Jumat, 16 Juni 2017

BERSEDIA DIPILIH DAN DIUTUS

Paulo Freire, pendidik multikultural Brazil, pernah menyatakan, “Jika manusia tidak mampu melihat secara kritis tema-tema zaman, sudah barang tentu tidak bisa secara aktif merespons realitas yang ada, akibatnya mereka akan terbawa hanyut oleh derasnya arus perubahan. Mereka melihat bahwa zaman sedang berubah tetapi tenggelam dalam perubahan itu tanpa bisa mengendalikannya, dan tidak bisa melihat arti dramatis perubahan itu.” Ironisnya, di tengah perubahan itu, Freire menambahkan, “Dunia sudah dikotak-kotakkan menjadi ‘dunia-dunia’…manusia umumnya sudah ditindas, direndahkan dan diubah menjadi penonton, diarahkan oleh mitos-mitos yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan sosial (dunia) yang penuh kuasa.”

Bukan hanya sekarang, dari dulu kenyataannya seperti itu terus bergulir: dunia dikendalikan oleh segelintir orang. Kekuasaan politik dan ekonomi alih-alih mengangkat derajat kaum lemah, miskin, dan terpinggirkan justeru bagai monster yang terus melalap habis harkat derajat kemanusiaan. Gambaran kitab suci mengenai hal ini muncul dengan ungkapan, “seperti domba-domba yang tidak mempunyai gembala” Perjanjian Lama sering berbicara tentang para “gembala” dalam arti pemimpin politik atau keagamaan (Bil.27:17, Yeh.34:5, 1 Raj.22:17, 2 Taw.18:16). Dalam kenyataannya kawanan domba seringkali diperas, ditindas dan akhirnya tercerai berai karena ulah “pedagang domba” yang jahat (Zak.11:7,11). Akibatnya, kondisi mengenaskan: sakit dan penderitaan manusia menjadi pemandangan yang dapat dijumpai di mana-mana.

Dengan empati mendalam (esplankhnisthe, dari kata splankhna: “isi perut”, yang oleh orang Yahudi dipandang sebagai pusat emosi manusia), hati Yesus tergerak ketika berjumpa dengan orang-orang sakit dan berkesusahan itu. Iba atau tepatnya belarasa Yesus terhadap penderitaan manusia setara dalam Perjanjian Lama dengan reaksi ketika Allah mendengar jeritan darah Habel yang dibunuh oleh Kain, kakak kandungnya sendiri, atau keluhan Israel dalam perbudakan di tanah Mesir atau Nabot yang kebun anggurnya hendak diambil raja Ahab atau Daud yang berteriak karena kepungan para musuhnya. Allah tidak tinggal diam! Dia segera turun tangan, Ia berdiri menjadi lawan dari para penindas. Kini, dalam Perjanjian Baru, Allah yang peduli itu mewujud dalam diri Yesus saja. Yesus bukan memusuhi orang kaya, penguasa atau ahli agama. Melainkan mereka yang menjadikan orang-orang lemah menderita dan mereka yang munafik, memakai kedok agama untuk kesalehan palsu!

Dalam keadaan yang memilukan inilah Yesus melihat “tuaian”. Waktu menuai di sini tidak dikaitkan dengan pengadilan terakhir atas bangsa-bangsa (seperti dalam Yesaya 24:13, Yoel 3 :12-13) tetapi menjadi kesempatan untuk rasul-rasul berkarya. Dalam kondisi seperti ini Kerajaan Allah diberitakan. Yesus memanggil dan memilih kedua belas murid untuk berkarya bagi “domba-domba” yang terabaikan. Yesus sudah meminta agar para murid berdoa supaya dikirim banyak gembala, yakni orang-orang yang mau bekerja untuk memberitakan Kerajaan Allah kepada mereka yang sakit, miskin dan menderita. Sekarang Yesus sendiri memilih dua belas orang untuk menjadi “penuai”: gembala. Mereka tidak hanya boleh berdoa, meminta, tetapi harus siap terlibat dalam penggembalaan itu. Oleh karenanya – kita harus menyadari bahwa – setiap orang yang berdoa harus ikut juga terlibat dalam apa yang didoakannya.

Tentu ketika Yesus mengutus para murid, tidak hanya melepas mereka begitu saja. Kedua belas rasul disiapkan Yesus. Mereka diberi kuasa (Mat. 9:35). Kepada mereka inilah Yesus membagikan kuasa yang telah Ia peragakan dalam untaian tanda-tanda penyembuhan dan pengusiran setan. Yesus memberi mereka kuasa untuk mengatasi roh-roh najis atau roh-roh jahat. Bukan hanya itu, para murid juga dilengkapi kuasa seperti yang ada pada Yesus, yakni untuk menyembuhkan penyakit dan kelemahan. Kuasa dalam hal ini tidak sama dengan keahlian atau skill. Baik pengusiran Setan maupun penyembuhan bersumber pada kuasa yang sama. Penyakit dan dosa yang menguasai manusia adalah tanda kerajaan Setan, sebaliknya penyembuhan dan pemulihan adalah tanda kemenangan Kerajaan Sorga. Hanya Yesus yang memberikan kuasa itu, bukan kepandaian para murid.

Berita pokok yang harus disampaikan para murid adalah “Kerajaan Surga sudah dekat!” Bukankah hal ini sama dengan berita yang disampaikan oleh Yohanes Pembaptis (Mat.3:2) dan Yesus sendiri (Mat.4:17)? Di sini kita melihat kesinambungan pesan dalam pemberitaan Injil. Dalam pesan perutusan Yesus kepada para murid-Nya: menyembuhkan penyakit, mengusir setan, mentahirkan orang kusta dan membangkitkan orang mati, bukankah hal itu yang dikerjakan Yesus selama Ia bersama-sama para murid? Itu berarti para murid melakukan tepat seperti apa yang dilakukan Yesus. Di sini Yesus berbagi “kuasa” dan pelayanan untuk menangani penderitaan umat manusia. Yesus melibatkan para murid untuk menjawab  penderitaan “domba-domba” terlantar! Dengan melakukan tugas itu maka benarlah bahwa para murid terlibat aktif dalam mendekatkan Kerajaan Surga itu!

Pada mulanya para murid diutus kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. Namun, bukankah – minggu lalu, dalam Minggu Trinitas kita membaca Matius 28 : 19 di mana Yesus memerintahkan agar para murid diutus pergi kepada seluruh bangsa lalu menjadikan seluruh bangsa itu murid-Nya serta membaptis mereka dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus. Apakah Yesus tidak konsisten tentang konteks pemberitaan dan pelayanan para murid itu? Mestinya tidak! Pemberitaan universal akan dimulai setelah peristiwa kebangkitan Yesus. Benar, pemberitaan Injil Kerajaan Allah itu bermula dalam lingkup Yahudi namun kemudian berita itu berlaku juga untuk semua bangsa.  Sebab pada dasarnya semua manusia di setiap bangsa mengalami hal yang sama, yakni: penderitaan akibat kuasa dosa. Manusia membutuhkan kelepasan dan kuasa untuk mengatasi itu.

Dahulu orang Yahudi percaya – dan itu menjadi pengalaman eksistensial mereka – bahwa sakit penyakit, penderitaan, kenajisan dan kematian bersumber dari kuasa jahat, kuasa Setan yang berkuasa. Memulihkannya tidak ada jalan lain kecuali dengan mengusir dan mengenyahkan kuasa Setan itu. Caranya? Dengan menggunakan kuasa yang melebihi kuasa dari segala kuasa yang ada, termasuk melebihi kuasa Setan. Kuasa itu adalah kuasa yang dimiliki Yesus.  Bukan hanya sekedar bicara, namun para murid yang tinggal bersama Yesus menyaksikan sendiri bagaimana Yesus menaklukkan kuasa-kuasa itu. Kini, Yesus berbagi kuasa dengan para murid, agar para murid melakukan tugas yang sama, yakni mengenyahkan kelemahan dan penderitaan manusia!

Kuasa “Setan” akan terus ada di sepanjang zaman. Kini, kuasa Setan tidak harus muncul dalam diri orang yang kerasukan, sakit, kusta atau kematian. Seperti yang dikatakan Paulo Friere manusia dijadikan oleh sesamanya tidak lebih dari penonton bahkan ditindas dan direndahkan. Bukankah hal ini sama seperti konteks keprihatinan Yesus yang melihat orang banyak itu seperti “domba tanpa gembala” atau dalam ungkapan lokal kita, mereka seperti sapi perahan, dimanfaatkan dan ditindas. Tengoklah dunia politik! Orang-orang kecil, yang jumlahnya pasti sangat banyak sering dimanipulasi, dibujuk dan dirayu ketika para elite membutuhkan suara mereka. Sesudah pesta pemungutan suara usai, mereka dicampakan begitu saja! Hal yang sama terjadi dalam dunia ekonomi dan industri. Manusia atau tepatnya kaum kecil hanya bagian dari alat produksi saja. Mereka dimanfaatkan ketika tenaga dan pikirannya dibutuhkan untuk sebuah proses  industri yang menghasilkan uang dan materi.

Murid-murid Kristus di sepanjang zaman terpanggil untuk menghadirkan Kerajaan Allah, itu artinya melawan segala kuasa yang membuat sesamanya menderita. Menghadirkan Kerajaan Allah itu artinya menghadirkan kepedulian Yesus terhadap yang miskin, papa, penderita dan terabaikan. Menghadirkan Kerajaan Allah berarti tidak kompromi dengan kekuatan-kekuatan yang merusak alam ciptaan Allah demi untuk pemuasan hawa nafsu. Menghadirkan Kerajaan Allah berarti menolak korupsi dan manipulasi dalam pelbagai bentuk. Menghadirkan Kerajaan Allah berarti menjadi teman dan sahabat bagi mereka yang tertindas. Sudahkah kita memilih jalan ini?

Jakarta, 16 Juni 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar