Kamis, 06 Oktober 2016

IMANMU TELAH MENYELAMATKAN ENGKAU

Gao Xingjian adalah orang China pertama penerima Nobel Sastra pada tahun 2000. Di balik penghargaannya ada pergumulan berat. Namun, prestasinya justeru merupakan aib bagi negaranya. Itulah sebabnya penguasa China memboikot karya-karya sastra Gao. Novelnya, The Other Shore,  dilarang beredar. Ia harus mendekam di kamp pendidikan, tidak boleh menulis apalagi menerbitkan karyanya. Tragisnya justeru sang isteri sendiri yang memata-matai  Gao dan melaporkan karya-karya kritis Gau kepada pemerintah. Ketika terjadi pembantaian Tiananmen 1989, Gao menulis Fugitive yang ditulis di kota perantauannya, Paris. Akibat tulisannya, ia dinyatakan persona non grata oleh Beijing.

Perlakuan sama dialami oleh penerima Nobel Sastra 1970 asal Rusia, Alexander Solzhenitsyn. Gara-gara ketahuan mengirim surat kepada kawannnya yang berisi kritikan terhadap rezim Stalin, ia dibuang ke kamp kerja paksa di Kazakhtan selama delapan tahun. Pada 1962 Solzhenitsyn menulis Odin den iz zhizni Ivana Denisovicha (One Day in the Life of Ivan Dnisovich), yang lahir dari pengalaman pahitnya di kamp itu. Setelah keluar dari kamp Kazakhtan, Solzhenitsyn kedapatan menyelundupkan naskah novelnya, The Gulag Archipelago, yang mengupas habis borok penjara Soviet. Kewarganegaraan Solzhenitsyn pun akhirnya dicopot dan bersama dengan keluarganya ia diusir dari Soviet.

Diusir, diasingkan, tidak boleh lagi bersentuhan dengan teman atau saudara sebangsa tentu menimbulkan bekas mendalam. Bagi Gao Xingjian dan Alexander Solzhenitsyn tentunya mereka sangat menyadari konsekuensi dari perjuangan mereka. Keterasingan merupakan harga yang harus dibayar untuk mengungkap kebenaran. Kita dapat membanyangkan jika seseorang mengalami keterasingan, ia dikucilkan dan dianggap nazis padahal hal itu bukan karena kemauannya sendiri. Sudah pasti beban yang harus dipikulnya berkali lipat!

Menderita kusta pada zaman Perjanjian Lama sampai pada zaman Yesus di sekitar komunitas Yahudi merupakan petaka! Mengapa? Siapa pun yang terkena kusta harus dikucilkan. Jangankan masuk kota Yerusalem, kota-kota atau dusun-dusun kecil pun tidak boleh. Mereka tidak boleh bersentuhan dengan sesamanya yang tidak kusta. Jika ada bangunan tersentuh oleh orang kusta, maka seluruh bangunan itu menjadi nazis. Menyapa atau memberi salam kepada si kusta di tempat umum dianggap melanggar hukum. Kalau ada angin yang bertiup dari arah si penderrita kusta, maka semua orang harus menyingkir sejauh 50 meter. Ketika ada orang lain mendekati si kusta karena ketidak tahuannya, maka wajib bagi si kusta untuk berteriak bagi dirinya sendiri, “nazis, nazis, nazis!” Mereka harus tinggal terasing, jauh dari pemukiman penduduk. Tidak kurang dari 116 ayat dalam Imamat 13 dan 14 berbicara tentang perlakuan terhadap si kusta. Kusta menjadi momok mengerikan, ia bukan sekedar penyakit biasa melainkan “kutukan” sosial bagi si penderitanya.

Di perbatasan Samaria dan Galilea ada sekumpulan orang kusta. Di tengah peradaban umat Allah yang mengucilkan para kusta ke pinggiran perbatasan ini, rupanya mereka dapat bersatu. Perasaan senasib-sepenanggungan memaksa mereka hidup bersama. Bukankah hal ini juga terjadi di mana-mana; solideritas atas penderitaan membuat tidak ada lagi sekat di antara manusia yang merasa senasib. Lihatlah, si Samaria dan orang-orang Yahudi tidak lagi ada pembatas. Jangan harap hal ini bisa terjadi pada kondisi normal.

Ketika Yesus memasuki suatu desa, datanglah sekumpulan orang kusta itu (Lukas 19 :11-19). Dari jauh mereka berteriak, “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Apa artinya ini? Mereka tahu diri, makanya tidak mau mendekat apalagi menyentuh Yesus. Hukum telah membatasi mereka untuk bersentuhan dengan manusia sehat. Namun, penderitaan yang amat sangat memaksa mereka mengabaikan hukum yang ada. Mereka berteriak; mereka menjerit  meminta dikasihani. Mereka telah mendengar tentang kuasa Yesus Sang Penyembuh dan mereka sangat yakin bahwa Sang Guru itu pasti berlimpah dengan bela rasa. Benar, jeritan dan keyakinan mereka tidak sia-sia. Yesus menanggapi mereka, “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Apa pula maksud Yesus ini?

Hanya orang yang mengerti risalah tentang kustalah akan mengerti apa yang dimaksud Yesus ini. Berdasarkan Imamat 14:2-4, hanya para imamlah yang berhak menyatakan seseorang tahir dari kustanya atau tidak. Perhatikan kata kunci “imam” dan “tahir”. Jelaslah bahwa kusta bukan penyakit biasa. Perjanjian Lama selalu menghubungkan kusta dengan dosa dan penghukuman maka peran imam mutlak dibutuhkan. Dengan perintah Yesus supaya mereka pergi dan memperlihatkan kondisi tubuh mereka kepada imam, hal ini menjadi jaminan bahwa mereka akan mengalami pemulihan. Dan benar saja, di tengah perjalanan mereka menjadi tahir!

Apa yang terjadi ketika kesepuluh orang kusta itu telah tahir? Satu orang kembali kepada Yesus. Ia tersungkur dengan suara nyaring ia memuliakan Tuhan! Dan Lukas mencatat bahwa orang itu adalah orang Samaria! Padahal komunitas Yahudi selalu mencibir bahwa orang Samaria hampir sama dengan orang kafir. Mereka tidak memelihara kekudusan dan kemurinian sebagai umat Allah. Namun, ternyata orang ini mempunyai iman kepada Tuhan. Ketika ia memohon kesembuhan kepada Yesus, tentunya mempunyai keyakinan bahwa Yesus punya kuasa untuk memulihkannya. Orang Samaria ini pun yakin bahwa kesembuhan yang kini dirasakannya merupakan karya Allah, maka sepantasnyalah ia kembali dan bersyukur dan memuliakan Allah.

Pada saat yang sama Yesus bertanya tentang Sembilan orang kusta lainnya. Pertanyaan Yesus terasa menggelitik. Seolah sembilan orang kusta yang sudah pulih itu tidak tahu berterimakasih. Mereka hanyut dengan euphoria kesembuhan sehingga lupa untuk memuliakan Tuhan. Bukankah banyak di antara kita yang seperti itu; ketika kita dirundung masalah, kita memohon dan memelas kepada Tuhan. Setelah reda badai topan kehidupan itu, kita segera melupakan tangan kasih Tuhan yang menopang kita.

Namun, bisa juga kita menduga bahwa kesembilan orang kusta yang telah tahir itu sedang mencari imam untuk sebuah legalitas. Mereka ingin para imam memberikan rekomendasi tentang pemulihan itu. Sedangkan si Samaria, tidak harus pergi kepada imam. Bukankah sebagai orang Samaria, ia pasti juga akan ditolak ketika ia memasuki Yerusalem, apalagi masuk dalam Bait Allah untuk bertemu para imam? Legalitas pasti ada gunanya, namun ketika hal itu menjadi tujuan, maka kita bisa melupakan syukur dan terima kasih kepada Tuhan.

Imanmu telah menyelamatkan engkau!” Iman orang Samaria ini sebelum dan sesudah disembuhkan berbeda. Kesembilan orang lain disembuhkan oleh Yesus, tetapi orang Samaria ini disembuhkan sekaligus diselamatkan pula. Sesudah disembuhkan, ia tidak memandang kesembuhan sebagai hal penting sebab di mata para imam di Bait Allah, kesembuhan tidak memulihkan harkat kemanusiaannya sebagai orang Samaria di mata orang Yahudi. Dalam statusnya sebagai orang Samaria dengan sakit kusta yang disandangnya justeru kini ia dapat bersentuhan dengan Sang Juruselamat.

Kondisi pelik, dikucilkan dan dianggap sebagai orang berdosa bukanlah alasan untuk meratapi nasib dan mengutuki diri. Bisa jadi hal ini merupakan pintu masuk kita bersentuhan dan merasakan kasih sayang Sang Mesias. Syaratnya sederhana; memiliki iman! Benar, iman yang kita punya adalah pemberian dari Allah. Namun, Allah juga menghendaki iman yang ditaburkan – walaupun itu sebiji sesawi – haruslah bertumbuh. Jadi, iman yang bagaimana? Iman yang berharap dan mengandalkan Tuhan dan iman yang berterimakasih, bersyukur dan memuliakan Allah. Adakah iman yang demikian tumbuh di hati kita? Jika, “Ya” berbahagialah karena Yesus sendiri menjamin, “Imanmu telah menyelamatkan engkau!”

  Jakarta, 6 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar