus memberi kelegaan kepada mereka yang menyambut-Nya. Kelegaan (anapausis), “istirahat” bukan istirahat yang kosong di saat tidur atau berlibur tetapi istirahat yang sesungguhnya yang dinikmati bersama-sama dengan Tuhan.
Tidak seperti ahli Taurat dan orang Farisi yang memberikan beban berat kepada orang-orang “kecil”, Yesus memberikan kelegaan! Lalu, apakah dengan begitu murid-murid yang berguru kepada Yesus benar-benar bebas dalam arti tidak lagi memikul tugas tanggung jawab keagamaan? Beban yang dipikul oleh para murid yang mengikut Yesus tidak lebih ringan. Menurut Matius 5: 17-19 hukum harus digenapi oleh setiap murid Yesus, dilaksanakan lebih utuh sesuai dengan maksud semula, yakni mengasihi Allah dengan sebulat hati, dan mengasihi sesama seperti diri sendiri. Nah, kalau tidak lebih ringan, mengapa Yesus mengatakan bahwa “kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan?”
Ketika kita mengenal Yesus lalu merasakan, mengalami cinta kasih-Nya. Kita merasakan sentuhan-dan dekapan-Nya padahal kita menyadari bahwa diri kita begitu hina dan kotor. Perasaan ini jugalah yang dirasakan oleh Zakeus si pemungut cukai yang berdosa itu. Lalu apa yang ia lakukan? Ia rela menjual setengah dari hartanya untuk dibagikan bagi orang miskin dan akan mengembalikan empat kali lipat kepada orang yang pernah diperasnya! Bagi Zakeus ini bukan perkara berat. Ini lebih ringan ketimbang stigma yang diberikan oleh orang berhikmat dan orang pandai! Begitu pula dengan Anda dan saya, tidak ada perintah dan hukum Kristus yang berat ketika kita mengenal kasih-Nya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar