Kamis, 20 Juli 2017

ALLAH SANG PENYABAR

Apa yang ada dalam benak kita ketika seseorang melakukan hal keliru? Naluri kita akan segera memberi sinyal untuk mengingatkan atau menegur. Tidak salah! Kita tergoda untuk ingin segera “memperbaiki” orang lain. Selangkah lagi kita menghakimi orang itu. Kita berpikir bahwa teguran akan membuat mereka segera berubah. Kita menduga bahwa, “jika saya menegur mereka, mereka akan segera berubah.” Teguran adalah senjata terbaik. Bagaimana kira-kira reaksi orang yang ditegur? Bisa saja takut, marah, balik melawan dengan pelbagai argumen pembelaan, atau menangis dan menyesali.

Pada umumnya kita akan suka bahkan menikmati “sensasi” manakala orang yang kita tegur menampakkan perubahan. Ini yang kemudian akan menjadi kenikmatan kita dalam menegur. Selanjutnya, perlahan tapi pasti teguran itu berubah menjadi penghakiman. Pada zaman Yesus, penyakit ini rupanya menghinggapi sebagian besar ahli orang-orang Farisi, ahli Taurat dan pemuka Yahudi. Mereka sering menegur dan memberi label “pendosa” bagi mereka yang melanggar ketentuan Taurat dan tradisi Yudaisme.  Barangkali ada benarnya bahwa orang-orang yang mereka hakimi itu telah berbuat dosa: pezinah, pembunuh, pemungut cukai, orang-orang lalim dan lain sebagainya. Apakah salah jika menunjuk “hidung” bahwa mereka berdosa?

Masih segar dalam ingatan kita, atau bahkan sampai hari ini bangsa kita terus gaduh dengan wacana saling menghakimi dan mengkafirkan kelompok lain yang tidak sepaham. Tampaknya semakin intens orang atau kelompok-kelompok yang ingin sesegera mungkin menghukum, memenjarakan bahkan melenyapkan orang yang dianggap melanggar norma-norma yang dipandang mereka sebagai kebenaran.

James Bryan Smith dalam bukunya “The goog and beautiful live” mejelaskan bahwa walaupun teguran atau penghakiman tampaknya dapat mengubah seseorang atau minimal mengusik kenyamanan mereka, tetapi sebenarnya ada empat alasan yang membuat penghakiman malah tidak benar-benar mengubah seseorang.

1.  Penghakiman tidaklah berasal dari hati yang mengasihi. Orang yang menghakimi tidak mengasihi orang lain. Bunda Teresa pernah mengatakan, “Jika kamu menghakimi orang lain, kamu tidak akan punya waktu untuk mengasihi mereka.” Inilah mengapa orang tidak suka dihakimi. Secara alamiah, mereka tidak merasa dikasihi.

2.    Sekalipun kita benar, penghakiman adalah langkah yang salah. Ketika seseorang melakukan kesalahan, orang tersebut harus mengakui atau memahami kesalahannya sendiri terlebih dahulu. Ketika kita menghakimi orang lain, kita sedang memaksa mereka untuk mengakui kesalahan mereka. Terkadang cara ini berhasil – pada masalah ekstrim. Sayangnya, pada kebanyakan kasus sikap ini tidak bisa diterima. Mereka yang dihakimi merasa sedang diserang dan mudah diterka, reaksi mereka akan balas menyerang!

3.   Penghakiman adalah dekonstruksi tanpa rekonstrusi. Kita menghancurkan sebuah rumah, tetapi tidak membangunnya kembali. Orang-orang yang kita hakimi mempunyai latar belakang yang berbeda-beda yang membuat mereka bertindak seperti itu. Penghakiman akan gagal mengubah seseorang karena penghakiman bukanlah faktor kunci dari cara untuk berubah. Perubahan diri harus dimulai dengan perubahan konsep, latihan rohani, lingkungan yang mendukung dan pertolongan Allah. Proses perubahan itu panjang dan sulit.

4.   Penghakiman yang kita berikan bisa saja salah. Pepatah lama menunjukkan kesalahan ini, “Jangan menghakimi orang lain sebelum kamu berjalan satu mil bersama mereka.” Apa yang kita ketahui tentang orang lain sangatlah terbatas. Kita tidak tahu apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka alami. Philo dari Aleksandria pernah mengatakan, “Berbuat baiklah, karena semua orang yang kamu temui menghadapi pergumulan besar.”

Ketika kita merasa berada di pihak yang benar, berusaha mengerjakan kehendak Allah, dan kemudian menyaksikan banyak kelaliman di sekitar kita, rasanya ingin agar Tuhan segera menghukum dan melenyapkan orang-orang durjana itu. Namun, cerita perumpamaan yang disampaikan Yesus tentang “Lalang di tengah gandum” (Matius 13:24-30, 36-43) berbicara sebaliknya. Bukan segera membinasakan si jahat, melainkan bagaima harus terus bertumbuh sampai berbuah di tengah-tengah pelbagai tindakan kelaliman.

Perumpamaan Yesus ini menanamkan kesabaran kepada setiap kita yang hidup di lingkungan yang jahat. Kerajaan Allah yang hadir dalam diri orang-orang benar, selalu berada di tengah masyarakat yang mengabaikan Allah dan kehendak-Nya. Dalam kondisi ini, bisa saja timbul niat untuk membasmi, memerangi “mencabut sampai ke akar-akarnya” segala kejahatan dan pelakunya, karena ketakutan yang jadi pepatah, “Tanam lalang tidak akan tumbuh padi” Jadi, sebelum menjadi besar, cabut saja lalangnya!

Apakah mereka harus mencabut lalang itu? Yesus melarangnya dengan alasan demi keamanan “gandum”, lalu disusul dengan perintah untuk membiarkan keduanya sama-sama tumbuh sampai masa panen tiba. Yesus menghendaki orang benar hidup bersama dengan orang tidak benar dalam kesabaran dan belaskasihan, baik dalam persekutuan murid-murid maupun di tengah masyarakat umum, sampai saatnya Tuhan sendiri yang benar-benar menghakimi.

Yesus menghendaki agar orang-orang yang melakukan kehendak Allah tidak menghakimi, lalu atas nama penegakan kebenaran menjadi jahat dengan membasmi mereka yang gagal atau menolak melakukannya. Mereka diajar untuk sabar hidup berdampingan. Yesus meminta kesabaran sampai pada waktu menuai, yakni hari penghakiman Tuhan sendiri. Sebelum hari  itu tiba, lazimnya diberi kesempatan untuk bertobat. Jika Tuhan saja begitu sabar sampai “menanti musim menuai” di akhir zaman, maka mestinya setiap pengikut Tuhan haruslah bersikap seperti itu. Sabar! Hendaklah kita benar-benar percaya dan beriman pada kuasa Tuhan dan keadilan-Nya. Perumpamaan ini, selain memberi peringatan keras dan gamblang terhadap orang-orang yang terus berbuat jahat, pengadilan Tuhan juga memberi pengharapan kepada umat-Nya yang tetap sabar dan setia, sebab mereka akan dikumpulkan Allah dalam kemuliaan-Nya.

Sebuah pertanyaan muncul, “Apakah dengan begitu kita melakukan pembiaran terhadap pelbagai tindakan kejahatan?” Sepintas terasa seperti itu. Namun, kita harus mengingat kata kunci “sabar”. Sabar, bukan berarti pasrah dan tidak melakukan apa pun! Ingat ketika kita mengatakan bahwa Tuhan itu panjang sabar, hal ini tidak berarti Tuhan tidak melakukan apa pun dan membiarkan orang berdosa terus melakukan kejahatan mereka. Tidak! Kesabaran Allah adalah kesabaran “aktif”. Ia tidak segera menghukum dan membinasakan orang berdosa. Ingatlah pesan para nabi dalam Perjanjian Lama, sebelum memberitakan murka Allah selalu ada peringatan untuk bertobat, berbalik kepada Allah.  selalu memberi peringatan dan kesempatan untuk bertobat. Kesabaran-Nya membuat Ia mengutus para nabi menyampaikan pesan pertobatan. Kesabaran-Nya ditunjukkan dengan merelakan Anak-Nya yang Tunggal untuk menebus dosa manusia. Kesabaran-Nya terus berlangsung melalui Roh Kudus yang mengetuk setiap pintu hati manusia untuk mengingatkan akan kekeliruan langkah. Pendeknya, kesabaran-Nya bukan kesabaran pasif!

Ketika kita mengenakan cerita perumpamaan ini, saya yakin tak satu pun kita mengidentikkan diri dengan ilalang. Pasti maunya kita disebut “gandum”. Sebagai gandum tugas kita adalah berbuah, bukan menghakimi dan mengutuki mengapa di sekitar kita banyak lalang. Lalang sepintas tumbuh seperti gandum, nyaris sama. Mungkin saja sepintas prilaku orang-orang baik dan orang-orang jahat sulit dibedakan. Namun, ingatlah bahwa “pohon” itu dikenal dari buahnya. Kesabaran kita harus disertai dengan kejelian dalam berprilaku. Tidak terjebak dalam cara-cara mereka bertindak. Dan di atas semua itu, dalam kesabaran kita harus menghasilkan buah. Jangan hanya pandai mengkritik, menghakimi, mengutuk, mencaci maki dan menyesali kejahatan; berikan contoh bagaimana seharusnya kita berprilaku. Ingatlah bahwa kita tidak mungkin mengubah dunia, yang paling memungkinkan adalah bahwa terlebih dahulu kita berubah, selanjutnya perubahan itu akan menghasilkan buah…

Jakarta 20 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar