Jumat, 24 Februari 2017

KEMULIAAN TUHAN MEMULIHKAN KEHIDUPAN

Pernahkah Anda merindukan untuk berada di puncak gunung? Berada di puncak gunung bagi sebagian orang merupakan impian, apalagi bisa mencapai puncak gunung tertinggi di dunia. Ada kepuasan dan kebanggaan tersendiri! Jika Anda ingin naik ke puncak gunung, ada dua cara yang dapat ditempuh. Pertama, cara yang dilakukan oleh para pencinta alam. Mereka memersiapkan fisik dan perbekalan. Cara kedua, naik helikopter mengudara di angkasa, lalu turun langsung di puncak gunung. Satu cara tidak lebih baik atau lebih buruk dari cara yang lainnya. Namun, memiliki resiko, makna, dan kegairahan masing-masing.

Apabila Anda memilih cara pertama, Anda tidak membutuhkan biaya yang mahal. Cukup siapkan fisik, tas ransel berisi perbekalan dan perlengkapan standar mendaki gunung. Namun, Anda banyak membutuhkan waktu dan tenaga, juga kesabaran dan ketabahan. Tidak gampang mendaki gunung dengan cara seperti ini. Jangan coba-coba kalau belum pernah berlatih dan tanpa didampingi oleh orang yang telah berpengalaman. Sebab, Anda harus mendaki jalan terjal, rimba dan semak belukar, menanjak, menuruni tanah yang licin, tergores ranting pohon, menyeberangi aliran deras air sungai. Mungkin saja Anda bertemu dengan binatang buas, dan lain sebagainya. Meski demikian, Anda dapat menikmati keindahan alam secara dekat. Anda dapat menyentuhnya. Anda bisa menemukan bunga edelweis yang melegenda, atau merasakan segarnya air sungai. Lalu, ketika Anda berhasil mencapai puncak gunung itu – sudah dapat dipastikan – bukan main puasnya! Berjam- jam atau bahkan berhari-hari perjalanan yang Anda lakukan dengan segala bahaya dan resiko terbayar sudah ketika Anda berada di puncak, menikmati terbitnya mentari dengan pemandangan yang menakjubkan! Kebanggan akan meluap-luap membakar semangat untuk merayakan keberhasilan atas perjuangan tak kenal lelah itu.

Kebalikan cara pertama, naik helikopter tentu lebih mudah. Anda hanya perlu sejumlah uang untuk menyewa jasa helikopter. Duduk manis di samping pilot, Anda juga bisa menikmati keindahan alam dari ketinggian jelajah helikopter. Cara ini cepat dan tidak butuh banyak tenaga. Dalam hitungan menit, Anda sudah bisa sampai di puncak gunung. Cara ini dapat menyingkat waktu dan kelelahan fisik. Namun, tentu saja Anda tidak bisa merasakan kepuasan seperti yang dirasakan oleh para pendaki konvensional.  

Gunung atau tepatnya puncaknya, telah lama menjadi simbol sebuah pencapaian, prestasi, kehormatan dan kemuliaan. “Berada di puncak gunung” mengisyaratkan sebuah kondisi pencapaian kesuksesan dan kedigdayaan. Ada kelompok orang yang ingin mencapainya dengan cara mudah dan singkat. Namun, banyak yang menempuh dengan berpeluh keringat dan air mata.

Yesus pernah membawa tiga murid-Nya ke atas gunung “Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes….ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ mereka sendirian saja.” (Matius 17:1). Enam hari sebelumnya Petrus telah membuat pernyataan, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat.16:16). Yesus membenarkan pernyataan Petrus, “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat.16:17). Dialog Yesus dengan murid-murid-Nya diakhiri dengan pemberitahuan pertama tentang penderitaan Yesus dan syarat-syarat untuk mengikut-Nya.

Yesus hanya membawa serta tiga orang murid-Nya, Petrus, Yakobus dan Yohanes ke sebuah gunung yang tinggi itu. Mengapa hanya tiga orang saja yang diajak Yesus? Bisa jadi, mereka bertigalah “kelompok inti” dari kedua belas murid Yesus. Ketiga murid inilah juga yang diajak Yesus dalam pergumulan di taman Getsemani. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa Yesus menyadari peranan-Nya sebagai Musa “kedua”. Yesus ingat kepada pristiwa Musa yang membawa tiga orang (Harun, Nadab dan Abihu) ke atas gunung Sinai (Kel.24:1). Dalam peristiwa itu Allah menyatakan diri kepada Musa di atas gunung itu. Gunung itu diselimuti awan dan kemuliaan TUHAN diam di atas gunung itu selama enam hari lamanya (Kel. 24:16).

Bukanlah perkara kebetulan kalau peristiwa yang sebentar lagi terjadi pada diri Yesus di atas gunung dengan begitu banyak kemiripan dengan apa yang terjadi pada Musa di gunugn Sinai. Peristiwanya sama-sama di atas gunung, Musa membawa tiga orang, demikian juga Yesus. Musa tinggal dalam kedasyatan kemuliaan TUHAN selama enam hari barulah setelah itu kemuliaan TUHAN tampak sebagai api yang menghanguskan di puncak gunung itu yang terlihat oleh orang Israel. Bukankah demikian juga dengan Yesus: setelah enam hari berselang dari pengakuan Petrus dan peringatan penderitaan serta syarat mengikut Sang Mesias, di situlah juga Yesus menyatakan kemuliaan-Nya. Perjumpaan dengan sabda TUHAN membuat wajah Musa bercahaya. Kali ini Yesus tampil sebagai Musa yang baru, yang membawakan sabda TUHAN di dalam diri-Nya, di dalam kehidupan-Nya.

Di atas gunung itulah terjadi peristiwa dasyat: Yesus berubah rupa di depan mata ketiga murid-Nya. Wajah-Nya bercahaya seperti matahari, dan pakaiannya menjadi putih bagaikan terang cahaya. Lukas mencatat bahwa pakaian-Nya berkilau-kilauan (seperti kilat) dan Markus menulis, bahwa pakaian-Nya menjadi berkilat-kilat (seperti logam kena sinar matahari). Semuanya mempunyai arti yang sama. Pada saat itu, tampil pula dua figur yang sangat dimuliakan dalam Perjanjian Lama: Musa (sebagai orang yang pernah berhadapan langsung dengan Allah dan menerima Hukum Allah) dan yang lain Elia (sosok nabi besar yang mengarahkan Israel untuk kembali kepada TUHAN). Keduanya berbicara dengan Yesus.

Bagi para murid Tak pelak lagi, ini merupakan pengalaman menakjubkan, kemuliaan tiada tara mereka saksikan sendiri. “Tidaklah salah aku menyatakan bahwa Sang Guru adalah Mesias!” begitu mungkin ungkapan hati Petrus, “Maka sekarang, aku tidak boleh menyia-nyiakan momen langka ini. Kemuliaan ini tidak boleh lekas pergi, aku harus membuat tiga tenda untuk mereka!” Alih-alih usulan Petrus direspon, terdengar suara dari langit, “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia!”  Pernyataan ini mengingatkan orang pada peristiwa Yesus dibaptis oleh Yohanes di sungai Yordan (Mat.3:17). Pernyataan ini senada dalam  dua ayat di Perjanjian Lama Mazmur 2:7 di mana Allah berkata kepada Raja Mesias: “Anak-Ku engkau” dan Yesaya 42:1, yang di dalamnya, Allah berbicara tentang Hamba TUHAN yang menderita. Jadi pernyataan suara Langit itu mau mengatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Raja Mesias dan Hamba yang menderita. Suara itu meneguhkan Yesus bahwa benarlah Allah menghendaki penderitaan dan kematian-Nya, dan suara itu pula mengajarkan kepada para murid agar mendengarkan Yesus, baik ketika Yesus dalam kemuliaan-Nya sebagai Mesias dan terlebih ketika Ia berbicara dan menjalani rangkai kesengsaraan-Nya di Yerusalem.

Peristiwa transfigurasi berubahnya  wajah Yesus dalam kemuliaan jelas tidak berdiri sendiri atau sekedar pamer kemuliaan. Ada serangkaian makna yang dapat kita simak. Kemuliaan Yesus sebagai Mesias memberi gambaran dan kekuatan bagi para murid. Bukankah setelah pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Mesias, Ia langsung memberi tahu bahwa diri-Nya harus menjalani serangkaian kisah sengsara, viadolorosa itu? Dan untuk mengalami kemuliaan serupa hanya bisa dicapai dengan kesetiaan dan ketabahan dalam mengikut Yesus. Yesus memperlihatkan “Inilah tubuh kemuliaan itu, kelak akan kalian saksikan sepenuhnya ketika Aku telah menjalani serangkaian kisah sengsara. Itulah tubuh kebangkitan!” Setidaknya, dalam peristiwa transfigurasi para murid “mencicipi” tubuh kemuliaan Yesus itu.

Viadolorosa! Itulah yang ditempuh Yesus dalam menggapai kemuliaan yang sesungguhnya. Ia taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib dan Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan nama di atas segala nama (baca Filipi 2:5-11). Apa yang dilakukan-Nya bukan untuk diri-Nya sendiri. Kemuliaan-Nya berdampak bagi kehidupan penyelamatan umat manusia dari cengkeraman belenggu dosa. Kemuliaan-Nya memulihkan kehidupan. Kita dipanggil dalam arus ini. Hidup bukan hanya untuk memuliakan diri sendiri, melainkan bersama-sama membangun peradaban yang memuliakan semua orang bahkan seluruh ciptaan. Jalan itu tidak mudah, seperti jalan seorang pendaki gunung. Namun, percayalah TUHAN akan memberi kekuatan serta memperlihatkan kemuliaan-Nya.


Jakarta 24, Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar