Sebelum
meninggal, seorang petani tua mewariskan tanahnya untuk tiga orang putranya.
Tanah itu dibagi rata menjadi tiga bagian. Setiap anak mendapat satu petak
tanah dengan ukuran yang sama. Tampaknya, si sulung tidak gembira dengan
warisan yang diterimanya. Sebab tradisi di daerah itu mengharuskan warisan itu
sepenuhnya diberikan kepada anak sulung. Akibatnya, hubungan si sulung dengan
kedua adiknya menjadi tidak baik. Mereka bekerja menggarap tanahnya
masing-masing tanpa mau peduli dengan nasib saudaranya.
Ketika si bungsu
sedang menabur benih di petak tanahnya, lewatlah seorang pengembara tua. “Anda
tampak kehausan dan kelaparan,” kata si bungsu. Kemudian ia pergi ke sumur dan
mengambil air untuk pengembara asing itu. Tidak hanya itu, ia juga membuka bekal
makanannya dan memberikan isinya kepada pengembara itu. Sebelum melanjutkan
perjalanannya, orang asing itu mengucapkan terima kasih dan bertanya, “Apa yang
sedang engkau tanam?”
“Gandum, Tuan.” Kata pemuda itu
dengan sopan.
“Maka,” kata
orang asing tersebut, “gandumlah yang akan engkau panen.”
Belum lama
melanjutkan perjalanannya, pengembara itu berjumpa dengan putra kedua yang juga
sedang menyebarkan benih di ladangnya. “Anda kelihatan lelah dan capai,” kata
anak nomor dua ini. “Singgahlah di rumah saya malam ini. Anda perlu beristirahat.”
Pemuda tersebut memperlakukan tamunya dengan penuh perhatian di gubuk sederhananya
yang dia bangun di atas petak tanahnya. Pengembara tua itu dijamu dengan makanan
hangat dan dipersilahkan tidur di tempat tidurnya. Pada pagi harinya, orang
asing itu mengucapkan terima kasih dan bertanya kepada anak nomor dua ini, “Apa
yang engkau tanam?”
“Gandum, Tuan,”
jawab pemuda tersebut.
“Maka,” kata
orang asing tersebut, “Gandumlah yang akan engkau panen!”
Pengembara tua
itu segera pergi. Ketika melewati ladang putra tertua, tidak ada sapa yang
menyambutnya. Si Sulung ini sedang sibuk mencangkuli tanah sambil marah-marah
hingga dia tidak sadar ada orang asing yang sedang lewat. Meskipun begitu,
penggembara tua itu bertanya dengan sopan, “Apa yang engkau tanam, anak muda?”
“Tidakkah kau
lihat, orang tua bodoh,” teriak pemuda yang mudah marah dan ketus ini, “Aku
sedang menabur batu!”
“Maka,” kata
orang asing tersebut dengan pelan dan tenang, “batulah yang akan kaupanen.”
Mudah ditebak,
karena ini sebuah dongeng, akhirnya terjadilah apa yang diucapkan masing-masing
anak petani itu. Si Sulung tidak mendapatkan hasil apa-apa karena ia selalu kecewa,
tidak puas dan mengerjakan segala-sesuatu dengan marah-marah. Semua yang
dikerjakannya gagal total. Sebaliknya, kedua adiknya mengolah tanah, menabur
benih dan merawat tanaman gandumnya dengan sukacita, maka hasilnya melimpah.
Ada pelbagai
sikap orang menyambut tamu. Ada yang ramah, sebaliknya ada juga yang kurang
bersahabat. Abraham dan Sara berbeda dalam menyambut tamu. Tamu itu sebenarnya
TUHAN sendiri (Kejadian 18:1-10). Abraham begitu antusias, ia berlari
menyongsong mereka, lalu sujud menyembah. Tidak hanya itu, ia mengadakan perjamuan
untuk para tamunya itu. Jamuan istimewa, anak lembu yang empuk, roti bundar,
dadih dan susu! Kepada Abraham Sang Tamu itu kembali mengulangi janji Allah
bahwa tahun depan ia dan Sara akan mempunyai anak! Apa reaksi Sara? Sara
tertawa! Tawa bahagiakah? Bukan! Melainkan tawa hambar, mungkin juga kecewa karena Abraham dan Sara
sudah tua. “Akan berahikah aku, setelah aku sudah layu, sedangkan tuanku sudah tua?” demikian
gumam Sara. Atas tindakan Sara, TUHAN menegur bahwa di hadapan TUHAN tidak ada
yang mustahil! Kita pun bisa dan sangat mungkin seperti Sara, bila merasa janji tak kunjung
terwujud dan usia semakin renta kemudian melupakan bahkan menertawakan janji
TUHAN.
Marta dan Maria
juga berbeda dalam menyambut tamu. Yesus, yang
pada waktu itu dalam perjalanan menuju ke Yerusalem
singgah di sebuah desa. Seorang perempuan bernama Marta menerima Dia di rumahnya
(Lukas 10:38). Marta sibuk menyediakan pelbagai hidangan untuk tamu agungnya.
Sedangkan Maria duduk di kaki Yesus mendengarkan ajaran Yesus. Marta menjadi
jengkel dengan sikap adiknya yang tidak membantu dirinya dalam menyediakan
hidangan. Lalu dengan kemarahannya, Marta meminta Yesus untuk menyuruh Maria
membantunya. Di luar dugaan, Yesus mengapresiasi tindakan Maria dan sebaliknya
menyebut Marta sebagai orang yang menyusahkan diri dengan banyak hal.
Di sepanjang
masa kisah ini kisah ini diartikan dengan berbagai cara. Di antaranya, ada dua
tipe manusia Kristen. Pertama,
manusia yang aktif, sibuk ke sana – ke mari dengan mengatasnamakan pelayanan. Kedua, manusia yang menyibukkan diri dengan
kontemplatif yang sibuk dengan sabda dan doa. Ada juga sejumlah ahli yang
berpendapat bahwa Yesus menegur Marta. Sebab, sebagai tamu Ia tidak
mengharapkan dari Marta bermacam-macam hidangan. Cukuplah bila Marta hanya
menyediakan satu hidangan saja. Dengan begitu, Marta masih punya banyak waktu
untuk mendengar ajaran-Nya.
Jika saja Marta
tidak protes dengan cara Maria “melayani” Yesus, maka sudah tentu tidak akan
terjadi polemik mengenai bagaimana seharusnya melayani Yesus. Tidak ada
pertentangan dari pilihan Marta dan Maria dalam melayani Yesus, sebab keduanya saling
melengkapi. Namun, perlu kita melihat dalam konteks kehidupan pada masa itu.
Pelaku-pelaku utama dalam kisah ini adalah perempuan. Jadi, masalahnya bukan
antara laki-laki dan perempuan. Kedua perempuan ini memilih tindakkannya
sendiri untuk menyambut dan berhadapan dengan Yesus, Sang Tamu itu. Marta
memilih melayani dalam bentuk yang pastinya tidak pernah dipersoalkan oleh kaum
Hawa pada umumnya, yakni “menyambut dan melayani Yesus di meja makan”. Setiap
perempuan Yahudi tahu diri dan pasti akan melakukan itu manakala ada tamu yang
berkunjung ke rumahnya.
Namun, Maria
justeru memilih apa yang tidak lazim dilakukan oleh kaumnya, yaitu mendengarkan
sabda Yesus. Ini adalah tindakan seorang murid. Agama Yahudi tidak melarang
perempuan mempelajari Kitab Suci. Namun, rasanya tidak ada seorang rabi pun
yang mau mengajari dan menjadikan perempuan sebagai murid. Yesus dianggap biasa
“menerobos” adat istiadat Yahudi. Ia makan bersama dengan para pendosa dan
menyembuhkan banyak orang yang sama sekati tidak dipedulikan oleh masyarakat,
banyak di antaranya penyembuhan itu dilakukan pada Hari Sabat. Rombongan Yesus
juga terdiri dari sejumlah perempuan, dan beberapa di antaranya juga pasti
bukan perempuan terhormat (Luk.8:1-3). Menurut catatan Lukas, tugas utama
seorang murid Yesus adalah mendengarkan
sabda (Luk. 6:47; 8:13, 15, 21). Maria menunjukkan sikap seorang murid!
Stefan Leks
menengarai bahwa di masa Lukas menyusun Injilnya, sudah timbul permasalahan mengenai peran
perempuan dalam Jemaat Tuhan. Bagaimanakah situasi perempuan pada masa itu?
Mereka tampaknya boleh saja mendengarkan sabda Tuhan tanpa pembatasan. Lidia
menyediakan rumahnya bagi kepentingan pekabaran Injil (Kis. 16:14-dst). Keempat
putri Filipus ternyata berkarya sebagai nabiah (Kis.21:9). Priskila bersama
suaminya menimba pengetahuan teologis pada Apollo (Kis.18:26). Febe melayani
Jemaat di Kengkrea (Roma 16:1). Gereja pada masa awal ternyata terbuka terhadap
keterlibatan perempuan dalam karya kerasulan.
Namun, tetap ada
perdebatan, sejauh manakah perempuan boleh dibiarkan menjadi pemberita sabda
Tuhan juga. Mereka cukup hanya diberi peran sebagai daikon saja, sehingga Lukas
merasa wajib mengemukakan pendapatnya, bahwa menurut Yesus, mereka harus diberi
peran lebih besar. Yang diungkapkan oleh Lukas bukanlah tentang kesamaan hak
antara laki-laki dan perempuan, melainkan kebebasan untuk memilih cara melayani
Jemaat Tuhan. Peranan-peranan dalam Gereja jangan dilihat dari sudut jenis
kelamin atau rasa tau status sosial. Yang dikehendaki Yesus: Jadilah pelayan (Luk.
22:24-27).
Allah dapat
menjumpai kita melalui pelbagai cara. Banyak di antara kita mengabaikan begitu
saja perjumpaan itu. Mengapa? Karena kita tidak menyadarinya. Dengan mengasah
kepekaan diri kita dapat merasakan perjumpaan itu. Perjumpaan-Nya akan selalu
mengajak dan menggugah kita untuk terlibat dalam karya-Nya. Bagaimanakah kita
menanggapinya? Menyambutnya dengan antusias atau mengabaikan dan menolaknya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar