“Pergilah
dan perbuatlah demikian!” (Lukas 10:37) Inilah jawaban pamungkas sekaligus
perintah Yesus setelah panjang lebar bersoal-jawab dengan seorang ahli Taurat
tentang perbuatan apa yang menghantarkan seseorang untuk memeroleh kehidupan
kekal. Apakah ahli Taurat itu benar-benar tidak tahu dan meminta Yesus
menunjukkan bagaimana memeroleh hidup kekal itu? Ternyata tidak! Ia bertanya hanya ingin
mencobai Yesus (Luk. 10:25). Sebagai seorang ahli, tentunya ia sangat menguasai
resep seseorang untuk menggapai hidup kekal itu. Namun, kepakarannya dalam
telaah hukum Taurat tidak otomatis membuatnya ahli menerjemahkan dalam
kehidupannya. Rupanya, ada jurang terbentang cukup jauh antara ahli dalam
menelaah literatur Taurat dengan ahli atau tepatnya cakap melakukannya. Jawaban
Yesus menyajikan jembatan yang menghubungkan jurang itu.
Kita mampir dulu ke sebuah pusat pelatihan berenang. Di sana ada kelas teori tentang cara dan metode berenang. Instruktur mengajarkan
tahap demi tahap untuk dapat menguasai suatu gaya dalam berenang. Mulai dari
pemanasan, melakukan gerakan kaki, tangan, badan dan bagaimana caranya
mengambil nafas ketika berenang. Semua detil dipelajari bahkan tidak
ketinggalan video dari atlet-atlet yang pernah menorehkan tinta emas diputar.
Tujuannya jelas, peserta pelatihan tidak hanya sekedar bisa berenang tetapi
mereka mahir bahkan diharapkan menjadi juara! Teori-teori itu diujikan kepada
para peserta. Luar biasa, mereka mendapat nilai di atas rata-rata, bahkan
nyaris sempurna! Tibalah saatnya sang pelatih membawa mereka ke kolam renang.
Sang pelatih mengingatkan bahwa semua teori yang sudah mereka pelajari harus
sungguh-sungguh diterapkan di kolam renang. Apa yang terjadi ketika mereka nyebur ke kolam? Ya, sudah dapat
ditebak: nyaris semuanya tenggelam! Teori yang mereka pelajari selama ini,
jangankan untuk meluncurkan badan di dalam kolam, untuk bertahan mengambang
saja tidaklah cukup!
Teori memang baik dan berguna kalau disertai
dengan latihan untuk melakukannya. Rupanya, para ahli Taurat di zaman Yesus
sebagian besarnya – ini berarti tidak semua – hanya pandai menelaah, menghafal,
berdebat, pendeknya berteori tentang Taurat dan turunan hukumnya ketimbang
terbiasa melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Bisa jadi gambaran ini pun
terus berlangsung di
sepanjang zaman, yakni bahwa orang beragama lebih suka memisahkan antara teori
dan praktek; memisahkan syareat dan hakekat serta makrifat. Ingat bukan
orang Yahudi saja, kita juga bisa begitu loh!
Sekali lagi perkara yang dibicarakan Yesus dengan
ahli Taurat ini adalah tentang hidup kekal. Ahli Taurat bertanya, “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk
memperoleh hidup yang kekal?” Yesus menjawabnya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?”
Jawaban ini menandakan bawa Yesus mengetahui bahwa ahli Taurat ini menguasai Taurat. Benar, orang itu
menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu
dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri.” Yesus membenarkan jawaban itu dan meminta ahli Taurat itu untuk
melakukannya. Namun, lagi-lagi karena tujuan dari pertanyaannya bukan untuk meminta jawaban yang
sesungguhnya, maka ia ngeles lagi dan bertanya tentang siapa sesama manusia itu. Mengherankan
memang, mengapa ahli Taurat ini mempertanyakan siapa sesama manusia itu? Sebab
mereka memahami bahwa sesama itu adalah warga sebangsa dan paling banter orang
asing yang sudah lama menetap di kawasan Yahudi. Lain dari itu tidak disebut
sesama, melainkan orang kafir yang kepada mereka tidak perlu diperlakukan
sebagai sasama manusia. Penulis Lukas merasa perlu menampilkan tentang
pertanyaan sesama manusia ini, mengingat pertama-tama tulisannya ditujukan
kepada Teofilus seorang non Yahudi yang tentunya tidak termasuk sesama manusia
menurut ukuran orang Yahudi.
Yesus menggunakan kisah seorang Samaria yang murah
hati dalam membangun jembatan kesenjangan antara teori dan sikap yang harus
dilakukan sehari-hari. Seorang
Samaria dan seorang ahli Taurat, bagaikan bumi dan langit. Begitu kontras!
Yesus memulai ceritanya. Ada seorang yang sedang
mengadakan perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Nahas menimpa orang itu. Ia
dirampok habis-habisan dan tubuhnya dilukai. Nyaris mati! Ada seorang imam dan
kemudian seorang Lewi melihat korban itu, namun mereka tidak melakukan tindakan
apa pun terhadap si korban. Bisa jadi mereka mengira bahwa orang yang
tergeletak ini tidak lagi bernyawa, menyentuhnya berarti menaziskan mereka.
Atau mungkin juga mereka sedang bergegas terburu-buru untuk melayankan ibadah.
Kemungkinan lain, mereka tidak
mau ambil resiko; buang waktu, tenaga atau uang.
Seorang Samaria, dalam pemahaman Yahudi, mereka
adalah kelompok orang berdosa yang tidak memelihara hukum Tuhan. Namun, di luar
dugaan justeru orang inilah yang kemudian menolong, membalut luka-luka,
menaikan ke keledai tunggangannya sendiri – dengan begitu ia berjalan menuntun
keledainya. Sesampainya di sebuah penginapan ia masih memberikan perawatan dan
kemudian menitipkan kepada si pemilik penginapan untuk mengurusnya, “Rawatlah dia, dan jika kau belanjakan lebih
dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.” Katanya.
Di akhir cerita, Yesus bertanya, “Di antara ketiga orang ini, menurut
pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun
itu?” Saya dapat membayangkan bagaimana reaksi dan mimik wajah si ahli
Taurat ini. Tidak bisa tidak dan tidak ada jawaban lain, kecuali ia menjawab, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan
kepadanya.” Meski ia tidak mau menjawab “orang Samaria”, namun jawabannya
itu tetap menunjuk pada orang Samaria itu.
James Brian Smith pernah menulis, “Hidup dalam
kerajaan Allah berarti mengasihi orang lain, karena Sang Raja adalah Allah yang
mengasihi. Hidup dalam Kerajaan Allah berarti mengampuni orang lain, karena
Sang Raja adalah Allah yang mengampuni. Itu berarti, hidup dalam Kerajaan Allah
melibatkan keramahan – mengundang dan mengajak orang lain – karena Sang Raja
adalah Allah yang ramah.”
Menjadi ramah dan mengasihi orang lain akan
membuat kita rentan, dan inilah sebabnya mengapa kita enggan membuka
diri melainkan cenderung membatasi
sesama itu hanya “kalangan sendiri”. Sejauh saya bersama-sama dengan orang yang
saya kenal, yakni mereka yang sama seperti saya, maka saya akan aman. Namun,
jika saya memberi diri atau membuka pintu rumah saya bagi orang asing, maka
saya akan bertemu dengan hal-hal yang tidak saya sukai. Bagaimana ketika saya
menolong orang lain, lalu tindakan kasih saya itu dimanfaatkan? Bagaimana kalau
saya menolong orang yang kerampokan dan si perampok masih ada di situ, bukankah
saya juga akan dirampok dan disakiti? Mungkin ada benarnya
kekuatiran-kekuatiran itu. Namun, sekali lagi kasih itu bukan teori dan bukan
untuk diperdebatkan, melainkan: dilatih dan dipraktekan dalam kehidupan
sehari-hari.
Yuk kembali ke kolam renang. Sama seperti intruktur berenang. Ia
mengajari teori tetapi juga mewajibkan para siswanya masuk dalam kolam renang.
Pertama belajar berenang, saya pun mengalami apa itu tenggelam, minum air.
Namun itu tidak menyurutkan untuk terus belajar. Lama-lama tangan, kaki, semua
anggota tubuh dapat terlatih dengan baik untuk bisa berenang. Setiap tarikan
nafas bisa disesuaikan dengan gerak tubuh hingga bisa meluncur dengan baik.
Selanjutnya, pelbagai gaya bisa dipelajari bahkan saya bisa menikmati berenang
di laut sambil menikmati keindahan aneka ragam terumbu karang dengan ikan-ikan yang
menawan. Bayangkan, kalau dulu saya memilih berhenti berlatih lantaran pernah
tenggelam, semua pengalaman keindahan kehidupan air tidak bisa dinikmati.
Berlatih dan berusaha bersungguh-sungguh mengasihi
orang lain tentu ada resiko; Anda bisa dimanfaat orang lain atas kebaikan Anda,
bisa juga terluka, tersakiti. Namun, jangan berhenti! Lama-lama Anda akan
terampil, terbiasa mengasihi dan yang tidak pernah Anda duga akan terlihat:
Keindahan cinta kasih yang Anda tebar itu akan berbuahkan hal manis. Dan ini biasanya
akan terus berantai, sehingga dunia ini diwarnai oleh cinta kasih, bukan
membatasi diri dan hidup dalam kebencian. Sudah ah, saya harus
mengakhiri tulisan ini, sebab kalau tidak saya pun terus berteori lagi. Sekarang,
“Pergilah dan perbuatlah demikian!”
Jakarta 7 Juli 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar