Pernahkah Anda menyesali mengapa
harus dilahirkan ke dunia ini? Jawabnya
bisa “Ya” dan bisa juga “tidak”, semua tergantung kepada pada yang kita alami
dan memaknai setiap peristiwa itu. Ketika hidup kita diwarnai oleh kegembiraan dan “anggur sukacita” rasanya penyesalan atas hidup
tidak mungkin terucap. Alih-alih mengutuki hari kelahiran, seperti Nabi
Yeremia, kita akan merasakan waktu ini berjalan dengan sangat singkat! Ya,
benar ketika kita merasakan kebahagiaan waktu terasa
berjalan begitu cepat. Berbeda ketika penderitaan menerpa kita, sang waktu rasanya begitu amat lambat.
Yeremia meratapi hari
kelahirannya. Seolah ia menyesali keterpanggilan-Nya dalam misi Allah untuk
menyelamatkan Israel. Yeremia dituduh sebagai orang yang melemahkan rasa
nasionalisme bangsanya karena ia – tentu atas dasar firman TUHAN yang ia dengar
– menyarankan agar bangsanya tunduk pada raja Babel. Ia menjadi bahan cemoohan,
sudah tentu pula ada yang mendakwanya sebagai antek-antek asing dan penghianat
bangsa. “Mestinya dia memotivasi setiap orang Israel untuk
mengangkat senjata, berperang memertahankan kehormatan mereka, tetapi mengapa
dia mengajak kita menyerah?” Begitu mungkin orang-orang Israel bergumam tentang
aktivitas Yeremia. Tidak hanya sekedar cemooh, tuduhan, tetapi tindakan kekerasan fisik
diterimanya. Yeremia pernah dipukul dan dimasukkan dalam perigi. Beberapa kali
ia mengalami bahaya maut. Bukankah hal
yang wajar kalau Yeremia menyesali dan berkelu- kesah atas tugas yang ia emban? Ternyata menjadi hamba-Nya justeru membawa Yeremia menjadi sulit. Namun, betul-betulkah
Yeremia kecewa atas panggilannya, lalu meragukan dan menyesali
hari kelahirannya?
Coba simak perkatan Yeremia setelah mengungkapkan semua kekecewaannya, “Tetapi TUHAN menyertai aku seperti pahlawan yang gagah,…” (Yer.20:11). Boleh saja dalam prosesnya – sama seperti semua
orang yang punya asa dan perasaan – Yeremia kecewa, berkelu-kesah dan menyesali
hari kelahirannya. Namun, dalam perjalannya bersama
dengan TUHAN, ia merasakan bahwa TUHAN menyertai, memberi kekuatan bahkan
kemenangan. Keyakinan
dan pengharapan inilah yang membuat Nabi
Yeremia tetap setia menyuarakan suara TUHAN di tengah segala ancaman dan bahaya
maut sekalipun. Seberapa beratnya tantangan, penderitaan dan aniaya ketika
seseorang memiliki keyakinan dan pengharapan bahwa ia tidak sendiri dan mempunyai kekuatan maka ia akan tetap teguh berdiri
untuk menyelesaikan tugasnya itu sampai tuntas! Seorang pelaut betapa pun ia
melihat kelombang besar di hadapannya, namun ketika ia mempunyai keyakinan
bahwa kapalnya itu mampu melewati badai dan ia mempunyai
pengharapan akan adanya pelabuhan di balik badai itu maka ia tidak akan
menyerah terhadap segala ketakutannya itu, melainkan ia akan terus berusaha
menghadapi badai. Seorang petani akan terus menanam dan merawat tanamannya
dengan baik meskipun di tengah cuaca yang tidak menentu oleh karena ia yakin di
ujungnya nanti akan menuai hasil dari jeri lelahnya!
Selain kemampuan dan kepandaian, keyakinan
dan pengharapan mutlak dibutuhkan oleh setiap orang dalam mengerjakan sebuah
misi. Murid-murid Yesus diutus untuk sebuah misi, yakni meneruskan pemberitaan
bahwa Kerajaan Sorga sudah dekat (Mat.10:7). Sebagai tandanya, mereka akan
menyembuhkan orang sakit, mentahirkan orang kusta, mengusir Setan-setan, bahkan
membangkitkan orang mati (Mat.10:8). Mereka telah menerima kuasa itu dari Yesus,
kini mereka harus segera melaksanakan mandat itu!
Namun ternyata ladang tempat
mereka diutus itu bukanlah tempat yang menyenangkan. “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala,…”
(Mat.10:16). Sejak dari awal Yesus mengingatkan sebuah kondisi yang sangat
tidak aman apalagi nyaman bagi para murid
untuk mereka bekerja. Mereka akan masuk dalam dunia “serigala”. Serigala-serigala
itu bisa melukai, mencabik-cabik, bahkan memangsa! Untuk itu Yesus menguatkan
mereka, “Jadi, janganlah kamu takut
kepada mereka,…” (Mat.10:26). Berkarya sebagai utusan Tuhan itu
sesungguhnya mengerikan, lihat saja pengalaman Yeremia. Namun toh
akhirnya dia bisa mengatasinya. Rasa ngeri, takut dan gentar hanya bisa diatasi dengan
keyakinan penuh bahwa Sang Pengutus itu pastilah tidak tinggal diam. Sang
Pengutus itu mengatakan bahwa si penganiaya itu paling banter hanya dapat
membinasakan tubuh tetapi tidak berkuasa membunuh jiwa.
“Janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi
tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa
membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” (Mat.10:28). Terdapat
kontras yang tajam antara apa yang dapat dilakukan oleh manusia “ia hanya dapat membunuh” dan apa yang dapat
dilakukan oleh Allah, yakni: “dapat
membinasakan!” Kata tubuh biasa
dipakai oleh orang-orang Yahudi dalam arti manusia seluruhnya sebagai makhluk
fisik. Sedangkan kata jiwa diterapkan
pada manusia seluruhnya sebagai makhluk yang hidup dan dapat diterjemahkan
dengan “jati diri”. Bagi orang Yahudi dan juga rumpun bangsa Semit pada
umumnya, tubuh dan jiwa bukanlah dua bagian dari manusia yang dapat terpisah
satu sama lain. Dalam konteks ungkapan Yesus kalimat itu dapat berarti, “Manusia
yang engkau takuti tidak dapat membunuh hidup itu sendiri, yaitu hidup
dalam arti sesungguhnya, mereka tidak dapat membunuh semangat, keyakinan dan
pandangan hidupmu!”
Setelah Yesus menyatakan bahwa
Allah lebih berkuasa dibandingkan dengan para penganiaya itu, Ia kemudian
menjamin bahwa setiap utusan Allah itu sangat berharga di hadapan-Nya. Yesus
membandingkan dengan burung pipit yang dijual dengan harga murah sekali, namun
tidak ada seekorpun yang jatuh ke bumi dan mati luput dari perhatian-Nya. Di
sini Yesus mau mengatakan bahwa sekecil atau semurah apa pun dihargainya
makhluk hidup oleh manusia tetap diperhatikan Allah. Allah tidak meninggalkan
makhluk apa pun di saat kematiaannya, apalagi
manusia yang menjadi utusan-Nya. Jaminan itu nyata dalam ungkapan, “Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung
semuanya. Karena itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga daripada
banyak burung pipit.” (Mat.10:30-31).
Setelah Yesus membekali para
murid dengan kuasa, kemudian Ia juga memberikan jaminan bahwa Allah begitu
menyayangi mereka dan tentunya juga akan memelihara dan melindungi mereka.
Kini, yang harus diperlihatkan oleh para murid itu adalah ketulusan, keyakinan,
dan keberanian dalam menjalankan semua mandat Tuhan. Di tengah ancaman bahkan
aniaya, mereka diminta untuk setia dan tidak menyangkal. Konsekuensinya jelas menyangkal berarti akan disangkal
juga!
Dalam kenyataannya tetap saja
tidak mudah untuk menjalankan misi itu. Kita bisa melihat bagaimana Yudas yang
memilih kompromi dengan para srigala yang memusuhi Yesus. Petrus yang gentar
dan terpaksa tiga kali menyangkal Yesus. Meskipun murid-murid seperti itu,
namun Yesus terus menyertai dan
memulihkan
mereka. Sayang, Yudas memilih untuk terus sebagai penghianat sampai akhir
hidupnya sedangkan Petrus menyambut pemulihan dari Tuhan. Betul, para murid
jatuh bangun dalam menjalankan misi Allah, namun lihatlah walaupun tubuh mereka mati dengan
penganiayaan berat, ada yang dirajam batu, disalibkan terbalik, dibantai dan
seterusnya namun semangat atau jiwa mereka terus hidup. Injil terus tersebar
sampai ke ujung-ujung bumi. Terbukti,
para srigala itu hanya dapat membunuh tubuh tetapi tidak dapat membunuh jiwa
mereka!
Kini, Tuhan juga mengutus kita
dalam konteks dunia kita masing-masing. Ia menginginkan kita menyuarakan
kebenaran seperti yang disuarakan Yeremia. Tuhan menghendaki kita tidak hanya mampu bersuara tetapi juga mewujudkan tanda-tanda Kerajaan
Sorga, yakni dengan memulihkan kelemahan-kelemahan manusia, meneruskan cinta
kasih Bapa yang berbelarasa kepada yang
lemah dan tertindas serta memperagakan apa yang telah diajarkan dan dilakukan oleh Yesus
Kristus. Dia menghendaki supaya dalam kehidupan kita, orang-orang melihat cinta kasih Yesus!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar