Hari Minggu yang lalu kita menghayati tema, “Tetap Menyatu di Tengah
Tekanan.” Kemarin, 1 Juni kita merayakan hari lahir Pancasila sebagai dasar
kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Hari Minggu ini, 4 Juni 2017 bertepatan
dengan perayaan Pentakosta, tema perenungan kita “Roh Kudus Memulihkan dan
Mempersatukan.” Sepertinya bukan sebuah kebetulan, di tengah perbagai kemelut,
maraknya ujaran kebencian dan gugatan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
beberapa minggu ini, kita diingatkan kembali akan pentingnya kesehatian dan
persatuan baik sebagai sesama anak bangsa maupun persekutuan sebagai saudara
seiman.
Jauh sebelum terjadinya perpecahan dalam jemaat Tuhan, Paulus mengingatkan
pentingnya kebersamaan dan kesatuan sebagai umat Tuhan. Mengapa? Karana, “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada
rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib,
tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang….Karena
sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota
itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Krisrus. Sebab dalam
satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak maupun
orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum
dalam satu Roh.” (1 Korintus 12:4-6, 12-13). Sebelumnya dalam 1 Korintus
1:10, Paulus mengingatkan, “tetapi aku
mengingatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya
kamu seia sekata dan jangan ada
perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir.”
Paulus menyadari betapa mudahnya orang bermusuhan karena perbedaan ras,
kelompok, golongan, kelas sosial dan juga karena perbedaan pengajaran, ideologi
dan doktrin. Paulus meminta mereka untuk “seia
sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu.” Kalimat ini mudah
diucapkan namun pertanyaanya, “Bagaimana mungkin bisa seia sekata dengan orang
yang berbeda pendapat? Bagaimana mungkin kita dapat bersatu dan sehati sepikir
dengan orang yang jelas-jelas punya pendirian yang berbeda? Haruskah kita
membuang konsep, opini, atau ajaran kita sendiri demi tidak persatuan itu?
Benar, kita tidak mungkin bisa setuju dan selalu mengiayakan pendapat,
keinginan apalagi doktrin dan ajaran yang berbeda dengan kita. Kita tifak
pernah dapat saling setuju, namun kita dapat dan harus setuju, seia-sekata
dengan satu hal, yakni: bahwa Yesus adalah Tuhan. Satu-satunya cara untuk kita
dapat “seia-sekata dengan orang lain” – sebagaimana Paulus menasehati jemaat
Korintus – adalah dengan membedakan hal yang sesensial dengan yang bukan esensial.
Kemudian mencari cara untuk mengasihi orang lain yang berselisih pendapat
dengan kita dalam hal yang tidak esensi itu. Hal-hal yang tidak esensi itu
bukannya tidak penting. Namun, tidak cukup penting untuk memisahkan diri atau
bahkan memusuhi satu dengan yang lain. Esensi baptisan adalam pengakuan percaya
kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Yang bukan esensi adalah metode
dan cara pembaptisan. Jadi, metode dan cara baptisan jelas penting. Namun,
tidak cukup penting untuk kita bertengkar apalagi saling membenci! Tidak cukup alasan
yang kuat buat saya membenci Anda lantaran Anda dibaptis dengan cara diselam,
sementara saya dibaptis dengan cara percik!
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama dan keyakinan iman kita
adalah penting dan mutlak untuk kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, tidak cukup alasan itu untuk kita membenci bahkan memusuhi orang yang
berbeda dengan kita! Justeru agama dan keyakinan iman diuji dalam mengasihi dan
merangkul orang yang berbeda bahkan yang memusuhi sekalipun!
Dalam keyakinan iman kita, Roh Kuduslah yang memunculkan kesadaran baru,
memulihkan pesimisme menjadi optimis. Dialah yang menyadarkan untuk kita dapat
bergandengan tangan dengan orang yang berbeda, dari berbagai kelompok,
golongan, suku, ras dan status sosial. Roh Kuduslah yang menghimpun orang
percaya dari pelbagai penjuru dunia untuk mengerti dan mengenal karya kasih
Allah. Peristiwa Pentakosta menegaskan itu.
Pentakosta merupakan suatu pesta iman. Dirayakan pada hari kelima puluh
setelah Paskah. Sering juga disebut pesta tujuh pekan. Awalnya pesta itu adalah
pesta syukur atas panen raya. Tetapi lambat-laun pesta itu dijadikan kesempatan
perayaan iman untuk mengenangkan kembali peristiwa Sinai, ketika Allah
menyampaikan hukum-hukum-Nya (Taurat) kepada Musa. Pesta Pentakosta berkembang
menjadi pembaruan janji setia akan hukum Musa. Mereka mau setia karena Allah
memenuhi janji-Nya, bukan hanya dengan keberhasilan panen, melainkan juga
dengan menganugerahkan Roh-Nya.
Dalam peristiwa Sinai itu perwahyuan hukum-hukum Allah disertai oleh
gejala-gejala alam yang menakutkan: api, asap dan gempa (Kel.19: 18 dst.). Kini, Pentakosta dalam
Perjanjian Baru juga disertai dengan tanda-tanda luar biasa. Tanda-tanda itu
adalah lidah-lidah api dan angin yang memampukan para murid menjadi saksi
kekaguman dan kegembiraan iman. Mereka juga dimampukan memahami segala yang
dipesankan Yesus untuk keselamatan umat manusia. Dengan cara itu, Lukas
menerjemahkan kembali tradisi Pentakosta yang menunjukkan bahwa penatua Israel
akhirnya juga mampu memahami apa yang menjadi pesan Allah kepada Musa agar
mereka setia kepada perjanjian dengan Allah. Kesetiaan itu tampak dalam
ketertiban dalam melaksanakan hukum-hukum Allah yang diwartakan oleh Musa
kepada Israel. Kini “Musa Baru”, yakni Yesus Kristus, mengutus Roh-Nya untuk
mendampingi para murid-Nya mengenali apa yang menjadi pesan dan perintah-Nya
bagi kehidupan. Mereka berhasil “menerjemahkan” dalam bahasa yang dimengerti
oleh setiap orang yang datang dari pelbagai peloksok negeri.
Pada waktu itu banyak peziarah datang dari berbagai peloksok daerah pada
perayaan itu (ingat peristiwa Pentakosta dalam Perjanjian Lama mewajibkan
orang-orang Yahudi yang tinggal dipelbagai wilayah untuk datang ke Yerusalem
untuk mengucap syukur pada pesta panen dan sekaligus merayakan turunnya Taurat
Tuhan kepada Musa). Para peziarah inilah yang ikut hanyut dalam saksi
kegembiraan dan gairah baru yang dianugerahkan Roh Kudus terhadap segala
bangsa. Itulah yang kemudian akan menjadi “ladang” para murid Yesus
menyampaikan Injil sampai ke ujung-ujung bumi. Berita itu menjadi berita
sukacita antar lintas bangsa.
Daftar bangsa-bangsa yang dicatat Lukas ini menunjukkan bahwa Injil
bukan hanya diperuntukkan satu bangsa dengan satu bahasa saja. Kisah ini
menegaskan keanekaragaman dan kebhinekaan saksi peristiwa Pentakosta yang baru
tersebut. Ayat-ayat ini menyebutkan 15 bangsa dan negeri. Dari wilayah-wilayah
itu hadir orang-orang Yahudi dan proselit.
Daftar itu mula-mula menyebutkan bangsa-bangsa yang diam di sebelah timur
Palestina, di wilayah Efrat dan Tigris, kemudian wilayah sebelah barat dan di
provinsi koloni Romawi, Asia Kecil dan menyusul di daerah-daerah Selatan (Mesir
dan Libia) dan akhirnya disebut pusat Kerajaan Romawi. Pada masa itu di setiap
daerah yang disebutkan terdapat pemukiman-pemukiman Yahudi. Mereka yang sudah
berdiam turun-temurun di luar Palestina, tentu sudah terbiasa menggunakan
bahasa di mana mereka tinggal. DI samping orang Yahudi dan keturunan Yahudi,
ada juga dari pelbagai wilayah itu orang-orang lokal yang menganut Yudaisme
atau proselit. Terakhir, disebutkan orang-orang
Kreta (di Laut Tengah) dan orang-orang Arab. Ini menggambarkan keberagaman
manusia seluruh dunia.
Pada saat itu mereka dikejutkan oleh tiupan angin keras dan lidah-lidah
api. Kemudian orang-orang Galilea itu berbicara kepada mereka. Semakin besarlah
keheranan orang-orang yang berkumpul di Yerusalem yang berasal dari pelbagai
peloksok negeri itu karena ternyata mereka mendengar orang-orang Galilea itu
berbicara menggunakan bahasa mereka sendiri! Kita dapat membayangkan, mereka adalah
peziarah dari pelbagai negeri, mereka ada di Yerusalem sebagai “orang asing”.
Namun kini, mereka diajak bicara dengan bahasa ibu mereka masing-masing. Hal
tersebut pastinya memberi kesan yang mendalam. Apalagi, yang mereka dengar
adalah berita yang teramat dasyat. Berita tentang keselamatan!
Isi dari warta gembira dirumuskan dengan singkat, yakni karya Allah yang
menakjubkan. Pentakosta adalah pesta kegembiraan yang membebaskan orang untuk
menyerukan karya-karya agung Allah dalam kehidupan, terutama tentang peristiwa
Yesus Kristus dalam bahasa yang dapat dimengerti. Dalam pesta ini kesempatan
untuk mewartakan kegembiraan itu secara penuh sudah tiba, dan para rasul
mendapatkan tugas meneruskan warta gembira itu kepada segala bangsa. Roh Kudus
menolong menjamin bahwa mereka yang mendengarnya mengerti dan memahami pesan
yang disampaikan para rasul itu.
Jelaslah Alkitab menyatakan bahwa bahasa mereka bisa dimengerti oleh
orang-orang yang datang dari pelbagai peloksok itu bukan karena mereka
sebelumnya ahli atau telah fasih menggunakan bahasa-bahasa itu. Allahlah,
melalui kuasa Roh Kudus yang telah dicurahkan itu yang memampukan mereka untuk
berbicara dan dimengerti oleh para pendengarnya. Allah yang menyapa dengan
perantaraan para murid – orang-orang Galilea itu – tidak menuntut pendengarnya
untuk terlebih dahulu belajar atau bisa berkomunikasi dalam bahasa Yahudi. Semenjak
dari awal, Allah tidak menuntut manusia untuk mengerti bahasa-Nya. Melainkan
Dia sendiri yang merendahkan diri-Nya menjadi manusia agar manusia mengerti
bahasa cinta Bapa. Rasanya tidak berlebihan kalau Pentaskosta dipahami sebagai
pesta keberagaman atau kebhinekaan yang dihargai dan diakui oleh Allah sendiri.
Selanjutnya para murid Yesus mewartakan iman bukan hanya dengan
kata-kata, melainkan juga dengan kegembiraan hidup. Bahasa mereka adalah bahasa
kehidupan, yang bisa dipahami dan ditanggapi dengan kehidupan juga. Itulah
nantinya yang terwujud dalam kehidupan jemaat mula-mula. Peristiwa Pentakosta
menjadi awal sejarah kehidupan baru, yakni Roh Kudus memulihkan para murid
untuk berani bersaksi dan Roh Kudus jugalah yang menyatukan setiap bangsa dan
bahasa untuk mengenal cinta kasih Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar