Paulo Freire, pendidik multikultural Brazil, pernah menyatakan, “Jika
manusia tidak mampu melihat secara kritis tema-tema zaman, sudah barang tentu
tidak bisa secara aktif merespons realitas yang ada, akibatnya mereka akan
terbawa hanyut oleh derasnya arus perubahan. Mereka melihat bahwa zaman sedang
berubah tetapi tenggelam dalam perubahan itu tanpa bisa mengendalikannya, dan
tidak bisa melihat arti dramatis perubahan itu.” Ironisnya, di tengah perubahan
itu, Freire menambahkan, “Dunia sudah dikotak-kotakkan menjadi ‘dunia-dunia’…manusia
umumnya sudah ditindas, direndahkan dan diubah menjadi penonton, diarahkan oleh
mitos-mitos yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan sosial (dunia) yang penuh
kuasa.”
Bukan hanya sekarang, dari dulu kenyataannya seperti itu terus bergulir:
dunia dikendalikan oleh segelintir orang. Kekuasaan politik dan ekonomi
alih-alih mengangkat derajat kaum lemah, miskin, dan terpinggirkan justeru
bagai monster yang terus melalap habis harkat derajat kemanusiaan. Gambaran
kitab suci mengenai hal ini muncul dengan ungkapan, “seperti domba-domba yang tidak mempunyai gembala” Perjanjian Lama
sering berbicara tentang para “gembala” dalam arti pemimpin politik atau keagamaan
(Bil.27:17, Yeh.34:5, 1 Raj.22:17, 2 Taw.18:16). Dalam kenyataannya kawanan
domba seringkali diperas, ditindas dan akhirnya tercerai berai karena ulah “pedagang
domba” yang jahat (Zak.11:7,11). Akibatnya, kondisi mengenaskan: sakit dan penderitaan
manusia menjadi pemandangan yang dapat dijumpai di mana-mana.
Dengan empati mendalam (esplankhnisthe,
dari kata splankhna: “isi perut”,
yang oleh orang Yahudi dipandang sebagai pusat emosi manusia), hati Yesus
tergerak ketika berjumpa dengan orang-orang sakit dan berkesusahan itu. Iba
atau tepatnya belarasa Yesus terhadap penderitaan manusia setara dalam
Perjanjian Lama dengan reaksi ketika Allah mendengar jeritan darah Habel yang
dibunuh oleh Kain, kakak kandungnya sendiri, atau keluhan Israel dalam
perbudakan di tanah Mesir atau Nabot yang kebun anggurnya hendak diambil raja
Ahab atau Daud yang berteriak karena kepungan para musuhnya. Allah tidak
tinggal diam! Dia segera turun tangan, Ia berdiri menjadi lawan dari para
penindas. Kini, dalam Perjanjian Baru, Allah yang peduli itu mewujud dalam diri
Yesus saja. Yesus bukan memusuhi orang kaya, penguasa atau ahli agama.
Melainkan mereka yang menjadikan orang-orang lemah menderita dan mereka yang
munafik, memakai kedok agama untuk kesalehan palsu!
Dalam keadaan yang memilukan inilah Yesus melihat “tuaian”. Waktu menuai
di sini tidak dikaitkan dengan pengadilan terakhir atas bangsa-bangsa (seperti
dalam Yesaya 24:13, Yoel 3 :12-13) tetapi menjadi kesempatan untuk rasul-rasul
berkarya. Dalam kondisi seperti ini Kerajaan Allah diberitakan. Yesus memanggil
dan memilih kedua belas murid untuk berkarya bagi “domba-domba” yang
terabaikan. Yesus sudah meminta agar para murid berdoa supaya dikirim banyak
gembala, yakni orang-orang yang mau bekerja untuk memberitakan Kerajaan Allah
kepada mereka yang sakit, miskin dan menderita. Sekarang Yesus sendiri memilih
dua belas orang untuk menjadi “penuai”: gembala. Mereka tidak hanya boleh
berdoa, meminta, tetapi harus siap terlibat dalam penggembalaan itu. Oleh
karenanya – kita harus menyadari bahwa – setiap orang yang berdoa harus ikut
juga terlibat dalam apa yang didoakannya.
Tentu ketika Yesus mengutus para murid, tidak hanya melepas mereka
begitu saja. Kedua belas rasul disiapkan Yesus. Mereka diberi kuasa (Mat.
9:35). Kepada mereka inilah Yesus membagikan kuasa yang telah Ia peragakan
dalam untaian tanda-tanda penyembuhan dan pengusiran setan. Yesus memberi
mereka kuasa untuk mengatasi roh-roh najis atau roh-roh jahat. Bukan hanya itu,
para murid juga dilengkapi kuasa seperti yang ada pada Yesus, yakni untuk
menyembuhkan penyakit dan kelemahan. Kuasa
dalam hal ini tidak sama dengan keahlian atau skill. Baik pengusiran Setan maupun penyembuhan bersumber pada
kuasa yang sama. Penyakit dan dosa yang menguasai manusia adalah tanda kerajaan
Setan, sebaliknya penyembuhan dan pemulihan adalah tanda kemenangan Kerajaan
Sorga. Hanya Yesus yang memberikan kuasa itu, bukan kepandaian para murid.
Berita pokok yang harus disampaikan para murid adalah “Kerajaan Surga sudah dekat!” Bukankah
hal ini sama dengan berita yang disampaikan oleh Yohanes Pembaptis (Mat.3:2)
dan Yesus sendiri (Mat.4:17)? Di sini kita melihat kesinambungan pesan dalam
pemberitaan Injil. Dalam pesan perutusan Yesus kepada para murid-Nya:
menyembuhkan penyakit, mengusir setan, mentahirkan orang kusta dan membangkitkan
orang mati, bukankah hal itu yang dikerjakan Yesus selama Ia bersama-sama para
murid? Itu berarti para murid melakukan tepat seperti apa yang dilakukan Yesus.
Di sini Yesus berbagi “kuasa” dan pelayanan untuk menangani penderitaan umat
manusia. Yesus melibatkan para murid untuk menjawab penderitaan “domba-domba” terlantar! Dengan melakukan tugas itu maka benarlah
bahwa para murid terlibat aktif dalam mendekatkan Kerajaan Surga itu!
Pada mulanya para murid diutus kepada
domba-domba yang hilang dari umat Israel. Namun, bukankah – minggu lalu,
dalam Minggu Trinitas kita membaca Matius 28 : 19 di mana Yesus memerintahkan
agar para murid diutus pergi kepada seluruh bangsa lalu menjadikan seluruh
bangsa itu murid-Nya serta membaptis mereka dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh
Kudus. Apakah Yesus tidak konsisten tentang konteks pemberitaan dan pelayanan
para murid itu? Mestinya tidak! Pemberitaan universal akan dimulai setelah
peristiwa kebangkitan Yesus. Benar, pemberitaan Injil Kerajaan Allah itu
bermula dalam lingkup Yahudi namun kemudian berita itu berlaku juga untuk semua
bangsa. Sebab pada dasarnya semua
manusia di setiap bangsa mengalami hal yang sama, yakni: penderitaan akibat
kuasa dosa. Manusia membutuhkan kelepasan dan kuasa untuk mengatasi itu.
Dahulu orang Yahudi percaya – dan itu menjadi pengalaman eksistensial
mereka – bahwa sakit penyakit, penderitaan, kenajisan dan kematian bersumber
dari kuasa jahat, kuasa Setan yang berkuasa. Memulihkannya tidak ada jalan lain
kecuali dengan mengusir dan mengenyahkan kuasa Setan itu. Caranya? Dengan
menggunakan kuasa yang melebihi kuasa dari segala kuasa yang ada, termasuk
melebihi kuasa Setan. Kuasa itu adalah kuasa yang dimiliki Yesus. Bukan hanya sekedar bicara, namun para murid
yang tinggal bersama Yesus menyaksikan sendiri bagaimana Yesus menaklukkan
kuasa-kuasa itu. Kini, Yesus berbagi kuasa dengan para murid, agar para murid
melakukan tugas yang sama, yakni mengenyahkan kelemahan dan penderitaan
manusia!
Kuasa “Setan” akan terus ada di sepanjang zaman. Kini, kuasa Setan tidak
harus muncul dalam diri orang yang kerasukan, sakit, kusta atau kematian.
Seperti yang dikatakan Paulo Friere manusia dijadikan oleh sesamanya tidak
lebih dari penonton bahkan ditindas dan direndahkan. Bukankah hal ini sama
seperti konteks keprihatinan Yesus yang melihat orang banyak itu seperti “domba
tanpa gembala” atau dalam ungkapan lokal kita, mereka seperti sapi perahan,
dimanfaatkan dan ditindas. Tengoklah dunia politik! Orang-orang kecil, yang
jumlahnya pasti sangat banyak sering dimanipulasi, dibujuk dan dirayu ketika
para elite membutuhkan suara mereka. Sesudah pesta pemungutan suara usai,
mereka dicampakan begitu saja! Hal yang sama terjadi dalam dunia ekonomi dan
industri. Manusia atau tepatnya kaum kecil hanya bagian dari alat produksi
saja. Mereka dimanfaatkan ketika tenaga dan pikirannya dibutuhkan untuk sebuah
proses industri yang menghasilkan uang
dan materi.
Murid-murid Kristus di sepanjang zaman terpanggil untuk menghadirkan
Kerajaan Allah, itu artinya melawan segala kuasa yang membuat sesamanya
menderita. Menghadirkan Kerajaan Allah itu artinya menghadirkan kepedulian
Yesus terhadap yang miskin, papa, penderita dan terabaikan. Menghadirkan
Kerajaan Allah berarti tidak kompromi dengan kekuatan-kekuatan yang merusak alam
ciptaan Allah demi untuk pemuasan hawa nafsu. Menghadirkan Kerajaan Allah
berarti menolak korupsi dan manipulasi dalam pelbagai bentuk. Menghadirkan
Kerajaan Allah berarti menjadi teman dan sahabat bagi mereka yang tertindas.
Sudahkah kita memilih jalan ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar