Jumat, 07 Oktober 2016

BERIMAN DALAM KONSEP VS BERIMAN DALAM FAKTA

Berbulan-bulan kita disuguhi drama pengadilan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Bak sinetron, episode-episode mulai dari penyelidikan, penyidikan, persidangan-persidangan terus ditayangkan di pelbagai media. Bahkan ada saluran televis swasta nasional yang tidak putus-putusnya menyiarkan acara persidangan secara langsung ditambah mengundang pengamat dan praktisi pengadilan untuk beradu argumen. Mau tak mau emosi para penonton pun terbawa hanyut. Tahap pertama persidangan menghadirkan saksi-saksi, di dalamnya termasuk saksi ahli psikologi, medis, telmatika, kriminolog dan sebagainya yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum. Tentunya kehadiran mereka diharapkan agar dapat meyakinkan hakim untuk dapat menghukum Jessica Kumala Wongso seberat-beratnya. Emosi penonton pun terbawa, mereka mulai yakin bahwa Jessicalah yang bersalah dalam kasus ini.

Bak roda bergulir, ketika pihak terdakwa diberi kesempatan menghadirkan saksi-saksi yang meringankan ditambah saksi-saksi ahli yang seolah menggugat pernyataan ahli-ahli sebelumnya. Kini, publik mulai bertanya, “Apa iya, dia pembunuhnya?” Mulailah masyarakat melihat sisi dan kemungkinan-kemungkinan  lain dari kasus ini. Kesimpulannya, masyarakat dan kita mudah terbawa emosi dan kemudian turut andil untuk memvonis orang yang sedang diadili dengan mengabaikan azas praduga tak bersalah padahal persidangan belum selesai.

Seorang terdakwa pasti akan berusaha mencari jalan agar ada orang yang membela perkaranya. Dalam peradilan yang korup, uang sangat menentukan menang-tidaknya seseorang dalam sebuah perkara. Uang dapat memutarbalikan kebenaran; yang salah bisa benar dan yang benar bisa disalahkan. Oleh karena itu kita sering mendengar uangkapan sinis, “Hukum bagaikan pisau, tajam ke bawah dan tumpul ke atas.” Artinya, untuk orang-orang lemah yang tidak mempunyai uang untuk membayar pengacara ternama jangan harap dapat menang dalam sebuah perkara. Sebaliknya, orang kaya, apalagi berkuasa dapat membeli perkara sekehendak hatinya. Banyak contoh mengenai hal ini.

Seorang janda di sebuah kota sedang berperkara. Sangat mungkin janda ini miskin, karena pada zaman itu janda sudah pasti tidak ada yang memberi nafkah sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari ia harus mengerjakan pekerjaan kasar dengan bayaran paling banter satu dinar sehari. Hanya cukup untuk dua kali makan. Pastinya ia tidak bakalan mampu membayar pengacara yang dapat membelanya di pengadilan. Mungkin sudah banyak usaha yang dia lakukan. Namun akhirnya ia pergi ke hakim yang akan memutus perkarnya. Ia tahu bahwa keputusan akhir itu ada di tangan hakim. Eh, ternyata sang hakim adalah seorang yang lalim. Ia tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorang pun. Maka percuma bagi si janda ini untuk mengetuk pintu hati hakim agar dapat berbela rasa. Nuraninya telah terkunci rapat untuk belaskasihan!

Apakah perempuan janda ini menyerah? Oh, tidak! Ia terus-menerus datang kepada hakim itu sehingga sang hakim merasa terganggu dengan ulah si janda tersebut, “Janda ini menyusahkan aku, baiklah aku membenarkan dia, supaya jangan terus saja ia datang dan akhirnya menyerang aku.” Tampaknya usaha si janda ini berhasil. Hakim itu membelanya bukan karena ia tergerak oleh belas kasihan akan penderitaan si janda yang punya perkara ini melainkan karena ia tidak mau diganggu dan kemudian menjadi stress. Dan ia juga tidak mau dipermalukan di hadapan umum. Kisah ini dipakai Yesus untuk mengajarkan tentang ketekunan dalam berdoa (Lukas 18:1-8). Namun, sayangnya banyak orang menangkap hanya bahwa dengan merengek-rengek akhirnya si hakim berpihak dan membela si janda itu. Jadi kemudian orang menafsirkannya bahwa kita juga harus terus-menerus merengek kepada Tuhan supaya Dia memberikan apa yang kita inginkan. Apakah begitu? Apakah Tuhan Yesus mengajarkan supaya kita pandai merengek? Rasanya bukan begitu!

Dilihat dari sudut perumpamaannya sendiri, yang menjadi pusat perhatian dalam perumpamaan ini adalah si hakim yang lalim itu. Dia digambarkan sebagai seorang yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati manusia. Dia menolong perkara si janda semata-mata karena tidak mau diganggu. Maka ajaran perumpamaan ini harus ditarik dari sikap hakim itu: Jika dia (hakim itu) yang lalim dan tidak punya hati nurani akhirnya mengabulkan permohonan si janda, maka betapa lebihnya Allah! Di lihat dari sudut pandang ini, boleh disimpulkan juga bahwa tujuan perkataan Yesus yang ada dalam Lukas 17:1 dikoreksi dalam ayat-ayat selanjutnya. Intinya adalah bahwa setiap pengikut Yesus hendaklah tetap berdoa, sebab Allah adalah Bapa yang baik (paradox dari hakim yang lalim) pasti akan memberikan apa yang terbaik untuk anak-anak-Nya yang setia dan tekun dalam berdoa.

Yesus tidak bicara tentang doa “non stop” tetapi tentang “selalu/tetap berdoa”, dalam keadaan baik maupun buruk tanpa peduli apakah ada rasa senang atau tidak. Berdoa seharusnya menjadi salah satu ciri pengikut Yesus sampai hari kedatangan Anak Manusia dinyatakan. Jadi doa mestinya lahir dari  iman yang murni, bukan oleh perasaan (mood) atau gejolak hati. Namun, faktanya kita berdoa lebih terdorong oleh gejolak hati kita.

Dalam perumpamaan tentang hakim yang lalim tidak disebutkan apa yang seharusnya dijadikan sebagai pokok doa. Tetapi dari konteks perumpamaan ini mudah diterka bahwa yang harus didoakan ialah apa yang diajarkan Yesus sebelumnya, kedatangan Anak Manusia dan Kerajaan Allah ( Luk.11:2). Ungkapan Yunani me egkakein diterjemahkan dalam pelbagai cara. Terjemahan Baru :tanpa jemu-jemu; BIS :jangan berputus asa; Injil Ende: tanpa melesu. Dari keseluruhan konteks dapat disimpulkan bahwa yang dituju dalam ayat ini ialah mereka yang sudah yakin akan perlunya berdoa, tetapi menderita aniaya atau sengsara yang berkepanjangan, sehingga semangat mereka mulai melemah. Mereka ini seharusnya bersikap seperti si janda itu. Kalau janda itu berhasil, apalagi para pengikut Yesus! Mereka tidak berurusan dengan hakim yang tidak peduli, tetapi dengan Allah yang penuh kasih.

Tema kita ada yang aneh, kalau tidak mau dibilang ganjil “Beriman dalam konsep VS beriman dalam fakta”. Seharusnya baik dalam konsep, maupun fakta sehari-hari, iman tetap sama. Apa yang kita pikirkan (konsep), yang kita ucapkan (wacana) itulah juga yang kita lakukan. Ini namanya integritas iman. Namun, kenyataannya tidak selalu begitu. Hal yang sama seperti cerita perumpamaan Yesus tentang hakim yang lalim itu. Sering kita menangkapnya bahwa yang diajarkan Yesus itu adalah supaya kita merengek.

Konsep yang benar tentang iman akan menolong kita terbuka melihat realita atau fakta yang ada sehingga konsep iman itu akan menjawab fakta realita pelik dalam kehidupan ini. Konsep iman yang diajarkan Yesus lewat perumpamaan ini adalah bahwa realita atau fakta yang sedang dan akan dialami oleh para murid bukanlah kenyataan yang menyenangkan. Sebaliknya, mereka akan berhadapan dengan pelbagai aniaya kesengsaraan dari orang-orang yang membenci Yesus sampai kedatangan Yesus kembali. Untuk menjawab itu, mereka harus senantiasa bergantung kepada Allah. Pemazmur pernah bertanya dan bergumul ketika menghadapi banyak musuh yang menyulitkan hidupnya, “Dari manakah akan datang pertolonganku?....Pertolongnku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi!” (Mazmur 121). Hanya orang yang memiliki persekutuan indah bersama dengan TUHAN akan merasakan pertolongan-Nya. “Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari padanyalah keselamatanku.” Begitu kata pemazmur. Dengan jalan apa kita merasakan persekutuan indah bersama TUHAN? Berdoa dengan tanpa jemu-jemu!

Jakarta, 7 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar