Seorang perempuan Vietnam mengira memenangi lotre sehingga bersikap
royal kepada siapa saja. Ia membelikan barang untuk dihadiahkan kepada
orang-orang di sekelilingnya, terutama kerabat keluarganya. Namun, “pesta
perayaan” segera berakhir karena ia mendapati nomor kupon lotre yang dibelinya
hanya cocok dua digit. Perempuan tersebut berasal dari kota Can Thao, di
Vietnam selatan. Ia begitu yakin memenangi lotre 14 miliar dong atau setara Rp.
8,2 miliar saat pengumuman disampaikan pada 19 Februari lalu. Tetangga pun
dibelikan berbagai hadiah, kerabat ditraktir dengan kemewahan, dan donasi
diberikan kepada kaum miskin. Ia meminjam 100 juta dong atau Rp. 59 juta untuk
melakukan itu semua.
“Saya minta dia kembali mengecek nomor kupon, tetapi ia mengabaikan
permintaan saya. Sekarang bagaimana kami membayar pinjaman sebanyak itu,” ujar
ibu si perempuan kepada Central News Agency, kantor berita Taiwan, seperti yang
dikutip globaltimes.cn. Untunglah, para tetangga baik hati. Hadiah yang
diterima oleh mereka dikembalikan kepada si perempuan. Lumayan, hal itu
setidaknya dapat meringankan beban perempuan naas yang terlalu cepat bergembira
tersebut. (sumber :Kompas 3 Feb ’17,
hal.10).
Apa yang dilakukan oleh perempuan Vietnam itu jelas bukan hal yang
jahat. Bahkan ia punya keinginan membahagiakan orang-orang yang ada di
sekeliliingnya. Ia tidak mengenggam sendiri “hadiah” yang bakal diterimanya. Ia
juga menyumbang untuk orang miskin. Mungkin saja kita pun punya angan-angan
serupa dengan perempuan itu: Andai saja aku orang kaya, maka aku bisa menolong
banyak kerabat, tetangga orang-orang miskin, mereka yang terkapar sakit dan
tidak berdaya karena tidak punya uang. Andai aku orang kaya, aku dapat
membahagiakan orang lain. Ah, coba saja aku punya kuasa, maka aku akan membagi
kemakmuran bagi banyak orang. Andai aku ini benar-benar anak Allah yang segala
permintaanku dikabulkan oleh Bapa-ku!
Godaan atau pencobaan tidak selalu diartikan dengan kesulitan dan
penderitaan. Atau, gemerlapnya kemewahan yang memuaskan hasrat hedonisme.
Namun, bisa dalam bentuk penggunaan kemampuan, kedudukan, kepandaian dan segala
kapasitas yang kita punya untuk tujuan-tujuan yang tidak pada tempatnya. Setiap
kita diberikan Tuhan kemampuan dan kapasitas melakukan segala sesuatu. Nah, di
sini Iblis dapat menggunakan celah ini sebagai jalan untuk mencobai kita.
Tiga kali Yesus dicobai Iblis di padang gurun setelah Ia selesai
berpuasa empat puluh hari, empat puluh malam (Matius 4:1-11). Dua dari tiga
pencobaan yang dilakukan Iblis adalah menggoda Yesus yang mempunyai kapasitas
Anak Allah – yang baru saja mendapat legitimasi dari Bapa-Nya “Inilah Anak-Ku
yang Kukasihi, kepada-Nya Aku berkenan – untuk menggunakan kuasa dan perkenanan
Bapa itu dalam memenuhi kebutuhan-Nya.
Dalam mencobai Yesus, Iblis menggunakan tiga permintaan, yakni: Pertama,
supaya Yesus mengubah batu menjadi roti. Kedua, Yesus menjatuhkan diri dari
bubungan Bait Allah. Dua pencobaan ini jelas tidak ada masalah buat Yesus yang
punya kapasitas Anak Allah yang pasti mempunyai kuasa keilahian. Yang ketiga,
Supaya Yesus menyembahnya. Ketiga permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh
Yesus. Yesus menjawab cobaan setan itu dengan kalimat yang dikutip-Nya dari
Kitab Ulangan 6 – 8. Dua pasal Kitab Ulangan ini merupakan bagian inti di mana
Musa mengingatkan kepada umat Israel akan perjanjian mereka dengan Allah dan
kesetian yang harus mereka tunjukkan kepada Allah.
Pada pencobaan pertama, Iblis meminta Yesus agar Ia mengubah batu
menjadi roti. Yesus mengutip Ulangan 8:3. Dalam konteks Ulangan 8, Musa
menjelaskan makna di balik pemberian manna
di padang gurun ketika bangsa Israel keluar dari tanah Mesir. Mereka diuji
Allah, apakah merekacukup rendah hati dan taan kepada Allah ketika dalam situasi lapar dan tidak tersedia
makanan. Sayangnya, mereka bersungut-sungut! Maka Allah memberi mereka makan
sambil mengingatkan bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi juga dari
firman yang keluar dari mulut Allah. Israel jatuh dalam sungut-sungut, Yesus
tidak membiarkan diri-Nya jatuh dalam cobaan Iblis. Ia mengungkapkan kembali
inti pengalaman manna di padang
gurun, yakni bahwa manusia hidup dari firman Allah.
Iblis tahu firman Allah. Melihat Yesus menggunakan ayat suci, Iblis pun
mengutip Mazmur 91:11-12 untuk melancarkan serangan kedua. Mazmur itu
menyatakan bahwa Allah akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya untuk menatang
orang yang dikasihi-Nya di atas tangan para malaikat itu agar kaki orang yang
dikasihi-Nya itu tidak terantuk batu. Tetapi, kembali Yesus menggunakan sebuah
ayat dalam Kitab Ulangan. Kali ini Ulangan 6:16, di mana konteksnya mengenang
kembali peristiwa Masa dan Meriba, ketika orang Israel bersungut-sungut kepada
Musa dan kepada Allah karena mereka kehabisan air. Musa mengingatkan umat itu
agar tidak lagi mencobai TUHAN.
Iblis seolah tidak menyerah. Ia melontarkan permintaan terakhir agar
Yesus menyembahnya dan sebagai imbalannya, Yesus akan menerima seluruh tahta
dunia dan kemegahannya. Yesus tidak silau dengan tawaran Iblis itu. Bisa jadi
ini tawaran yang menggiurkan karena Yesus tidak usah lagi melalui jalan
sengsara dan Ia kemudian akan diterima oleh dunia. Yesus mengusir Iblis itu dan
mengatakan, bahwa hanya Allah yang boleh disembah. Teks yang dikutip Yesus
bersumber dari Ulangan 6:13. Hal ini mengenang kembali apa yang dinyatakan Musa
kepada orang Israel ketika mereka mulai tertarik pada penyembahan terhadap
dewa-dewi, berhala-berhala asing. Walau betapa pun menariknya penyembahan
terhadap berhala-berhala itu dan mungkin juga dampak “berkat” yang mereka
terima dari pemnyembahan itu – Israel diajak untuk tetap setia kepada Allah.
Setelah semua serangan itu dapat digagalkan Yesus, Iblis meninggalkan Yesus
(Matius 4:11), sementara Lukas mencatat bahwa Iblis mencari kesempatan yang
baik (Lukas 4:14).
Kita semua berpotensi mengalami pencobaan. Baik pencobaan berbentuk
kesulitan dan penderitaan hidup, namun bisa juga berbentuk kenyamanan dan
kemewahan. Apakah kita bisa melaluinya? Belajar dari peristiwa pencobaan Yesus
di padang gurun, bukankah dunia yang sekarang kita jalani juga adalah “padang
gurun” sebelum sampai tiba ke “negeri perjanjian”? Apa yang menjadi kunci
kemenangan Yesus dalam melawan pencobaan Iblis. Ya, Ia fokus kepada Allah,
Bapa-Nya. Ketaatan kepada Bapa tidak bisa ditawar-tawar dengan apa pun juga. Kita pun dapat melalu padang gurun yang di
dalamnya begitu banyak pencobaan menggunakan cara yang sama seperti yang
dilakukan Yesus; yakni dengan taat dan setia kepada Bapa kita.
Paulus memperhadapkan antara “Adam dan Kristus” (Roma 5:12-21). Manusia
pertama itu gagal dalam menghadapi pencobaan dan akibatnya dosa menguasai
mereka. Sedangkan Yesus Kristus memenangkan pencobaan itu dengan ketaatan.
Setidaknya hal ini memberi dorongan buat setiap pengikut Kristus bahwa benar,
segala bentuk pencobaan itu dapat kita atasi, contohnya pengalaman pencobaan
Yesus sendiri. Ingat, Iblis selalu mencari waktu yang baik untuk terus
melancarkan godaannya. Siapa pun kita tidak luput dari godaan dan pencobaan
menurut konteks dan kadar masing-masing. Hanya ada satu cara untuk mengatasinya:
taat dan setia kepada Allah Bapa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar