Injil yang kita baca pada hari Minggu Trinitas tahun “A” ini adalah
Matius 28 :16-20. Di dalamnya ada ayat terkenal, dan menjadi landasan untuk
setiap orang Kristen melaksanakan tugas misi: “Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,..” (Mat.28:19). Ini jelas
amanat agung! Sebelum Yesus mengakhiri tugasnya di dunia dan kembali kepada
Bapa-Nya, Ia memerintahkan agar setiap murid-Nya mengerjakan tugas misi ini.
Tidak melaksanakannya berati mengingkari tugas perutusan itu.
Mari kita lihat ayat ini dalam konteksnya semula. Peristiwa ini terjadi
setelah kebangkitan Yesus. Kesebelas murid Yesus – minus Yudas Iskaryot – pergi
ke Galilea sesuai dengan perintah yang mereka terima dari malaikat (Mat.28:7) dan
sejalan dengan pesan Yesus (Mat.28:10). Oleh karena kesetiaan Yesus yang
bangkit, murid-murid yang telah meninggalkan Yesus dapat berkumpul kembali
dengan-Nya. Melihat-Nya kembali tentu merupakan sebuah sukacita luar biasa.
Langsung saja mereka sujud sembah dan mengakui Yesus sebagai Anak Allah yang
hidup. Namun, ada yang aneh, ternyata tidak semua murid atusias dan menyembah.
Ada beberapa orang ragu-ragu. Injil
Matius memakai kata ragu atau bimbang hanya dua kali. Selain dalam peristiwa
ini dicatat juga dalam Mat.14:31 (peristiwa Yesus berjalan di atas air). Kedua
kasus itu yang ragu-ragu atau bimbang adalah murid Yesus. Sedangkan Yang
diragukan ialah apakah yang mereka hadaoi itu benar-benar Yesus.
Kepada mereka yang bimbang inilah Yesus mendekati dan menyapa mereka,
kata-Nya: “Kepada-Ku telah diberikan
segala kuasa di surga dan di bumi.” (ay.18). Pernyataan ini mengandung
makna bahwa kuasa yang diberikan Allah kepada Yesus tidak terbatas (lihat kata
:segala) baik dalam kepenuhannya
maupun intensitasnya. Kuasa-Nya meliputi seluruh kosmos (langit dan bumi) sehingga sama seperti kuasa Allah yang
digambarkan dalam Perjanjian Lama, sebagai Sang Pencipta dan Penyelenggara
segala sesuatu. Di sini - kepada yang meragukan-Nya – untuk pertama kalinya Ia
berbicara tentang kuasa-Nya. Inilah kuasa Kerajaan Allah!
Mereka yang ragu dipulihkan, diyakinkan. Kini, Sang penguasa kosmos itu
memberikan tugas perutusan universal: “Karena
itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama
Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang
telah Kuperintahkan kepadamu. Ketahuilah Aku menyertai kamu senantiasa samapai
akhir zaman.” (Mat. 28:19-20).
Dalam tugas menjadikan segala
bangsa murid Yesus, tekanan Injil Matius bukan pada pembaptisan tetapi pada
pengajaran (didakhe). Kita masih
mengingat, ketika Yesus masih bersama para murid. Ia juga pernah mengutus
mereka. Pada pengutusan yang pertama (Mat. 10:7,8), murid-murid hanya diberi
tugas untuk memberitakan bahwa Kerajaan Surga sudah dekat. Mereka diminta juga
untuk menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, mentahirkan orang
kusta dan mengusir setan-setan. Namun, pengajaran tetap dilakukan oleh Yesus
sendiri. Baru setelah pelayanan-Nya di dunia berakhir, Yesus memercayakan
pengajaran itu kepada para murid. Yesus yang bangkit itu menugaskan para murid
untuk memperluas misi pengajaran-Nya kepada bangsa-bangsa. Yang mereka ajarkan
bukan doktrin melainkan praktek hidup sebagai murid dari Guru Agung. Mereka
diutus untuk mengajar bangsa-bangsa berpegang pada cara hidup dalam Kerajaan
Allah sebagaimana telah mereka terima dari Yesus sendiri.
Ungkapan menjadikan murid dalam bahasa Yunani hanya satu kata matheteuo. Ini lebih dari sekedar “memberitakan”
(kerysso). Maksudnya, bukan hanya
sekedar mewartakan atau memberitahu tentang pentingnya sebuah amanat, melainkan
menjalin suatu relasi akrab dan personal dengan orang-orang yang bakal mereka
jumpai. Ingat relasi, bukan transaksi. Model atau polanya adalah pola ketika
mereka berelasi dengan Yesus. Yesus memanggil mereka, mereka hidup bersama-sama
dengan Yesus. Mereka melihat sendiri Firman Yang Hidup itu. Yesus tidak hanya
mengajar dengan pelbagai teori tetapi Ia menghidupi apa itu Kerajaan Allah.
Dialah Sang Firman Yeang menjadi Manusia. Yesus mengajar, mendidik, berusaha
menarik mereka kepada diri-Nya. Ini seharusnya menjadi model normatif bagi
setiap orang Kristen atau murid Yesus dalam berupaya “menjadikan semua bangsa murid-Nya”. Dengan demikian setiap murid Yesus
harus “mirip” dengan Guru Agung yang memberikan amanat agung itu. Nah, coba renungkan: apa yang sudah mirip dari
kita dengan Yesus? Kira-kira, dapatkah kemiripan kita dengan Kristus itu
menjadi daya pesona untuk menjadikan
mereka murid Yesus?
Pengajaran merupakan sebuah kata kunci untuk membuat orang yang tidak
mengenal Yesus dapat menjadi murid-Nya lalu dibaptiskan dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Bagaimana orang dapat mengerti
rumusan baptisan itu jika ia belum pernah mengerti dan diajarkan tentang
Trinitas? Trinitas bukan semata-mata teori atau doktrin yang menguras energi
nalar. Melainkan, nyata menjadi pengalaman eksistensial sehari-hari. Rumusan
baptisan ini mengungkapkan yang berkali-kali disinggung dalam Injil Sinoptik,
yakni relasi erat antara kehidupan dan karya Yesus dengan Bapa-Nya dan dalam
Roh Kudus.
Trinitas memang tidak mudah
dipahami. Namun, bukan berarti orang sederhana bahkan “awam” dalam berteologi
tidak dapat mengerti tentang eksistensi Allah dalam Trinitas. Malah sebaliknya,
Allah dalam Trinitai (Bapa, Anak dan Roh Kudus) memudahkan manusia dalam level pemahaman yang bagaimana
pun dapat mengerti dan mengenal-Nya. Manusia dan semesta alam dapat menyadari
bahwa Dialah Sang Pencipta dan Pemelihara, yang kita sapa sebagai Bapa. Bapa
yang memulai segala sesuatu dan yang memeliharanya. Dia juga adalah Sahabat
setia yang mengerti penderitaan dan persoalan hidup manusia yang menebus dan
menyelamatkan manusia dari dosa, itulah yang kita fahami sebagai Anak Allah di
dalam diri Yesus Kristus. Jelas, yang dimaksud Bapa-Anak bukanlah terminologi
biologis. Dia juga yang selalu mengingatkan manusia akan kebenaran dan
menopangnya agar mampu melakukan tugas kesaksian dan melewati lembah air mata,
itulah Roh Kudus.
Bagaimakah Allah, Sang
Saratmisteri ini menyatakan diri-Nya agar dikenal dan mudah disapa oleh
manusia? Rasanya, bukan memakai analogi atau metafora. Bukan dengan bahasa
tinggi yang membingungkan dan juga bukan melalui paparan teori Trinitas yang jelimet. Namun, Allah menggunakan
pengalaman eksistensial nyata dalam sejarah manusia. Allah, yang semula tidak
mudah dikenal, menyebut nama-Nya saja penuh kengerian. Namun, kini di dalam
Yesus begitu dekat. Allah yang pada mulanya adalah Firman telah menyatakan
diri-Nya menjadi manusia sejati. Ia hidup dalam sejarah manusia, bergumul,
menderita dan merasakan kesulitan manusia. Dialah Yesus! Jika Allah menyapa
manusia dengan pengalaman empirik, maka manusia pun harus menyediakan diri
disapa melalui pengalaman hidupnya. Dengan kata lain, Trinitas itu hanya bisa
dipahami, dirasakan melalui pengalaman hidup!
Manusia mempunyai pemahaman
dasar bahwa Allah pastilah merupakan figur Mahapengasih, Mahapengampun,
Mahapemurah Mahakuasa dan sebagainya. Namun, bagaimanakah Sang Mahapengasih,
Mahapengampun, Mahapemurah, Mahakuasa
itu wujudnya? Bukankah ini semua hanya ide-ide abstrak saja dan siapa pun juga
dapat menerjemahkan ide-ide abstrak itu menurut maunya sendiri? Jelas, Allah
tidak mau manusia berspekulasi. Sekali lagi Dia ingin dikenal dan manusia
mengerti kehendak-Nya. Caranya? Allah yang pada mulanya adalah Firman kemudian
menjelma menjadi manusia. Yesus itulah Sang Firman Hidup. Yesus memeragakan apa
yang abstrak itu menjadi nyata. Bila manusia meyakini bahwa Allah adalah
Mahapengasih, pengampun, pemurah, dan seterusnya, manusia dapat melihatnya
dengan kasat mata dalam diri Yesus. Sepanjang hidup-Nya, Ia adalah firman yang
berjalan, firman yang hidup itu. Sehingga suatu kali, Yesus berkata, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah
melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkan Bapa itu kepada kami. Tidak
percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku
katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diriKu sendiri, tetapi Bapa, yang diam
di dalam AKu, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.” (Yohanes 14:9-10).
Selanjutnya, ketika karya-Nya
sebagai firman yang hidup itu telah selesai maka Yesus kembali kepada Bapa-Nya.
Kini, Ia mengutus Roh Kudus yang adalah Roh Allah sendiri untuk menyatakan
penegasan kepada manusia agar apa yang telah dikerjakan-Nya dimeteraikan dalam
hati. Roh Kudus jugalah yang dapat membuat orang menjadi percaya bahwa Yesus
adalah Tuhan. “…dan tidak ada seorang
pun, yang dapat mengaku “Yesus adalah Tuhan”, selain oleh Roh Kudus.(1
Korintus 12:3b). Roh Kudus yang sama
melengkapi setiap orang percaya dengan karunia agar dapat menjadi saksi-saksi
Tuhan yang hidup.
Sederhananya, Trinitas adalah
cara kreatif Allah dalam rangka karya keselamatan bagi dunia. Mestinya, bahasa
dan cara Allah berkarya ini mudah ditangkap oleh manusia. Manusia yang
mengalami karya kasih Allah ini, dialah yang telah dapat merasakan Kerajaan
Allah. Responnya, bersyukur dengan mau terlibat meneruskan cinta kasih Allah ini kepada sesamanya. Untuk
dapat terlibat dalam Kerajaan Allah, maka seseorang harus mau mengalami
pembaruan dalam dirinya. Kita dapat berpartisipasi dalam misi Allah dengan
sempurna hanya ketika mau hidup di dalam Yesus, berlaku dan berucap seperti Dia
dan dengan berani menyatakan kebenaran di tengah dunia yang penuh dengan
kepalsuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar