Hari-hari dalam minggu ini
sudah dipastikan di kota-kota besar tanah air menjadi lengang lantaran sebagian
penduduknya mudik. Mudik sudah menjadi tradisi tahunan di negeri ini. Pulang
kampung merupakan dambaan bagi banyak orang setelah setahun mereka bekerja. Apa
pun akan ditempuh seperti kemacetan di jalan raya sampai menghadapi pelbagai
risiko dalam perjalanan. Sebaliknya, masyarakat di Ibu Kota atau kota-kota
besar sebagian merasakan nyamannya berkendara, nyaris tidak ada lagi kemacetan.
Namun, banyak pula yang merasakan kehilangan tenaga-tenaga yang membantu
meringankan beban pekerjaan rumah tangga. Bagi sebagian orang hal ini dijadikan
peluang bisnis. Mereka menyalurkan pekerja rumah tangga sementara atau infal dengan bayaran berlipat ganda dari
biasanya. Kegiatan-kegiatan di gereja untuk sementara waktu dikurangi dengan
alasan tidak ada orang di rumah yang membereskan pekerjaan rumah. Di sinilah
orang-orang yang terbiasa dilayani menjadi kerepotan!
Banyak orang menjadi
kehilangan orang-orang “kecil” mana kala mereka tidak ada. Namun, ketika mereka
ada, seringkali kehadirannya tidak dianggap. Jangankan bercengkrama mendengar
isi hati dan pergumulan mereka, lewat di depan kita pun seolah tidak terlihat.
Mereka dipanggil dan diajak bicara ketika diminta mengerjakan ini dan itu.
Dalam dunia bisnis dan industri, nasib orang-orang “kecil” tidak lebih baik,
dimanfaatkan ketika tenaga dan pikirannya diperlukan. Hal yang lebih tragis
terjadi dalam dunia politik. Mereka didekati, dibujuk dan diiming-imingi
janji-janji surga ketika musim kampanye dan pemilihan umum. Selanjutnya,
setelah pesta demokrasi usai, alih-alih memenuhi janji, mereka dihianati.
Sangat mungkin dalam hati orang-orang “kecil” ini, mereka akan mengatakan, “mau
enaknya sendiri!”
Kebiasaan hidup hanya mau
enaknya sendiri nyaris menembus semua aspek kehidupan manusia. Mulai dari dalam
rumah sampai pada sistem birokrasi pemerintahan. Mulai dari sekolah sampai ke
dunia kerja. Di rumah, ada begitu banyak keluhan kaum ibu yang merasa tugas
tanggungjawab rumah tangga harus diselesaikan sendiri, belum lagi tugas untuk
merawat dan mendampingi anak. Sehingga banyak kaum ibu berkeluh-kesah, protes
dan ngedumel, namun tak mampu diungkapkan secara langsung, “Dasar
lelaki hanya mau enaknya sendiri!”
Bagaimana dengan kehidupan
beragama? Apakah bebas dari budaya mau enaknya sendiri? Oh, ternyata tidak.
Nggak percaya? Mari kita periksa doa-doa kita. Apa doa yang kita ucapkan dalam
doa makan ketika ada kenduri atau ucapan syukur. Yup, pasti ada ucapan syukur
bahwa Tuhan menyediakan makanan untuk kita! Lalu, kita minta Tuhan berkat lagi,
agar makanan itu menjadi kesehatan dan kekuatan bagi tubuh kita. Selanjutnya,
biar kedengaran saleh, tak lupa meminta Tuhan memerhatikan mereka yang miskin
dan kekurangan makan untuk diperhatikan oleh Tuhan. Nah, apakah ini bukan
praktek mau enaknya sendiri. Lah,
kita yang sedang makan masih nyuruh Tuhan juga untuk memberi makan bagi yang
kekurangan, bukankah Tuhan memercayakan kepada kita untuk berbagi makanan
dengan mereka. Bukan hanya itu saja seringkali kita pandai menggugat
janji-janji Tuhan. Bahkan ada ajaran tertentu yang mengharuskan kepada
pengikutnya untuk tidak segan-segan mengklaim /menggugat janji Tuhan. Seolah
Tuhan sudah melupakan janji-janjiNya. Sebaliknya, kita jarang menggugat
diri-sendiri, seberapa jauh menaati atau berkomitmen mengikut Tuhan dan
memberlakukan ajaran-Nya. Yang ini juga mau enaknya sendiri!
Jika kita menelusuri lebih
jauh, maka praktek hidup mau uenake dewe sudah lama ada dalam kehidupan
umat Tuhan di Perjanjian Lama. Kehidupan Israel, sering digambarkan sebagai
umat yang hanya mau enaknya sendiri. Sejak mereka keluar dari perbudakan di
Mesir. Mereka ogah menderita, ada kesulitan sedikit saja mereka ngomel kepada
Musa. Selanjutnya, dalam bacaan kita hari ini (Yeremia 28:5-9), sebagian umat
Israel lebih suka mendengar pemberitaan yang disampaikan oleh Hananya, yang
mereka angkat sebagai nabi ketimbang mendengar suara Nabi Yeremia. Mengapa?
Sebab apa yang disampaikan oleh Hananya adalah berita-berita yang menyenangkan.
Berita yang menghibur! Yakni, bahwa damai sejahtera dari Allah itu akan tetap
menyertai bangsa itu, oleh karena mereka adalah umat pilihan, umat yang
istimewa. Perbuatan mereka tidak berpengaruh terhadap kasih karunia yang Allah
berikan kepada mereka. Sebaliknya Yeremia menekankan pertanggungjawaban etis,
artinya perbuatan dan prilaku yang pantas sebagai umat Tuhan. Bagi Yeremia
simpel saja, waktu akan membuktikan mana yang berasal dari Allah dan yang
bukan.
Bukankah gaya pemberitaan yang
disampaikan Hananya sampai saat ini masih laku? Para pengkhotbah macam ini akan
selalu menekankan keberhasilan, kesuksesan, perlakuan istimewa dari TUHAN oleh
karena kita semua adalah anak-anak-Nya, anak Raja! Dan jarang sekali
mengingatkan bagaimana seorang anak Tuhan itu harus dengan setia, meskipun
menderita memberdayakan semua kekuatannya untuk melakukan kehendakNya.
Paulus mengajarkan kepada
jemaat di kota Roma (Roma 6:12-23), bahwa setiap orang yang percaya kepada Kristus,
ia sudah diselamatkan dari dosa-dosanya kini jangan lagi menghambakan diri pada
dosa, melainkan berusaha sedemikian rupa memuliakan nama Tuhan. Mendayagunakan
seluruh anggota tubuhnya sebagai senjata di tangan Allah untuk kebenaran. Nah,
jelas hidup yang seperti ini tidak mudah, tidak enak! Bayangkan sekarang apa
artinya bahwa setiap anggota-anggota tubuhmu diserahkan kepada Allah
(Rm.6:13b). Dalam tafsiran saya yang sederhana, begini: Tuhan sudah menciptakan
kita dengan berbagai macam anggota tubuh dan panca indra. Dulu, ketika dosa
masih menguasai kita maka kita mengeksploitasi anggota tubuh atau panca indra
kita untuk memuaskan hawa nafsu kita. Namun, sekarang mestinya kebalikan dari
itu. Tuhan menciptakan kita dengan mata untuk melihat. Dulu kita melihat
hal-hal yang menyenangkan dan memanjakan nafsu kita. Nah, sekarang bisakah mata
itu kita pakai seperti matanya Kristus, yang melihat penderitaan manusia
kemudian bertindak dan menolongnya. Tuhan menciptakan kita dengan telinga untuk
mendengar. Nah, sekarang bisakah telinga kita dipakai sama seperti telinga
Kristus, yang dengan tajam mampu mendengar suara BapaNya, mendengar derita di
sekelilingNya, lalu bertindak menolong. Demikian juga dengan seluruh anggota
tubuh kita yang lain.
Tuhan Yesus sudah
mempercayakan tugas untuk meneruskan karyaNya itu kepada semua pengikutNya,
termasuk Anda dan saya. Maka ia menegaskan, “Barangsiapa menyambut kamu, ia
menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus
Aku.”(Matius 10:40) Dapatkah kita menjadi utusan yang baik jika pola hidup
kita hanya mau enaknya saja? Tentu saja mustahil. Kehadiran kita dapat menjadi
berkat apabila tutur kata dan cara kita hidup benar-benar belajarlah seperti
Kristus. Dia Anak Allah tetapi tidak menggunakan hak itu untuk kepentinganNya
sendiri, melainkan untuk kebaikan dunia ini. Jadi pergunakanlah seluruh anggota
tubuhmu untuk kemuliaan namaNya, sebab kita semua sudah ditebus olehNya. Sambutlah
orang-orang yang mungkin kita anggap remeh atau kecil dengan sebaik-baiknya.
Perlakukan mereka sebagai sesama dan anggota keluarga kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar