Apa yang ada dalam benak kita ketika seseorang melakukan hal keliru?
Naluri kita akan segera memberi sinyal untuk mengingatkan atau menegur. Tidak
salah! Kita tergoda untuk ingin segera “memperbaiki” orang lain. Selangkah lagi
kita menghakimi orang itu. Kita berpikir bahwa teguran akan membuat mereka
segera berubah. Kita menduga bahwa, “jika saya menegur mereka, mereka akan
segera berubah.” Teguran adalah senjata terbaik. Bagaimana kira-kira reaksi
orang yang ditegur? Bisa saja takut, marah, balik melawan dengan pelbagai
argumen pembelaan, atau menangis dan menyesali.
Pada umumnya kita akan suka bahkan menikmati “sensasi” manakala orang
yang kita tegur menampakkan perubahan. Ini yang kemudian akan menjadi
kenikmatan kita dalam menegur. Selanjutnya, perlahan tapi pasti teguran itu berubah
menjadi penghakiman. Pada zaman Yesus, penyakit ini rupanya menghinggapi
sebagian besar ahli orang-orang Farisi, ahli Taurat dan pemuka Yahudi. Mereka
sering menegur dan memberi label “pendosa” bagi mereka yang melanggar ketentuan
Taurat dan tradisi Yudaisme. Barangkali ada
benarnya bahwa orang-orang yang mereka hakimi itu telah berbuat dosa: pezinah,
pembunuh, pemungut cukai, orang-orang lalim dan lain sebagainya. Apakah salah
jika menunjuk “hidung” bahwa mereka berdosa?
Masih segar dalam ingatan kita, atau bahkan sampai hari ini bangsa kita
terus gaduh dengan wacana saling menghakimi dan mengkafirkan kelompok lain yang
tidak sepaham. Tampaknya semakin intens orang atau kelompok-kelompok yang ingin
sesegera mungkin menghukum, memenjarakan bahkan melenyapkan orang yang dianggap
melanggar norma-norma yang dipandang mereka sebagai kebenaran.
James Bryan Smith dalam bukunya “The
goog and beautiful live” mejelaskan bahwa walaupun teguran atau penghakiman
tampaknya dapat mengubah seseorang atau minimal mengusik kenyamanan mereka,
tetapi sebenarnya ada empat alasan yang membuat penghakiman malah tidak
benar-benar mengubah seseorang.
1. Penghakiman
tidaklah berasal dari hati yang mengasihi. Orang yang menghakimi tidak
mengasihi orang lain. Bunda Teresa pernah mengatakan, “Jika kamu menghakimi
orang lain, kamu tidak akan punya waktu untuk mengasihi mereka.” Inilah mengapa
orang tidak suka dihakimi. Secara alamiah, mereka tidak merasa dikasihi.
2. Sekalipun
kita benar, penghakiman adalah langkah yang salah. Ketika seseorang melakukan
kesalahan, orang tersebut harus mengakui atau memahami kesalahannya sendiri
terlebih dahulu. Ketika kita menghakimi orang lain, kita sedang memaksa mereka
untuk mengakui kesalahan mereka. Terkadang cara ini berhasil – pada masalah
ekstrim. Sayangnya, pada kebanyakan kasus sikap ini tidak bisa diterima. Mereka
yang dihakimi merasa sedang diserang dan mudah diterka, reaksi mereka akan
balas menyerang!
3. Penghakiman
adalah dekonstruksi tanpa rekonstrusi. Kita menghancurkan sebuah rumah, tetapi
tidak membangunnya kembali. Orang-orang yang kita hakimi mempunyai latar
belakang yang berbeda-beda yang membuat mereka bertindak seperti itu. Penghakiman
akan gagal mengubah seseorang karena penghakiman bukanlah faktor kunci dari
cara untuk berubah. Perubahan diri harus dimulai dengan perubahan konsep,
latihan rohani, lingkungan yang mendukung dan pertolongan Allah. Proses
perubahan itu panjang dan sulit.
4. Penghakiman
yang kita berikan bisa saja salah. Pepatah lama menunjukkan kesalahan ini, “Jangan
menghakimi orang lain sebelum kamu berjalan satu mil bersama mereka.” Apa yang
kita ketahui tentang orang lain sangatlah terbatas. Kita tidak tahu apa yang
mereka rasakan dan apa yang mereka alami. Philo dari Aleksandria pernah
mengatakan, “Berbuat baiklah, karena semua orang yang kamu temui menghadapi
pergumulan besar.”
Ketika kita merasa berada di pihak yang benar, berusaha mengerjakan kehendak
Allah, dan kemudian menyaksikan banyak kelaliman di sekitar kita, rasanya ingin
agar Tuhan segera menghukum dan melenyapkan orang-orang durjana itu. Namun,
cerita perumpamaan yang disampaikan Yesus tentang “Lalang di tengah gandum” (Matius
13:24-30, 36-43) berbicara sebaliknya. Bukan segera membinasakan si jahat,
melainkan bagaima harus terus bertumbuh sampai berbuah di tengah-tengah pelbagai
tindakan kelaliman.
Perumpamaan Yesus ini menanamkan kesabaran kepada setiap kita yang hidup
di lingkungan yang jahat. Kerajaan Allah yang hadir dalam diri orang-orang
benar, selalu berada di tengah masyarakat yang mengabaikan Allah dan kehendak-Nya.
Dalam kondisi ini, bisa saja timbul niat untuk membasmi, memerangi “mencabut
sampai ke akar-akarnya” segala kejahatan dan pelakunya, karena ketakutan yang
jadi pepatah, “Tanam lalang tidak akan tumbuh padi” Jadi, sebelum menjadi
besar, cabut saja lalangnya!
Apakah mereka harus mencabut lalang itu? Yesus melarangnya dengan alasan
demi keamanan “gandum”, lalu disusul dengan perintah untuk membiarkan keduanya
sama-sama tumbuh sampai masa panen tiba. Yesus menghendaki orang benar hidup
bersama dengan orang tidak benar dalam kesabaran dan belaskasihan, baik dalam
persekutuan murid-murid maupun di tengah masyarakat umum, sampai saatnya Tuhan
sendiri yang benar-benar menghakimi.
Yesus menghendaki agar orang-orang yang melakukan kehendak Allah tidak
menghakimi, lalu atas nama penegakan kebenaran menjadi jahat dengan membasmi
mereka yang gagal atau menolak melakukannya. Mereka diajar untuk sabar hidup
berdampingan. Yesus meminta kesabaran sampai pada waktu menuai, yakni hari
penghakiman Tuhan sendiri. Sebelum hari
itu tiba, lazimnya diberi kesempatan untuk bertobat. Jika Tuhan saja
begitu sabar sampai “menanti musim menuai” di akhir zaman, maka mestinya setiap
pengikut Tuhan haruslah bersikap seperti itu. Sabar! Hendaklah kita benar-benar
percaya dan beriman pada kuasa Tuhan dan keadilan-Nya. Perumpamaan ini, selain
memberi peringatan keras dan gamblang terhadap orang-orang yang terus berbuat
jahat, pengadilan Tuhan juga memberi pengharapan kepada umat-Nya yang tetap
sabar dan setia, sebab mereka akan dikumpulkan Allah dalam kemuliaan-Nya.
Sebuah pertanyaan muncul, “Apakah dengan begitu kita melakukan pembiaran
terhadap pelbagai tindakan kejahatan?” Sepintas terasa seperti itu. Namun, kita
harus mengingat kata kunci “sabar”. Sabar, bukan berarti pasrah dan tidak
melakukan apa pun! Ingat ketika kita mengatakan bahwa Tuhan itu panjang sabar,
hal ini tidak berarti Tuhan tidak melakukan apa pun dan membiarkan orang
berdosa terus melakukan kejahatan mereka. Tidak! Kesabaran Allah adalah
kesabaran “aktif”. Ia tidak segera menghukum dan membinasakan orang berdosa.
Ingatlah pesan para nabi dalam Perjanjian Lama, sebelum memberitakan murka
Allah selalu ada peringatan untuk bertobat, berbalik kepada Allah. selalu memberi peringatan dan kesempatan untuk
bertobat. Kesabaran-Nya membuat Ia mengutus para nabi menyampaikan pesan
pertobatan. Kesabaran-Nya ditunjukkan dengan merelakan Anak-Nya yang Tunggal
untuk menebus dosa manusia. Kesabaran-Nya terus berlangsung melalui Roh Kudus
yang mengetuk setiap pintu hati manusia untuk mengingatkan akan kekeliruan
langkah. Pendeknya, kesabaran-Nya bukan kesabaran pasif!
Ketika kita mengenakan cerita perumpamaan ini, saya yakin tak satu pun
kita mengidentikkan diri dengan ilalang. Pasti maunya kita disebut “gandum”.
Sebagai gandum tugas kita adalah berbuah, bukan menghakimi dan mengutuki
mengapa di sekitar kita banyak lalang. Lalang sepintas tumbuh seperti gandum,
nyaris sama. Mungkin saja sepintas prilaku orang-orang baik dan orang-orang
jahat sulit dibedakan. Namun, ingatlah bahwa “pohon” itu dikenal dari buahnya.
Kesabaran kita harus disertai dengan kejelian dalam berprilaku. Tidak terjebak
dalam cara-cara mereka bertindak. Dan di atas semua itu, dalam kesabaran kita
harus menghasilkan buah. Jangan hanya pandai mengkritik, menghakimi, mengutuk,
mencaci maki dan menyesali kejahatan; berikan contoh bagaimana seharusnya kita
berprilaku. Ingatlah bahwa kita tidak mungkin mengubah dunia, yang paling
memungkinkan adalah bahwa terlebih dahulu kita berubah, selanjutnya perubahan
itu akan menghasilkan buah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar