Kamis, 07 Juli 2016

PERGILAH DAN PERBUATLAH DEMIKIAN


Pergilah dan perbuatlah demikian!” (Lukas 10:37) Inilah jawaban pamungkas sekaligus perintah Yesus setelah panjang lebar bersoal-jawab dengan seorang ahli Taurat tentang perbuatan apa yang menghantarkan seseorang untuk memeroleh kehidupan kekal. Apakah ahli Taurat itu benar-benar tidak tahu dan meminta Yesus menunjukkan bagaimana memeroleh hidup kekal itu?  Ternyata tidak! Ia bertanya hanya ingin mencobai Yesus (Luk. 10:25). Sebagai seorang ahli, tentunya ia sangat menguasai resep seseorang untuk menggapai hidup kekal itu. Namun, kepakarannya dalam telaah hukum Taurat tidak otomatis membuatnya ahli menerjemahkan dalam kehidupannya. Rupanya, ada jurang terbentang cukup jauh antara ahli dalam menelaah literatur Taurat dengan ahli atau tepatnya cakap melakukannya. Jawaban Yesus menyajikan jembatan yang menghubungkan jurang itu.

Kita mampir dulu ke sebuah pusat pelatihan berenang. Di sana ada kelas teori tentang cara dan metode berenang. Instruktur mengajarkan tahap demi tahap untuk dapat menguasai suatu gaya dalam berenang. Mulai dari pemanasan, melakukan gerakan kaki, tangan, badan dan bagaimana caranya mengambil nafas ketika berenang. Semua detil dipelajari bahkan tidak ketinggalan video dari atlet-atlet yang pernah menorehkan tinta emas diputar. Tujuannya jelas, peserta pelatihan tidak hanya sekedar bisa berenang tetapi mereka mahir bahkan diharapkan menjadi juara! Teori-teori itu diujikan kepada para peserta. Luar biasa, mereka mendapat nilai di atas rata-rata, bahkan nyaris sempurna! Tibalah saatnya sang pelatih membawa mereka ke kolam renang. Sang pelatih mengingatkan bahwa semua teori yang sudah mereka pelajari harus sungguh-sungguh diterapkan di kolam renang. Apa yang terjadi ketika mereka nyebur ke kolam? Ya, sudah dapat ditebak: nyaris semuanya tenggelam! Teori yang mereka pelajari selama ini, jangankan untuk meluncurkan badan di dalam kolam, untuk bertahan mengambang saja tidaklah cukup!

Teori memang baik dan berguna kalau disertai dengan latihan untuk melakukannya. Rupanya, para ahli Taurat di zaman Yesus sebagian besarnya – ini berarti tidak semua – hanya pandai menelaah, menghafal, berdebat, pendeknya berteori tentang Taurat dan turunan hukumnya ketimbang terbiasa melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Bisa jadi gambaran ini pun terus berlangsung di sepanjang zaman, yakni bahwa orang beragama lebih suka memisahkan antara teori dan praktek; memisahkan syareat dan hakekat serta makrifat. Ingat bukan orang Yahudi saja, kita juga bisa begitu loh!

Sekali lagi perkara yang dibicarakan Yesus dengan ahli Taurat ini adalah tentang hidup kekal. Ahli Taurat bertanya, “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Yesus menjawabnya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” Jawaban ini menandakan bawa Yesus mengetahui bahwa ahli Taurat ini menguasai Taurat. Benar, orang itu menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Yesus membenarkan jawaban itu dan meminta ahli Taurat itu untuk melakukannya. Namun, lagi-lagi karena tujuan dari pertanyaannya bukan untuk meminta jawaban yang sesungguhnya, maka ia ngeles lagi dan bertanya tentang siapa sesama manusia itu. Mengherankan memang, mengapa ahli Taurat ini mempertanyakan siapa sesama manusia itu? Sebab mereka memahami bahwa sesama itu adalah warga sebangsa dan paling banter orang asing yang sudah lama menetap di kawasan Yahudi. Lain dari itu tidak disebut sesama, melainkan orang kafir yang kepada mereka tidak perlu diperlakukan sebagai sasama manusia. Penulis Lukas merasa perlu menampilkan tentang pertanyaan sesama manusia ini, mengingat pertama-tama tulisannya ditujukan kepada Teofilus seorang non Yahudi yang tentunya tidak termasuk sesama manusia menurut ukuran orang Yahudi.

Yesus menggunakan kisah seorang Samaria yang murah hati dalam membangun jembatan kesenjangan antara teori dan sikap yang harus dilakukan sehari-hari. Seorang Samaria dan seorang ahli Taurat, bagaikan bumi dan langit. Begitu kontras!

Yesus memulai ceritanya. Ada seorang yang sedang mengadakan perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Nahas menimpa orang itu. Ia dirampok habis-habisan dan tubuhnya dilukai. Nyaris mati! Ada seorang imam dan kemudian seorang Lewi melihat korban itu, namun mereka tidak melakukan tindakan apa pun terhadap si korban. Bisa jadi mereka mengira bahwa orang yang tergeletak ini tidak lagi bernyawa, menyentuhnya berarti menaziskan mereka. Atau mungkin juga mereka sedang bergegas terburu-buru untuk melayankan ibadah. Kemungkinan lain, mereka tidak mau ambil resiko; buang waktu, tenaga atau uang.

Seorang Samaria, dalam pemahaman Yahudi, mereka adalah kelompok orang berdosa yang tidak memelihara hukum Tuhan. Namun, di luar dugaan justeru orang inilah yang kemudian menolong, membalut luka-luka, menaikan ke keledai tunggangannya sendiri – dengan begitu ia berjalan menuntun keledainya. Sesampainya di sebuah penginapan ia masih memberikan perawatan dan kemudian menitipkan kepada si pemilik penginapan untuk mengurusnya, “Rawatlah dia, dan jika kau belanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.” Katanya.

Di akhir cerita, Yesus bertanya, “Di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Saya dapat membayangkan bagaimana reaksi dan mimik wajah si ahli Taurat ini. Tidak bisa tidak dan tidak ada jawaban lain, kecuali ia menjawab, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Meski ia tidak mau menjawab “orang Samaria”, namun jawabannya itu tetap menunjuk pada orang Samaria itu.

James Brian Smith pernah menulis, “Hidup dalam kerajaan Allah berarti mengasihi orang lain, karena Sang Raja adalah Allah yang mengasihi. Hidup dalam Kerajaan Allah berarti mengampuni orang lain, karena Sang Raja adalah Allah yang mengampuni. Itu berarti, hidup dalam Kerajaan Allah melibatkan keramahan – mengundang dan mengajak orang lain – karena Sang Raja adalah Allah yang ramah.”

Menjadi ramah dan mengasihi orang lain akan membuat kita rentan, dan inilah sebabnya mengapa kita enggan membuka diri melainkan cenderung membatasi sesama itu hanya “kalangan sendiri”. Sejauh saya bersama-sama dengan orang yang saya kenal, yakni mereka yang sama seperti saya, maka saya akan aman. Namun, jika saya memberi diri atau membuka pintu rumah saya bagi orang asing, maka saya akan bertemu dengan hal-hal yang tidak saya sukai. Bagaimana ketika saya menolong orang lain, lalu tindakan kasih saya itu dimanfaatkan? Bagaimana kalau saya menolong orang yang kerampokan dan si perampok masih ada di situ, bukankah saya juga akan dirampok dan disakiti? Mungkin ada benarnya kekuatiran-kekuatiran itu. Namun, sekali lagi kasih itu bukan teori dan bukan untuk diperdebatkan, melainkan: dilatih dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.

Yuk kembali ke kolam renang. Sama seperti intruktur berenang. Ia mengajari teori tetapi juga mewajibkan para siswanya masuk dalam kolam renang. Pertama belajar berenang, saya pun mengalami apa itu tenggelam, minum air. Namun itu tidak menyurutkan untuk terus belajar. Lama-lama tangan, kaki, semua anggota tubuh dapat terlatih dengan baik untuk bisa berenang. Setiap tarikan nafas bisa disesuaikan dengan gerak tubuh hingga bisa meluncur dengan baik. Selanjutnya, pelbagai gaya bisa dipelajari bahkan saya bisa menikmati berenang di laut sambil menikmati keindahan aneka ragam terumbu karang dengan ikan-ikan yang menawan. Bayangkan, kalau dulu saya memilih berhenti berlatih lantaran pernah tenggelam, semua pengalaman keindahan kehidupan air tidak bisa dinikmati.

Berlatih dan berusaha bersungguh-sungguh mengasihi orang lain tentu ada resiko; Anda bisa dimanfaat orang lain atas kebaikan Anda, bisa juga terluka, tersakiti. Namun, jangan berhenti! Lama-lama Anda akan terampil, terbiasa mengasihi dan yang tidak pernah Anda duga akan terlihat: Keindahan cinta kasih yang Anda tebar itu akan berbuahkan hal manis. Dan ini biasanya akan terus berantai, sehingga dunia ini diwarnai oleh cinta kasih, bukan membatasi diri dan hidup dalam kebencian. Sudah ah, saya harus mengakhiri tulisan ini, sebab kalau tidak saya pun terus berteori lagi. Sekarang, “Pergilah dan perbuatlah demikian!”

Jakarta 7 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar