Jumat, 14 Juli 2017

BEBUAH BERLIPAT GANDA


Seorang petani tentu berharap kelak apa yang ditaburnya akan memanen hasil yang baik. Berlipat ganda! Maka ia akan mengerahkan pelbagai kemampuannya, mulai dari menyiapkan lahan. Tanah harus dibajak atau dicangkul agar gembur, diberi pupuk dan memastikan ketersediaan air. Kemudian pemilihan benih dan pembibitan. Lalu setelah itu pemeliharaan serius dengan pemupukan dan pengendalian hama. Jadi jelas sang petani tidak sekedar asal tabur benih dan kemudian berpangku tangan lalu mengharapkan hasil yang baik.

Ketika Yesus menggunakan perumpamaan memakai cerita contoh petani yang menaburkan benih (Matius 13:1-9), tentu di dalamnya juga berlaku keseriusan sang penabur dalam menyiapkan tanah garapan, pemeliharaan dan pelbagai kerja keras untuk kelak dapat memanen hasil berlipat ganda. Namun tidak menutup kemungkinan ada benih yang jatuh tidak pada tempat yang seharusnya, yakni tanah yang sudah disiapkan. Logikanya, tidaklah mungkin si petani menabur di pinggir jalan, bebatuan atau di semak duri. Cerita ini dibuat kontras agar maksud yang sesungguhnya dapat dipahami oleh para pendengarnya. Selain itu, petani di Galilea tidak menabur benih di tempat penyemaian lalu memindahkan bibit ke ladang, tetapi langsung menaburkan benih di tangan ke ladang yang sudah disiapkannya itu.

Dalam perumpamaan ini, benih-benih yang jatuh pada tempat yang tidak semestinya, yakni di tiga bagian tanah yang tidak menghasilkan dipertentangkan dengan benih yang jatuh di tanah yang baik dan akhirnya menghasilkan buah. Benih yang jatuh di tempat yang baik itu berbuah ada yang seratus kali, ada yang enam puluh kali, dan ada yang tiga puluh kali lipat. Sebaliknya, benih yang jatuh di tempat-tempat yang tidak tepat sudah tentu tidak menghasilkan apa-apa!

Dalam Injil Markus 4:10 murid-murid Yesus bertanya tentang makna perumpamaan yang disampaikan Yesus itu. Namun dalam Injil Matius sedikit berbeda, “Mengapa Engkau berkata-kata kepada mereka dalam perumpamaan?” (Mat.13:10). Yang dipertanyakan para murid adalah mengapa seolah-olah Yesus merahasiakan maksud yang sebenarnya dari perumpamaan itu. Hal ini masih terkait dengan pasal-pasal sebelumnya, yakni penolakan orang-orang Yahudi, khususnya kaum Farisi yang disebut kaum berhikmat dan pandai. Namun, justru hikmat dan kepandaian mereka menghalangi melihat Yesus sebagai Mesias.

Jawaban Yesus atas pertanyaan para murid itu berlapis-lapis, dari sebuah ajaran penghiburan bagi para murid; bahwa mereka diberi kesempatan untuk mengetahui rahasia-rahasia Kerajaan Surga, sedangkan orang Yahudi lainnya tidak diberi (Matius 11:25-27, 16-17). Yang dimaksud rahasia Kerajaan Allah adalah seluruh rencana penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus.

Jurang pemisah antara orang-orang Yahudi yang menolak Yesus – yang kepada mereka tidak diberi rahasia Kerajaan Surga – dengan mereka yang menyambut-Nya, yakni para murid, akhirnya dijawab dengan alasan: karena mereka tidak melihat, mendengar dan mengerti. Kata-kata ini jelas mengacu pada Yesaya 6:9-10, “Kamu akan mendengar dan mendengar namun tidak mengerti, kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap. Sebab hati bangsa ini telah menebal, dan telinganya berat mendengar, dan matanya melekat tertutup; supaya mereka jangan melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya dan mengerti dengan hatinya, lalu berbalik sehingga Aku menyembuhkan mereka.” 

Sebegitu teganyakah Allah menutup rapat-rapat pintu pertobatan, menguncinya agar mereka binasa? Sepintas mungkin kita menganggapnya seperti itu. Namun, jika kita menelisik kalimat Yesaya ini maka kita akan memahami mengapa Allah begitu serius untuk membuat mereka tidak lagi mendengar, melihat, dan memahami. Sebelum tiba pada kalimat “...supaya mereka jangan melihat..., jangan mendengar,...dan mengerti dengan hatinya, lalu berbalik sehingga Aku menyembuhkan mereka.” Ada kalimat, “Sebab hati bangsa ini telah menebal, dan telinganya berat mendengar, dan matanya melekat tertutup...” Jelaslah bahwa mereka terlebih dahulu menutup kasih karunia Allah!

Dalam penjelasan tentang perumpamaan sang penabur, Injil Matius menekankan tentang cara masing-masing orang dalam mendengar berita tentang Kerajaan Allah. Jelaslah bahwa mengetahui rahasia Kerajaan Allah itu (sama seperti penabur yang menaburkan benih) merupakan kasih karunia Allah sendiri. Tetapi manusia (seperti tempat benih mendarat) dapat menyia-nyiakan bahkan menolak kasih karunia Allah itu. Disebutkan ada tiga macam orang yang tidak menyambut firman dengan baik. 

Ada yang menerima firman itu dengan antusias, namun pada awalnya saja mereka menggebu-gebu tetapi tidak mau berakar akibatnya tidak bertahan ketika ada pelbagai pencobaan mereka cepat beralih. Ada yang membiarkan firman yang sudah diterima, tetapi kemudian didesak oleh kecemasan akan kebutuhan hidup atau godaan kekayaan. Mereka semuanya tidak menghasilkan buah.

Injil Matius fokus pada masalah, mengapa ada banyak orang yang mendengar Injil namun tidak berbuah. Hal ini terjadi karena orang yang mendengar Injil tidak menangkapnya dengan hati, tidak membuatnya berakar mendalam sehingga hilang lenyap sebelum menghasilkan buah.

Benar Injil Kerajaan Surga itu semata-mata adalah anugerah Allah. Allah yang penuh kasih itu telah melakukan pelbagai cara agar manusia melihat, mendengar dan mengerti. Kini, giliran manusia itu yang harus menyiapkan “tanah” yang baik dan perawatan yang optimal sehingga benih itu bukan saja dapat tumbuh, melainkan pada ujungnya menghasilkan buah yang banyak. Nah, apakah sekarang ini kita juga sudah menjadi “petani” yang baik, yang menyiapkan tanah dengan sungguh-sungguh dan sekuat tenaga merawatnya dengan baik?

Datang tidak terlambat dalam setiap acara ibadah dan pembinaan, menyiapkan suasana hati dan mengalokasikan waktu dalam bersaat teduh merupakan satu cara kita dalam menyiapkan “lahan” yakni hati kita untuk ditaburi firman Allah. Ingat petani harus mencangkul dan memberi pupuk awal pada tanah agar tanah itu gembur dan subur. Hal serupa harus kita lakukan dengan hati kita. Selanjutnya – seperti sang petani memelihara tanamannya – kita pun wajib memeliharanya, yakni dengan terus berlatih menjadi pelaku firman, tekun dalam persekutuan dan tidak mudah menyerah dengan pelbagai tantangan hidup. 

Buah itu bukan saja kehidupan kekal dalam Kerajaan Surga, penghiburan dan kekuatan bagi anak-anak Allah, tetapi juga akan tampak dalam kehidupan ini yakni dalam perubahan hidup sebagai murid-murid Kristus yang mengutamakan kehendak Allah dalam kehidupan mereka. Dengan demikian menghasilkan kesaksian bagi orang-orang di sekitarnya. Dengan begitu, menghasilkan buah kesaksian yakni orang lain dapat mengenal kasih Allah melalui Yesus Kristus.

Batu – Malang, 14 Juli 2017








































 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar