Kamis, 29 September 2016

IMAN DAN LAKU SEDERHANA


Hari ini (29 September 2016) buruh kembali berdemo. Tuntutan kali ini adalah meminta pemerintah mencabut Undang-undang Tax Amnesty, menolak pencalonan Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon Gubernur DKI Jakarta dan yang pastinya tidak ketinggalan adalah menolak upah murah alias menuntut kenaikan / penambahan upah sebesar Rp. 650.000,- alasannya tentu saja bahwa upah yang mereka terima tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup selama satu bulan. 

Ahok menengarai, terkait dengan tuntutan kenaikan upah bukanlah dilatarbelakangi untuk biaya kebutuhan hidup mendasar. Melainkan, untuk membiayai kehidupan mewah mereka. “Itu pendemo lihat saja motornya bagus-bagus…” Katanya. Ahok meyakini bahwa pelbagai subsidi yang diberikan oleh Pemkot DKI seperti penggeratisan naik Transjakarta, Kartu Jakarta Pintar (KJP) untuk keluarga kurang mampu dan BPJS mampu lebih efektif mengurangi biaya kebutuhan dasar warga. “Buat apa nuntut gaji Rp. 5 juta tetapi daya saing produk Anda menurun. Lebih baik gaji Rp 3,5 Juta, tapi biaya hidup Anda Rp. 2,5 juta, dengan demikian Anda bisa menabung Rp. 1 juta per bulan.” Demikian komentar Ahok.

Kebanyakan orang sama seperti buruh yang menuntut upah tinggi. Senang menerima jumlah uang yang cukup besar tetapi tidak menyadari bahwa tuntutannya juga besar bahkan mungkin sekali tidak dapat mengelolanya dengan baik. Sebaliknya, sedikit yang dapat menerima konsep pemikiran Ahok, yakni upah tidak terlalu besar namun, fasilitas dan subsidi dalam pelbagai bentuk diupayakan sebaik mungkin agar pengeluaran tidak terlalu besar dan akibatnya – walau pun mendapat sedikit tetapi masih bisa menyisihkan untuk menabung. Namun sayangnya hal ini tidak dapat dilihat oleh para buruh maka sampai kapan pun mereka akan terus menuntut upah yang tinggi. Mereka hanya melihat tuntutan kebutuhan dan gaya hidup yang memang benar tidak pernah turun – selalu naik.

“Tambahlah upah agar kami dapat memenuhi kebutuhan dan biaya hidup kami!” Simpel, ada kebutuhan, keinginan dan tantangan maka jalan keluarnya harus mengupayakan tambahan uang untuk mengatasinya. Sampai kapan? Entahlah, mungkin sampai manusia tidak lagi mempunyai keinginan. Hal ini lumrah terjadi di dunia propan untuk memenuhi kebutuhan jasmani. Bagaimana dalam kehidupan spiritualitas? Sama simpelnya seperti yang terjadi dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ada tantangan berat, merasa iman yang menopang tidak memadai akhirnya kita meminta kepada Tuhan untuk menambahkan iman. Ya, kita memintanya kepada Tuhan oleh karena iman itu merupakan anugerah dari Tuhan. Masalahnya, iman yang bagaimana dan seperti apa? Apakah seperti tuntutan kenaikan uang yang lebih besar untuk menutup kebutuhan yang besar? Artinya, ada tantangan yang besar di depan mata, lalu kita meminta Tuhan memberikan iman yang lebih besardari tantangan itu sehingga peristiwa spektakuler terjadi. Ada mujizat dari yang tidak mungkin menjadi mungkin! Ataukah, kita dapat memilih alternative lain, yakni dengan keyakinan penuh kepada Tuhan kita mengerjakan hal-hal sederhana?

Tambahkanlah iman kami!” (Lukas 17:5) Itulah yang diminta oleh murid-murid Yesus setelah mereka mendengar peringatan tentang akan adanya penyesat di antara mereka oleh karena itu para pengikutnya supaya menjaga tingkah laku, perbuatan dan juga perketaan mereka agar supaya tidak menjadi batu sandungan dan menyesatkan orang lain. Di samping itu Yesus memberi wejangan bagaimana mereka harus mengampuni orang yang bersalah terhadap mereka.  Mengawali proses pengampunan ada teguran, tentu teguran yang dimaksud bukanlah penghakiman melainkan upaya penyadaran terhadap orang yang telah melakukan kesalahan. Kalau orang itu sungguh-sungguh menyesal maka para murid wajib dan harus mengampuni. Pengampunan yang diberikan tidak sekedar pemanis bibir, “Ya, aku memaafkan kamu!” Melainkan kesediaan mendalam untuk menerima dan mengampuni. Dalam ayat 4, masih ditambahkan bahwa para murid harus bersedia memberi ampun secara tidak terbatas (bilangan “tujuh” adalah lambang kesempurnaan atau totalitas dalam komunitas Yahudi).

Apa yang ada dalam benak para murid ketika mereka mendengar perintah dan wejangan Yesus ini? Jelaslah tampak di depan mata mereka perkara yang tidak mudah bahkan mustahil; menjaga diri dari bahaya penyesatan dan dengan itu pula mereka harus benar-benar hidup kudus agar tidak membuat orang lain tersandung. Lalu kemudian mereka juga harus menerima orang-orang yang telah membuat sulit hidup mereka bukan sekali dua kali; tujuh kali! Ini tantangan iman. Dalam benak mereka, hanya orang-orang dengan iman yang besarlah dapat menjalani perintah ini.

Namun, bagaimanakah Yesus menanggapi permintaan mereka? “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.” (Luk.17:6) Jawaban Yesus sama sekali tidak ada kesan memperbanyak atau memperbesar iman. Jawaban Yesus memakai semacam analogi; iman yang sebesar biji sesawi sudahlah cukup besar untuk mengakibatkan sesuatu yang di luar akal manusia tidak mungkin (seperti memindahkan pohon yang besar dan kuat, dengan banyak akar, ke dalam laut!) Jika dikaitkan dengan ayat 5 yang berbicara tentangan pengampunan, maka kalimat Yesus akan terdengar seperti ini,”Siapa yang sungguh-sungguh percaya kepada Allah – artinya hidup dalam ikatan yang kuat dengan Allah, sehingga Allah menjadi realitas dalam hidup sehari-hari – baginya segala sesuatu menjadi mungkin apa yang dipikirkan orang lain tidak mungkin. Bagi orang lain adalah tidak mungkin mengampuni dan mengasihi orang yang begitu rupa menyulitkan, menyakiti, menghianati kita, apalagi sampai tujuh kali. Namun, menjadi sangat mungkin jika realitas Allah itu hidup dalam hidup kita.

Jawaban Yesus selama ini sering dipahami terbalik; bahwa iman itu – walaupun kecil – dapat melakukan perkara-perkara spektakuler; mujizat ajaib. Padahal, mestinya kita memahami bahwa kalau seseorang dalam kehidupan sehari-hari, hatinya, pikirannya terpaut erat dengan Allah, orang-orang seperti inilah yang kemudian oleh Yesus dalam perumpamaan berikutnya disebut hamba. Hamba bertugas untuk melakukan dengan tekun apa yang diinginkan oleh Tuannya. Jadi, orang yang disebut mempunyai iman adalah mereka yang melakukan hal-hal sederhana. Allah tentu tidak menuntut kita untuk mengerjakan tindakan hebat. Ia hanya meminta kita untuk melakukan sesuatu yang memang harus kita lakukan, bukan karena pamrih, tetapi memang karena kita harus melakukan hal itu.

Iman erat kaitannya dengan perbuatan. Sulit untuk mengatakan bahwa kita beriman tetapi perbuatan kita tidak mendukungnya. Beriman adalah melakukan kebenaran, mengusahakan perdamaian, menyatakan kemurahan hati, terbuka untuk mengampuni kesalahan orang lain. Hal ini dilakukan dalam keseharian hidup kita dan itu dilakukan melalui hal-hal yang sederhana, alamiah dan otentik. Lihatlah di sekeliling kita; apakah mata dan telinga kita sama seperti mata dan telinga Kristus melihat dan mendengar mereka yang tersingkir, berduka, terluka dan menderita? Apakah mulut kita memberikan kekuatan dan menyuarakan suara Kristus? Kaki dan tangan kita mengerjakan apa yang Allah inginkan? Ketika ini kita lakukan maka orang akan melihat keajaiban; sama ajaibnya seperti memindahkan pohon ara atau gunung ke dalam laut! Adakah iman itu di hati kita?

Jakarta, 29 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar