Jumat, 10 Maret 2017

MENJALANI HIDUP YANG PASTI

Kisah ini dituturkan oleh George W. Burns, seorang psikoterapis ketika mengunjungi Mesa Verde. Mesa Verde adalah sebuah keajaiban alam spektakuler, misterius dan unik. Sudah banyak arkeolog, antropolog dan sosiolog meneliti situs ini. Namun, tetap saja tidak mampu mengungkap seluruh misteri dan keajaibannya.

Salah satu misteri situs ini adalah, mengapa suku Indian Anasazi yang hidup di Mesa Verde sekitar tahun 700 – 1200 meninggalkan rumah-rumah mereka yang mudah dijangkau di dataran tinggi berpuncak datar dan kemudian mereka pindah ke serambi karang yang terjal dan sulit dijangkau. Bisa jadi faktor keamanan yang menjadi prioritas. Rumah di daerah dataran biasa dapat dengan mudah diserang musuh atau kawanan binatang buas. Rumah di tebing karang curam, tentu tidak mudah untuk disatroni. Di situ mungkin mereka merasa aman dan nyaman. Hampir semua naluri makhluk hidup – manusia termasuk di dalamnya – akan mencari tempat aman dan nyaman karena di situlah meraka dapat meneruskan kelangsungan hidup yang dianggap pasti dan lebih baik.

Pada 1996, Taman Nasional Mesa Verde merayakan ulang tahunnya yang ke-90, sepanjang tahun ini para arkeolog  menyurvei setiap situs yang bisa mereka temukan. Namun, selama musim panas. Soda Canyon terbakar hebat oleh api yang dipicu petir. Kebakaran selama empat hari mempunyai daya rusak luar biasa. Lebih dari 3000 hektar area situs musnah terbakar. Arang dan jelaga menutupi rumah-rumah bersejarah, bagian-bagian yang terbuat dari kayu terbakar habis hingga yang tersisa hanyalah abu dan batu-batu fondasi bangunan hancur menjadi serpihan atau retakan-retakan diterpa panas yang menggila.


Musnahnya bangunan-bangunan bersejarah berusia ribuan tahun membuat studi ilmiah yang dilakukan selama berpuluh-puluh tahun sia-sia dan menjadikan para pencinta situs ini banjir air mata. Di sebuah tempat bernama Battleship Rock, sebuah panel petroglif besar dengan ukiran yang tidak tergantikan setinggi empat meter, hancur berkeping-keping, dan lepas dari permukaan karang. Bagi para arkeolog, kerugian yang mereka derita tak ada taranya. Oleh karena itu jika mereka berduka karena kejadian tersebut, itu sudah pada tempatnya! Bayangkan saja jika Anda menjadi salah seorang arkeolog yang meneliti situs Mesa Verde: Anda akan merasakan kesedihan, dan, meskipun Anda tahu, sebagaimana semua perasaan, bahwa kesedihan tersebut akan sirna seiring berjalannya waktu. Benak Anda akan terus-menerus membisikkan bahwa Anda telah kehilangan sesuatu yang berharga untuk selama-lamanya.

Kisahnya belum berakhir. Api yang melalap dan menghancurkan situs Mesa Verde itu meninggalkan sisa. Ada sebuah lahan yang cukup luas; ada pueblo (perkampungan suku Indian) dengan banyak kamar, dan lebih dari  itu, sebuah gua bawah tanah. Api telah membakar habis hutan dan belukar yang telah begitu lama menyembunyikan misteri: situs menarik yang belum pernah terungkap. Memang benar, mereka tidak pernah akan bisa menggantikan kerugian akibat kebakaran hebat itu. Namun, situs yang baru terungkap itu tidak kalah menarik dan memberikan pengetahuan baru tentang sekelompok masyarakat misterius. Api yang berdaya hancur begitu dasyat ternyata telah memunculkan tidak kurang dari 400 situs yang belum pernah didokomentasikan selama ini!

Anda sudah hidup mapan, kaya, usia mengarah ke senja, di kelilingi kerabat dan sahabat. Anda hidup tentram. Aman dan nyama, tiba-tiba diminta meninggalkan semuanya itu, mengembara entah ke mana arah tujuannya hanya dengan berbekal sebuah janji. “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyur; dan engkau akan menjadi berkat” (Kej. 12:2). Ini seperti pribahasa “Melepas burung pipit yang digenggam, berharap mendapatkan merpati.” Bagaimana Anda merespons panggilan dan janji seperti ini? Dapatkah dengan segera, tanpa bertanya ini dan itu lagi, kemudian Anda berkemas dan segera pergi menuruti janji itu? Bisa jadi kita akan berpikir berulang-ulang untuk meninggalkan semua kenyamanan itu. Namun, tidak dengan Abram. Ia segera mengajak isterinya berkemas untuk memenuhi panggilan dan janji itu.

Lain Abram, beda pula Nikodemus. Nikodemus adalah seorang yang unik. Ia tampil sebagai simpatisan Yesus. Ia disebutkan seorang Farisi, salah seorang pemuka Yahudi, yang mengisyaratkan kemungkinan bahwa ia adalah anggota dari Sanhedrin (Mahkamah Agama Yahudi). Bagi penulis Injil Yohanes, Nikodemus ditampilkan sebagai seorang Yahudi, terpelajar dan mempunyai tujuan yang tulus, meskipun imannya kepada Yesus masih sama seperti orang kebanyakan yang terpesona dengan mujizat dan tanda. Nikodemus datang kepada Yesus dalam kegelapan malam. Bagi penulis Yohanes, malam yang berarti gelap mempunyai konotasi kehidupan dalam kegelapan kontras dengan Yesus yang tampil membawa terang.

Tentu saja, Nikodemus menghormati Yesus, itu terbukti dengan menyebut-Nya Rabbi dan pengakuannya bahwa Yesus adalah  seorang yang datang dari Allah (Yoh.3;2). Alih-alih merasa tersanjung dengan pujian Nikodemus yang menyatakan bahwa diri-Nya telah banyak melakukan tanda, Yesus beralih pada percakapan “tingkat tinggi”. Kini, Yesus berbicara tentang bagaimana caranya melihat Kerajaan Allah.

Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.”(Yoh.3:3). Nikodemus menyanggahnya, “Bagaimana mungkin seorang dilahirkan kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan lagi?”(Yoh.3:4). Tanggapan Nikodemus ini gak nyambung dengan ide yang disampaikan Yesus mengenai seseorang yang akan melihat Kerajaan Allah. Melihat Kerajaan Allah berarti mengalami, berpartisipasi dalam Kerajaan itu. Untuk dapat mengalami itu, kata Yesus, seseorang harus dilahirkan kembali. Kelahiran kembali yang dimaksud adalah dilahirkan oleh air dan Roh (ανώθέν έκ ΰδατος και πνευματος)

Kali ini Yesus berbicara lahir dari air dan Roh, apa maksudnya? Kata “air dan Roh” menyimbulkan Roh. Tentu Roh yang dimaksud adalah Roh Kudus. Kata “dan” mengandung makna epeksegetik sehingga dapat berarti, “lahir dari air, yaitu dari Roh”. Hidup alamiah orang di dunia ini ada karena Allah meniupkan roh (nefesy haya: nafas kehidupan) ke dalam daging manusia, sehingga manusia menjadi makhluk yang hidup, bergerak dan dinamis. Hidup abadi (baca: mengalami Kerajaan Allah) juga dimulai dari prakarsa Allah yang memberikan Roh Kudus itu  kepada manusia. Pernyataan Yesus itu mau menjelaskan perlunya mempunyai eksistensi atau keberadaan baru (populernya: hidup baru) untuk masuk dalam Kerajaan Allah. Hidup baru bukan tampilannya saja melainkan terbarukan dalam batin.

Dalam dialog selanjutnya, Yesus membuat kontras antara lahir dari Roh dan lahir dari daging / fisik. “Lahir dari daging/fisik” ditempatkan sejajar dengan lahir oleh keinginan laki-laki. Dengan demikian, lahir dari daging berarti lahir dari bapak dan ibu manusiawi, semua orang terlahir seperti itu. Ini jugalah yang dipersoalkan oleh Nikodemus, “Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan kembali?” Kelahiran seperti itu bukan jaminan seseorang masuk dalam Kerajaan Sorga. Yesus menegaskan kembali bahwa untuk masuk dalam Kerajaan Sorga, orang harus dilahirkan oleh Allah dalam air dan Roh Kudus. Di sinilah peran Roh Kudus, yakni memungkinkan manusia dapat “terlahir kembali.”

Seorang manusia yang baru dilahirkan dari rahim ibunya ia bisa dikatakan manusia baru (νεος, neos), baru nongol di dunia. Tetapi seorang berdosa yang menyadari kesalahannya, kini ia mengarahkan hidupnya ke jalan yang benar, mengubah tabiat dan prilakunya. Ia ada di jalan Tuhan. Mungkin tampilan fisiknya tidak berubah tetapi kini ia disebut manusia kainos (καινος), manusia baru! Hal ini sangat mungkin terjadi jika manusia itu mau menanggapi karya Roh Kudus yang bekerja di dalam dirinya. Kelahiran kembali merupakan anugerah Allah bagi setiap orang yang menyambutnya. Bukan diupayakan oleh usaha, kesalehan dan kepandaian manusia. Yohanes 3:16, mencatat, “Karena begitu besarnya kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”  Dari ayat ini jelaslah bahwa Allah sendiri yang mempunyai prakarsa membuka pintu agar manusia mengalami kehidupan yang sesungguhnya itu, yakni kehidupan yang kekal. Allah yang berinisiatif memanggil manusia untuk masuk dalam anugerahnya juga dapat kita temukan dalam Perjanjian Lama : Allah memanggil Abram (Kejadian 12).

Allah memanggil Abram dan mengikatnya dengan perjanjian istimewa  sama sekali bukan karena Abram itu lebih saleh dari orang-orang sejamannya. Alkitab mencatat bahwa leluhur Abram bukan penyembah Allah. Namun, Allah sendiri yang memanggil Abram dan Abram merespon panggilan itu. Paulus mencatat (Roma 4:3) bahwa Abraham memiliki hubungan yang baik dengan Allah, bukan karena ia melakukan semua perintah-perintah hukum, melainkan karena ia menyatakan diri sepenuhnya kepada janji-janji Allah itulah yang diperhitungkan sebagai sebuah tindakan yang benar.

Seperti para arkeolog yang memandang keruntuhan Mesa Verde dengan kesedihan dan kehilangan mendalam. Sama seperti Abram yang meninggalkan kampung halaman dan segala kemapanan serta kenyamanannya. Seperti juga Nikodemus dengan segala kehormatannya sebagai pemimpin Yahudi. Kita pun sangat mungkin punya perasaan “sayang” untuk meninggalkan hidup lama kita. Namun, percayalah seperti Mesa Verde yang memunculkan ratusan situs baru setelah dimusnahkan api, seperti Abram yang menjadi Abraham, bapa orang percaya yang melihat karya Allah dan Nikodemus yang mengenal Kristus. Mereka semua “melihat” Kerajaan Allah itu. Satu hal yang diminta-Nya dari kita: berani meninggalkan manusia lama!

Jakarta, 10 Mart 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar