Kisah ini dituturkan oleh George W. Burns, seorang psikoterapis ketika
mengunjungi Mesa Verde. Mesa Verde adalah sebuah keajaiban alam spektakuler,
misterius dan unik. Sudah banyak arkeolog, antropolog dan sosiolog meneliti
situs ini. Namun, tetap saja tidak mampu mengungkap seluruh misteri dan
keajaibannya.
Salah satu misteri situs ini adalah, mengapa suku Indian Anasazi yang
hidup di Mesa Verde sekitar tahun 700 – 1200 meninggalkan rumah-rumah mereka
yang mudah dijangkau di dataran tinggi berpuncak datar dan kemudian mereka
pindah ke serambi karang yang terjal dan sulit dijangkau. Bisa jadi faktor
keamanan yang menjadi prioritas. Rumah di daerah dataran biasa dapat dengan
mudah diserang musuh atau kawanan binatang buas. Rumah di tebing karang curam,
tentu tidak mudah untuk disatroni. Di situ mungkin mereka merasa aman dan
nyaman. Hampir semua naluri makhluk hidup – manusia termasuk di dalamnya – akan
mencari tempat aman dan nyaman karena di situlah meraka dapat meneruskan
kelangsungan hidup yang dianggap pasti dan lebih baik.
Pada 1996, Taman Nasional Mesa Verde merayakan ulang tahunnya yang
ke-90, sepanjang tahun ini para arkeolog menyurvei setiap situs yang bisa mereka
temukan. Namun, selama musim panas. Soda Canyon terbakar hebat oleh api yang
dipicu petir. Kebakaran selama empat hari mempunyai daya rusak luar biasa.
Lebih dari 3000 hektar area situs musnah terbakar. Arang dan jelaga menutupi
rumah-rumah bersejarah, bagian-bagian yang terbuat dari kayu terbakar habis
hingga yang tersisa hanyalah abu dan batu-batu fondasi bangunan hancur menjadi
serpihan atau retakan-retakan diterpa panas yang menggila.
Musnahnya bangunan-bangunan bersejarah berusia ribuan tahun membuat
studi ilmiah yang dilakukan selama berpuluh-puluh tahun sia-sia dan menjadikan
para pencinta situs ini banjir air mata. Di sebuah tempat bernama Battleship
Rock, sebuah panel petroglif besar dengan ukiran yang tidak tergantikan
setinggi empat meter, hancur berkeping-keping, dan lepas dari permukaan karang.
Bagi para arkeolog, kerugian yang mereka derita tak ada taranya. Oleh karena
itu jika mereka berduka karena kejadian tersebut, itu sudah pada tempatnya!
Bayangkan saja jika Anda menjadi salah seorang arkeolog yang meneliti situs
Mesa Verde: Anda akan merasakan kesedihan, dan, meskipun Anda tahu, sebagaimana
semua perasaan, bahwa kesedihan tersebut akan sirna seiring berjalannya waktu.
Benak Anda akan terus-menerus membisikkan bahwa Anda telah kehilangan sesuatu
yang berharga untuk selama-lamanya.
Kisahnya belum berakhir. Api yang melalap dan menghancurkan situs Mesa
Verde itu meninggalkan sisa. Ada sebuah lahan yang cukup luas; ada pueblo (perkampungan suku Indian) dengan
banyak kamar, dan lebih dari itu, sebuah
gua bawah tanah. Api telah membakar habis hutan dan belukar yang telah begitu
lama menyembunyikan misteri: situs menarik yang belum pernah terungkap. Memang
benar, mereka tidak pernah akan bisa menggantikan kerugian akibat kebakaran
hebat itu. Namun, situs yang baru terungkap itu tidak kalah menarik dan
memberikan pengetahuan baru tentang sekelompok masyarakat misterius. Api yang
berdaya hancur begitu dasyat ternyata telah memunculkan tidak kurang dari 400
situs yang belum pernah didokomentasikan selama ini!
Anda sudah hidup mapan, kaya, usia mengarah ke senja, di kelilingi
kerabat dan sahabat. Anda hidup tentram. Aman dan nyama, tiba-tiba diminta
meninggalkan semuanya itu, mengembara entah ke mana arah tujuannya hanya dengan
berbekal sebuah janji. “Aku akan membuat
engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu
masyur; dan engkau akan menjadi berkat” (Kej. 12:2). Ini seperti pribahasa “Melepas
burung pipit yang digenggam, berharap mendapatkan merpati.” Bagaimana Anda
merespons panggilan dan janji seperti ini? Dapatkah dengan segera, tanpa
bertanya ini dan itu lagi, kemudian Anda berkemas dan segera pergi menuruti
janji itu? Bisa jadi kita akan berpikir berulang-ulang untuk meninggalkan semua
kenyamanan itu. Namun, tidak dengan Abram. Ia segera mengajak isterinya
berkemas untuk memenuhi panggilan dan janji itu.
Lain Abram, beda pula Nikodemus. Nikodemus adalah seorang yang unik. Ia
tampil sebagai simpatisan Yesus. Ia disebutkan seorang Farisi, salah seorang
pemuka Yahudi, yang mengisyaratkan kemungkinan bahwa ia adalah anggota dari
Sanhedrin (Mahkamah Agama Yahudi). Bagi penulis Injil Yohanes, Nikodemus
ditampilkan sebagai seorang Yahudi, terpelajar dan mempunyai tujuan yang tulus,
meskipun imannya kepada Yesus masih sama seperti orang kebanyakan yang
terpesona dengan mujizat dan tanda. Nikodemus datang kepada Yesus dalam
kegelapan malam. Bagi penulis Yohanes, malam yang berarti gelap mempunyai
konotasi kehidupan dalam kegelapan kontras dengan Yesus yang tampil membawa
terang.
Tentu saja, Nikodemus menghormati Yesus, itu terbukti dengan
menyebut-Nya Rabbi dan pengakuannya
bahwa Yesus adalah seorang yang datang dari Allah (Yoh.3;2).
Alih-alih merasa tersanjung dengan pujian Nikodemus yang menyatakan bahwa
diri-Nya telah banyak melakukan tanda, Yesus beralih pada percakapan “tingkat
tinggi”. Kini, Yesus berbicara tentang bagaimana caranya melihat Kerajaan
Allah.
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan
kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.”(Yoh.3:3). Nikodemus
menyanggahnya, “Bagaimana mungkin seorang
dilahirkan kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya
dan dilahirkan lagi?”(Yoh.3:4). Tanggapan Nikodemus ini gak nyambung dengan ide yang disampaikan
Yesus mengenai seseorang yang akan melihat Kerajaan Allah. Melihat Kerajaan
Allah berarti mengalami, berpartisipasi dalam Kerajaan itu. Untuk dapat
mengalami itu, kata Yesus, seseorang harus dilahirkan kembali. Kelahiran
kembali yang dimaksud adalah dilahirkan oleh air dan Roh (ανώθέν έκ ΰδατος και
πνευματος)
Kali ini Yesus berbicara lahir
dari air dan Roh, apa maksudnya? Kata “air dan Roh” menyimbulkan Roh. Tentu Roh
yang dimaksud adalah Roh Kudus. Kata “dan” mengandung makna epeksegetik
sehingga dapat berarti, “lahir dari air,
yaitu dari Roh”. Hidup alamiah orang di dunia ini ada karena Allah
meniupkan roh (nefesy haya: nafas
kehidupan) ke dalam daging manusia, sehingga manusia menjadi makhluk yang
hidup, bergerak dan dinamis. Hidup abadi (baca: mengalami Kerajaan Allah) juga
dimulai dari prakarsa Allah yang memberikan Roh Kudus itu kepada manusia. Pernyataan Yesus itu mau
menjelaskan perlunya mempunyai eksistensi atau keberadaan baru (populernya:
hidup baru) untuk masuk dalam Kerajaan Allah. Hidup baru bukan tampilannya saja
melainkan terbarukan dalam batin.
Dalam dialog selanjutnya,
Yesus membuat kontras antara lahir dari Roh dan lahir dari daging / fisik.
“Lahir dari daging/fisik” ditempatkan sejajar dengan lahir oleh keinginan
laki-laki. Dengan demikian, lahir dari daging berarti lahir dari bapak dan ibu
manusiawi, semua orang terlahir seperti itu. Ini jugalah yang dipersoalkan oleh
Nikodemus, “Dapatkah ia masuk kembali ke
dalam rahim ibunya dan dilahirkan kembali?” Kelahiran seperti itu bukan
jaminan seseorang masuk dalam Kerajaan Sorga. Yesus menegaskan kembali bahwa
untuk masuk dalam Kerajaan Sorga, orang harus dilahirkan oleh Allah dalam air
dan Roh Kudus. Di sinilah peran Roh Kudus, yakni memungkinkan manusia dapat
“terlahir kembali.”
Seorang manusia yang
baru dilahirkan dari rahim ibunya ia bisa dikatakan manusia baru (νεος, neos), baru nongol di dunia. Tetapi seorang berdosa yang menyadari
kesalahannya, kini ia mengarahkan hidupnya ke jalan yang benar, mengubah tabiat
dan prilakunya. Ia ada di jalan Tuhan. Mungkin tampilan fisiknya tidak berubah
tetapi kini ia disebut manusia kainos (καινος),
manusia baru! Hal ini sangat mungkin terjadi jika manusia itu mau menanggapi
karya Roh Kudus yang bekerja di dalam dirinya. Kelahiran kembali merupakan
anugerah Allah bagi setiap orang yang menyambutnya. Bukan diupayakan oleh
usaha, kesalehan dan kepandaian manusia. Yohanes 3:16, mencatat, “Karena
begitu besarnya kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan
Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak
binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Dari ayat ini jelaslah
bahwa Allah sendiri yang mempunyai prakarsa membuka pintu agar manusia
mengalami kehidupan yang sesungguhnya itu, yakni kehidupan yang kekal. Allah
yang berinisiatif memanggil manusia untuk masuk dalam anugerahnya juga dapat
kita temukan dalam Perjanjian Lama : Allah memanggil Abram (Kejadian 12).
Allah memanggil Abram dan
mengikatnya dengan perjanjian istimewa sama sekali bukan karena Abram itu
lebih saleh dari orang-orang sejamannya. Alkitab mencatat bahwa leluhur Abram
bukan penyembah Allah. Namun, Allah sendiri yang memanggil Abram dan Abram
merespon panggilan itu. Paulus mencatat (Roma 4:3) bahwa Abraham memiliki
hubungan yang baik dengan Allah, bukan karena ia melakukan semua
perintah-perintah hukum, melainkan karena ia menyatakan diri sepenuhnya kepada
janji-janji Allah itulah yang diperhitungkan sebagai sebuah tindakan yang
benar.
Seperti para arkeolog yang
memandang keruntuhan Mesa Verde dengan kesedihan dan kehilangan mendalam. Sama
seperti Abram yang meninggalkan kampung halaman dan segala kemapanan serta
kenyamanannya. Seperti juga Nikodemus dengan segala kehormatannya sebagai pemimpin
Yahudi. Kita pun sangat mungkin punya perasaan “sayang” untuk meninggalkan
hidup lama kita. Namun, percayalah seperti Mesa Verde yang memunculkan ratusan
situs baru setelah dimusnahkan api, seperti Abram yang menjadi Abraham, bapa
orang percaya yang melihat karya Allah dan Nikodemus yang mengenal Kristus.
Mereka semua “melihat” Kerajaan Allah itu. Satu hal yang diminta-Nya dari kita:
berani meninggalkan manusia lama!
Jakarta, 10 Mart 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar