Jumat, 26 Mei 2017

TETAP MENYATU DI TENGAH TEKANAN

Presiden Joko Widodo akhirnya angkat bicara merespons fenomena yang akhir-akhir ini mendera kesatuan Indonesia. Pernyataan Presiden itu diungkapkan usai menerima sejumlah tokoh lintas agama di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa 16 Mei 2017 (Kompas.com)

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengatakan, “Saya baru saja bersilaturahmi dengan beliau-beliau, tokoh agama dari Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Konferensi Wali Gereja Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia, dari Hindu Dharma Indonesia dari Majelis Tinggi Konghucu Indonesia serta Palima TNI dan Kapolri untuk membicarakan dinamika kebangsaan yang menjadi perhatian kita bersama.

Saya senang mendengar komitmen semua tokoh agama dan umatnya untuk terus menjaga, terus mempertahankan, dan terus memperkokoh Pancasila dan UUD 1945 dalam bingkai NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Saya senang dan berterimakasih atas komitmen semua pihak untuk membangun demokrasi yang sehat dan mendukung penegakan hukum. Saya perlu tegaskan di sini bahwa kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul itu dijamin oleh konstitusi kita. Tapi saya juga perlu tegaskan bahwa kebebasan tersebut harus sejalan dengan koridor hukum. Harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Harus berada dalam bingkai NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Jikalau dalam beberapa waktu terakhir ini ada gesekan antar kelompok di masyarakat. Mulai saat ini saya minta hal-hal tersebut – gesekan-gesekan tersebut – untuk segera dihentikan.

Jangan saling menghujat, karena kita adalah saudara!
Jangan saling menjelekkan, karena kita adalah saudara!
Jangan saling memfitnah, karena kita adalah bersaudara!
Jangan saling menolak, karena kita adalah saudara!
Jangan saling mendemo, habis energi kita untuk hal-hal yang tidak produktif seperti itu!

Kita adalah saudara. Saudara sebangsa dan setanah air! Saya juga telah memerintahkan kepada Kapolri, kepada Panglima TNI untuk tidak ragu-ragu menindak tegas segala bentuk tindakan dan ucapan yang mengganggu persatuan dan persaudaraan. Yang mengganggu NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Yang tidak sesuai Pancasila dan UUD 1945. Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhai usaha kita bersama!

Jelas, Jokowi melihat gesekan atau tepatnya ancaman terhadap keutuhan NKRI tidak main-main. Serius! Pada kesempatan lain Presiden mengungkapkan penyesalannya atas ketertinggalan Indonesia dibanding negara-negara lain, termasuk negara tetangga. Tak bisa ditutupi raut muka kekecewaannya ketika menyatakan bahwa bangsa-bangsa lain sudah maju di depan, sementara Indonesia masih berkutat dengan urusan demo!

Tidak bisa dipungkiri dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa, persatuan dan kesatuan merupakan faktor utama dalam memajukan sebuah bangsa bukan masalah sumber daya alam. Coba tengok negara-negara yang terus dilanda konflik perpecahan, meskipun kaya raya dengan sumber daya alamnya, tetap saja menderita! Sebaliknya, negara-negara yang punya kesehatian, peduli terhadap sesama warganya, menghormati hak-hak sesama dan menjunjung tinggi hukum dan sportifitas, negara itu segera menjadi terkemuka. Lihatlah Singapore, Jepang apakah ada sumber daya alam yang mumpuni, jauh sekali dibandingkan dengan kekayaan Indonesia. Indonesia selamanya akan menjadi negara terkebelakang jika tidak bisa mengelola perbedaan sebagai sebuah kekayaan. Tidak bisa bersatu menghadapi tantangan zaman!

Kesatuan adalah modal utama dalam menghadapi tantangan, apalagi tekanan. Sejak kecil kita selalu diajari hikmat dari sapu lidi. Lidi hanya sebatang, tidak mempunyai fungsi yang berarti. Rapuh dan gampang dipatahkan, sebaliknya ketika diikat bersama-sama dengan yang lain, ia dapat berfungsi sebagai sapu dan tentunya tidak mudah untuk dipatahkan. Hal serupa terjadi dalam kehidupan umat Tuhan. Umat Tuhan dari zaman ke zaman selalu diperhadapkan dengan tantangan, tekanan, penderitaan, aniyaya dan penindasan. Mengapa? Dari doa yang dipanjatkan Yesus, tersirat bahwa, “…dan dunia membenci mereka, karena mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia.” (Yohanes 17:14). Untuk alasan inilah Yesus khusus berdoa untuk para murid-Nya. Ia tidak berdoa bagi dunia!

Mengapa Yesus hanya berdoa bagi murid-murid yang telah menerima dan menuruti Firman Bapa? Bukankah Bapa begitu mangasihi dunia sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal (Yoh.3:16)? “Dunia” yang dimaksud dalam Injil Yohanes adalah mereka yang menolak Anak yang diutus Bapa (Yoh.17:25). Dunia yang menolak ini, pada akhirnya akan diyakinkan tentang kesalahannya (Yoh.16:8-11). Dunia yang menolak dan menindas ini justeru nantinya menjadi “ladang” para murid yang diutus. Di samping itu doa Yesus untuk para murid disebabkan oleh alasan ganda, yakni: Mereka adalah milik Bapa yang diberikan kepada Anak (diri-Nya sendiri), dan mereka kini ditinggalkan di dalam dunia karena Yesus akan mencapai kemuliaan-Nya, disalibkan, mati, dibangkitkan pada hari ketiga lalu naik ke sorga kembali kepada Sang Bapa. Praktis secara fisik sudah tidak lagi bersama-sama mereka! Di saat peralihan ini, Yesus sekaligus berkata: “Aku masih ada di dalam dunia (ay. 13) dan Aku tidak lagi di dalam dunia (ay.11). Seperti sudah dalam perjalanan menuju Bapa. Maka – dengan cinta-Nya yang besar – Yesus memohon kepada Bapa untuk memelihara mereka. Yesus ingin mereka tetap bersatu. Ia pun rindu kesatuan itu seperti Ia dengan Sang Bapa!

Yesus tahu benar tantangan dan tekanan yang akan terjadi pada para murid. Selain kekuatan dan penyertaan Sang Bapa melalui Roh Kudus, tentunya kesehatian dan bersatunya mereka dalam menghadapi pelbagai tantangan merupakan senjata utama.

Pada tahapan awal setelah Yesus naik ke sorga, ternyata benar. Para murid bertekun, sehati, sepikir, mereka bersatu sehingga betapa beratnya pun tantangan, tekanan bahkan aniaya, mereka terus melakukan tugas kesaksian itu. Mereka bahu-membahu. Namun, ketika jumlah orang percaya terus bertambah menjadi besar, bibit-bibit perpecahan itu mulai tampak. Dalam Kisah Rasul 6 mulai ada sungut-sungut lantaran ada orang-orang miskin terabaikan. Bersyukur masalah itu cepat ditangani dengan diangkatnya tujuh orang untuk melayani kebutuhan orang-orang miskin. Demikian pula di jemaat Korintus timbul kelompok-kelompok. Ada yang menyebut golongan Paulus, Apolos, Kefas dan Kristus. Jemaat-jemaat yang lain juga sama. Di Kolose, ada kelompok Yunani dan Yahudi; bersunat dan tidak bersunat, orang Barbar atau orang Skit. Untuk meredamnya, Paulus mengatakan, “Dalam hal ini tidak ada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.” (Kolose 3:11).

Rupanya perpecahan itu seperti virus yang ada dalam gereja, terus menjalar dan menyebar. Ketika gereja sudah sedemikian besar. Kaisar menyatakan Kristen sebagai agama negara maka semakin seringlah konflik berdasarkan cara pandang, tafsir dan doktrin tertentu yang berdampak memecah belah umat Tuhan. Coba amati sekarang di tempat-tempat murid-murid Tuhan dulu berkarya, di tempat-tempat lahirnya bapa-bapa gereja, kekritenan nyaris lenyap. Lihatlah bekas tujuh jemaat yang dikirimi surat Wahyu Yohanes, tempat lahirnya Paulus (Tarsus, Turki), tempat lahirnya Agustinus (Aleksandria, Mesir), Athanasius, Origenes dan lainnya, di tempat-tempat itu kekristnan hanya tinggal puing. Itulah buah dari perpecahan.

Mungkin kita bertanya, “Apakah kalau demikian doa Yesus para pengikutnya tetap bersatu tidak manjur atau tidak didengar Bapa-Nya?” Doa tidak meniadakan upaya manusia untuk berusaha. Doa tidak menggantikan jeri-lelah manusia. Yesus berdoa untuk penyatuan, tentu didengar oleh Bapa-Nya. Namun, manusia, dalam hal ini para pengikut Yesus juga tidak berarti  berpangku tangan, lalu kemudian penyatuan itu terjadi dengan sendirinya. Tidak! Manusia harus berupaya untuk mewujudkan doa Yesus itu. Para pengikut Yesus harus menanggalkan ego mereka masing-masing, mencontoh Yesus. Bukankah sebelum Yesus berdoa, Ia juga telah membasuh kaki para murid? Tidak akan ada kesatuan tanpa menanggalakan ego!

Lalu, apakah kesatuan itu sama dengan keseragaman? Apakah kita tidak boleh berbeda pendapat? Tentu tidak. Kesatuan itu seperti Indonesia, berbeda-beda tetapi satu: Indonesia! Salah satu Bapa gereja, Agustinus mengatakan, ‘Dalam hal esensi, bersatulah; dalam masalah yang tidak dapat dipastikan, jangan kaku; dalam segala sesuatu berbuat baiklah.” John Wesley, menyukai aforisma ini, lalu memodifikasinya sedikit. Wesley percaya bahwa satu-satunya cara agar gereja dapat bersatu adalah dengan cara membedakan hal yang esensi dengan yang bukan esensi, lalu menemukan cara menerima perbedaan dalam hal yang tidak esensi, dan kemudian memastikan bahwa perbedaan itu tidak lebih dominan dari iman kita bersama. Wesley percaya bahwa kasih dan komitmen kepada Yesus adalah hal yang esensi. Segala sesuatu di luar itu tidak esensi. Kita dapat, dan akan terus berbeda dalam cara pikir, dalam gaya ibadah, dalam metode pembaptisan, namun semua perbedaan ini bukanlah esensinya. Satu-satunya esensi adalah: Apakah hati kita bergetar dalam kasih kepada Yesus? Jika ya, maka kita sehati. Maka dari itu kita bisa berkata: Yesus adalah Tuhan! Jika hati Anda bergetar dalam kasih kepada Yesus, maka gandenglah tangan saya dan mari kita berjalan dalam satu persekutuan menghadapi tantangan bahkan tekanan!

Jangan harap gereja dapat mengalahkan tekanan, apalagi memberikan sumbangsih bagi kesatuan Republik Indonesia, kalau antara sesama murid Yesus saja saling sikut dan tidak bisa menyatu!



Jelang Pentakosta 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar