Jumat, 03 Maret 2017

BERSAMA ALLAH DALAM PENCOBAAN

Seorang perempuan Vietnam mengira memenangi lotre sehingga bersikap royal kepada siapa saja. Ia membelikan barang untuk dihadiahkan kepada orang-orang di sekelilingnya, terutama kerabat keluarganya. Namun, “pesta perayaan” segera berakhir karena ia mendapati nomor kupon lotre yang dibelinya hanya cocok dua digit. Perempuan tersebut berasal dari kota Can Thao, di Vietnam selatan. Ia begitu yakin memenangi lotre 14 miliar dong atau setara Rp. 8,2 miliar saat pengumuman disampaikan pada 19 Februari lalu. Tetangga pun dibelikan berbagai hadiah, kerabat ditraktir dengan kemewahan, dan donasi diberikan kepada kaum miskin. Ia meminjam 100 juta dong atau Rp. 59 juta untuk melakukan itu semua.

“Saya minta dia kembali mengecek nomor kupon, tetapi ia mengabaikan permintaan saya. Sekarang bagaimana kami membayar pinjaman sebanyak itu,” ujar ibu si perempuan kepada Central News Agency, kantor berita Taiwan, seperti yang dikutip globaltimes.cn. Untunglah, para tetangga baik hati. Hadiah yang diterima oleh mereka dikembalikan kepada si perempuan. Lumayan, hal itu setidaknya dapat meringankan beban perempuan naas yang terlalu cepat bergembira tersebut. (sumber :Kompas 3 Feb ’17, hal.10).

Apa yang dilakukan oleh perempuan Vietnam itu jelas bukan hal yang jahat. Bahkan ia punya keinginan membahagiakan orang-orang yang ada di sekeliliingnya. Ia tidak mengenggam sendiri “hadiah” yang bakal diterimanya. Ia juga menyumbang untuk orang miskin. Mungkin saja kita pun punya angan-angan serupa dengan perempuan itu: Andai saja aku orang kaya, maka aku bisa menolong banyak kerabat, tetangga orang-orang miskin, mereka yang terkapar sakit dan tidak berdaya karena tidak punya uang. Andai aku orang kaya, aku dapat membahagiakan orang lain. Ah, coba saja aku punya kuasa, maka aku akan membagi kemakmuran bagi banyak orang. Andai aku ini benar-benar anak Allah yang segala permintaanku dikabulkan oleh Bapa-ku!

Godaan atau pencobaan tidak selalu diartikan dengan kesulitan dan penderitaan. Atau, gemerlapnya kemewahan yang memuaskan hasrat hedonisme. Namun, bisa dalam bentuk penggunaan kemampuan, kedudukan, kepandaian dan segala kapasitas yang kita punya untuk tujuan-tujuan yang tidak pada tempatnya. Setiap kita diberikan Tuhan kemampuan dan kapasitas melakukan segala sesuatu. Nah, di sini Iblis dapat menggunakan celah ini sebagai jalan untuk mencobai kita.

Tiga kali Yesus dicobai Iblis di padang gurun setelah Ia selesai berpuasa empat puluh hari, empat puluh malam (Matius 4:1-11). Dua dari tiga pencobaan yang dilakukan Iblis adalah menggoda Yesus yang mempunyai kapasitas Anak Allah – yang baru saja mendapat legitimasi dari Bapa-Nya “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nya Aku berkenan – untuk menggunakan kuasa dan perkenanan Bapa itu dalam memenuhi kebutuhan-Nya.

Dalam mencobai Yesus, Iblis menggunakan tiga permintaan, yakni: Pertama, supaya Yesus mengubah batu menjadi roti. Kedua, Yesus menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah. Dua pencobaan ini jelas tidak ada masalah buat Yesus yang punya kapasitas Anak Allah yang pasti mempunyai kuasa keilahian. Yang ketiga, Supaya Yesus menyembahnya. Ketiga permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Yesus. Yesus menjawab cobaan setan itu dengan kalimat yang dikutip-Nya dari Kitab Ulangan 6 – 8. Dua pasal Kitab Ulangan ini merupakan bagian inti di mana Musa mengingatkan kepada umat Israel akan perjanjian mereka dengan Allah dan kesetian yang harus mereka tunjukkan kepada Allah.

Pada pencobaan pertama, Iblis meminta Yesus agar Ia mengubah batu menjadi roti. Yesus mengutip Ulangan 8:3. Dalam konteks Ulangan 8, Musa menjelaskan makna di balik pemberian manna di padang gurun ketika bangsa Israel keluar dari tanah Mesir. Mereka diuji Allah, apakah merekacukup rendah hati dan taan kepada Allah ketika  dalam situasi lapar dan tidak tersedia makanan. Sayangnya, mereka bersungut-sungut! Maka Allah memberi mereka makan sambil mengingatkan bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi juga dari firman yang keluar dari mulut Allah. Israel jatuh dalam sungut-sungut, Yesus tidak membiarkan diri-Nya jatuh dalam cobaan Iblis. Ia mengungkapkan kembali inti pengalaman manna di padang gurun, yakni bahwa manusia hidup dari firman Allah.

Iblis tahu firman Allah. Melihat Yesus menggunakan ayat suci, Iblis pun mengutip Mazmur 91:11-12 untuk melancarkan serangan kedua. Mazmur itu menyatakan bahwa Allah akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya untuk menatang orang yang dikasihi-Nya di atas tangan para malaikat itu agar kaki orang yang dikasihi-Nya itu tidak terantuk batu. Tetapi, kembali Yesus menggunakan sebuah ayat dalam Kitab Ulangan. Kali ini Ulangan 6:16, di mana konteksnya mengenang kembali peristiwa Masa dan Meriba, ketika orang Israel bersungut-sungut kepada Musa dan kepada Allah karena mereka kehabisan air. Musa mengingatkan umat itu agar tidak lagi mencobai TUHAN.

Iblis seolah tidak menyerah. Ia melontarkan permintaan terakhir agar Yesus menyembahnya dan sebagai imbalannya, Yesus akan menerima seluruh tahta dunia dan kemegahannya. Yesus tidak silau dengan tawaran Iblis itu. Bisa jadi ini tawaran yang menggiurkan karena Yesus tidak usah lagi melalui jalan sengsara dan Ia kemudian akan diterima oleh dunia. Yesus mengusir Iblis itu dan mengatakan, bahwa hanya Allah yang boleh disembah. Teks yang dikutip Yesus bersumber dari Ulangan 6:13. Hal ini mengenang kembali apa yang dinyatakan Musa kepada orang Israel ketika mereka mulai tertarik pada penyembahan terhadap dewa-dewi, berhala-berhala asing. Walau betapa pun menariknya penyembahan terhadap berhala-berhala itu dan mungkin juga dampak “berkat” yang mereka terima dari pemnyembahan itu – Israel diajak untuk tetap setia kepada Allah. Setelah semua serangan itu dapat digagalkan Yesus, Iblis meninggalkan Yesus (Matius 4:11), sementara Lukas mencatat bahwa Iblis mencari kesempatan yang baik (Lukas 4:14).

Kita semua berpotensi mengalami pencobaan. Baik pencobaan berbentuk kesulitan dan penderitaan hidup, namun bisa juga berbentuk kenyamanan dan kemewahan. Apakah kita bisa melaluinya? Belajar dari peristiwa pencobaan Yesus di padang gurun, bukankah dunia yang sekarang kita jalani juga adalah “padang gurun” sebelum sampai tiba ke “negeri perjanjian”? Apa yang menjadi kunci kemenangan Yesus dalam melawan pencobaan Iblis. Ya, Ia fokus kepada Allah, Bapa-Nya. Ketaatan kepada Bapa tidak bisa ditawar-tawar dengan apa pun juga.  Kita pun dapat melalu padang gurun yang di dalamnya begitu banyak pencobaan menggunakan cara yang sama seperti yang dilakukan Yesus; yakni dengan taat dan setia kepada Bapa kita.

Paulus memperhadapkan antara “Adam dan Kristus” (Roma 5:12-21). Manusia pertama itu gagal dalam menghadapi pencobaan dan akibatnya dosa menguasai mereka. Sedangkan Yesus Kristus memenangkan pencobaan itu dengan ketaatan. Setidaknya hal ini memberi dorongan buat setiap pengikut Kristus bahwa benar, segala bentuk pencobaan itu dapat kita atasi, contohnya pengalaman pencobaan Yesus sendiri. Ingat, Iblis selalu mencari waktu yang baik untuk terus melancarkan godaannya. Siapa pun kita tidak luput dari godaan dan pencobaan menurut konteks dan kadar masing-masing. Hanya ada satu cara untuk mengatasinya: taat dan setia kepada Allah Bapa!

Jakarta, 03 Maret 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar