Alvin York adalah
salah seorang tentara yang paling dihormati dalam Perang Dunia I. Atas
aksi-aksinya selama Pertempuran Argonne, York pemuda gunung yang tidak
berpendidikan dari pedalaman Tennessee ini menerima penghargaan medali Distinguished Service Cross, Croix de
Guerre, dan Legion of Honor dari
Perancis dan Croce di Guerra dari
Itali, War Medal dari Motenegro,
serta Medal of Honor, yang merupakan
tanda jasa tertinggi di Amreika Serikat. Pada acara penyematan medalinya,
komandan pasukan Perancis, Marshal Ferdinand Foch, berkata kepada York, “Yang
Anda lakukan adalah perstasi terbesar yang pernah diraih tentara dari angkatan
mana pun di Eropa.”
Apa yang dilakukan
York dalam Perang Dunia I? Sepanjang pertempuran Argonne, saat pasukan Amerika
dari kompinya terdesak oleh berondongan senapan mesin Jerman, tujuh belas
tentara termasuk York diperintahkan untuk menerobos garis pertahanan musuh dan
membuat kekacauan. Para tentara itu langsung menyerbu sebuah kamp berisi lebih
dari dua puluh tentara Jerman yang sedang makan dan meletakkan senjata mereka.
Para tentara Amerika menawan mereka, tetapi pada saat yang sama atas komando
seorang perwira Jerman, senjata-senjata mesin di depan tiba-tiba berputar dan diarahkan
kepada mereka. Dalam hitungan detik, sekitar delan tentara Amerika gugur dan
terluka, termasuk semua bintara. Hal itu membuat York, yang berpangkat kopral,
mengambil komando. Setelah mengambil alih komando, York berhasil menembaki para
tentara yang memegang senjata-senjata mesin. Ia berhasil menguasai medan
pertempuran dan meminta lawan untuk menyerah. Namun, mereka menolak. Dengan
terpaksa ia membunuh tujuh belas tentara dengan tujuh belas tembakan.
Ketika York
kehabisan amunisi senapan, sekelompok tentara Jerman menyerangnya dengan
bayonet. Ia bertahan dengan pistolnya, kemudian menjatuhkan delapan musuh
dengan delapan tembakan. Sesudah itu York dan tentara lainnya menggiring
tawanan mereka ke kamp sekutu, mereka lagi-lagi menawan tentara dan perwira
Jerman. Sekembalinya mereka ke wilayah pasukan sekutu. Kedelapan tentara
Amerika itu membawa 132 tawanan tentara Jereman. Persiapan dan ketenangan
berpikir York dalam pertempuran telah menyelamatkan diri dan pasukannya.
Kunci keberhasilan
misi Alvin York justeru jauh sebelum kontak senjata terjadi. Sebelum perang
tidak ada yang menyangka bahwa York akan menjadi seorang pahlawan. Sepeninggal
ayahnya, York tumbuh menjadi pemuda berandalan; mabuk, judi, berkelahi menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari hidupnya. Tahun 1915, ketika Alvin York
menginjak usia 27 tahun, di situlah titik awal perubahan hidupnya. Pada ibunya,
York berjanji akan mengubah hidupnya. Lalu di musim dingin, dalam sebuah
Kebaktian Kebangunan Rohani, York mengaku percaya dan menyerahkan hidupnya pada
Kristus. Kini, York menjadi pribadi yang sangat berbeda. Ia bekerja keras untuk
menafkahi keluarganya. Ia belajar Alkitab, membantu pembangunan gereja di
kotanya serta menjadi penatua dan pemimpin pujian di sana. Denominasi kecil itu
menentang perang, dan ia pun meyakini pandangan gerejanya itu. Jadi ketika ia
menerima surat pemberitahuan wajib militer pada tahun 1917, ia mengalami dilemma.
Ia mencintai negaranya, dan dulu keluargannya pun ikut berjuang pada masa colonial.
Tetapi juga ia mencintai Tuhan dan ingin menaati perintah-Nya. York menuliskan,
“Anda tahu, keyakinan dan pemahaman saya…memerintahkan
untuk tidak berperang, dan kenangan akan leluhur saya…menyuruh saya mengangkat
senjata dan berjuang…Sungguh menyedihkan ketika kehendak Tuhan dan negara Anda…bertemu
saling bertentangan…Saya ingin menjadi Kristen yang taat sekaligus warga
Amerika yang baik.”
Berbulan-bulan York
bergumul dengan tugas panggilan itu. Akhirnya ia mengambil keputusan. Ketika
tahu bahwa Alkitab mengatakan bahwa diberkatilah orang-orang yang membawa
damai, York bertekad, “Jika kita bisa
menciptakan perdamaian melalui pertempuran, kita adalah orang-orang yang
membawa damai.” Pemahaman itu menyempurnakan persiapannya – tidak hanya
secara fisik dan mental, tetapi juga rohani! (Kisah Alvin York disadur dari (The 17 Essential Qualities of a Team Player
karya John Maxwell).
Pergumulan
dilematis rasanya dialami juga oleh tujuh puluh orang yang diutus Yesus pergi
memberitakan Injil ke pelbagai kota (Lukas 10:1-12). Bayangkan, mereka pasti
punya keluarga, orang-orang dekat yang dicintai dan mencintai mereka. Pasti
juga ada yang menjadi tulang punggung kehidupan keluarga, hasil peras keringat
mereka dinantikan di rumah. Meskipun, medan yang mereka jalani bukan
pertempuran sengit seperti yang dihadapi Alvin York, tetap saja dalam batas-batas
tertentu bukankah mereka juga harus bertaruh nyawa. Medannya seperti apa? Yesus
mengatakan, “Pergilah, sesungguhnya Aku
mengutus kamu seperti anak domba di tengah-tengah serigala.” (ay.3)
Agar fokus pada
tugas panggil, Yesus memberi bekal kepada mereka. Bekal itu bukan mesiu,
senapan, rompi anti peluru, pakaian makanan atau alat navigasi. Justeru Yesus
mengingatkan sebaliknya: bahwa sebagai utusan mereka tidak boleh dipenuhi atau
dibebani dengan hal-hal yang bersifat materi. Yesus berpesan “Janganlah membawa pundi-pundi atau bekal
atau kasut…”(ay.4a). Lalu Yesus mengatakan juga, “Jangan memberi salam kepada siapa pun dalam perjalanan…”(4b). Kedua
larangan ini sepintas tampak aneh. Namun, makna sesungguhnya sangat dalam.
Manusia pada umumnya sangat mementingkan bekal dan komunikasi dengan sesamanya.
Seorang utusan Yesus tidak boleh terperangkap dalam pola mentalitas “punya
bekal” dan “pantai bicara” saja. Dengan tidak memiliki bekal dan tidak
menyalami orang dalam perjalanan, relasi utusan Yesus dengan orang-orang yang
akan ditemui mereka tidak akan dilandasi atau pun diukur transaksional yang
berlaku umum, yakni uang atau kata-kata manis.
Sepanjang
perjalanan, para utusan Yesus tidak boleh menyalami orang. Tetapi, setelah
masuk rumah, mereka memberi apa yang mereka miliki, yakni “syalom”: damai
sejahtera Kerajaan Allah, karunia yang memungkinkan manusia masuk ke dalam Kerajaan
itu. Salam damai itu tidak berbeda dengan pernyataan tentang keselamatan yang
terkandung dalam Kerajaan Allah yang diinagurasikan oleh Yesus.
Sekembalinya dari
medang pertempuran Alvin York di sambut di New York City dengan parade
kehormatan. Ia disanjung, dan menerima sejumlah tawaran menguntungkan. Namun,
kerinduan terbesarnya bukan sebuah sanjungan. Kerinduan terbesarnya adalah
membantu menyekolahkan anak-anak tak berpendidikan di kampungnya. York menulis,
“Saya yakin bahwa pergulatan batin saya
selama berperang bertujuan menyiapkan saya untuk melakukan gerakan seperti ini
di pegunungan. Semua kesengsaraan yang saya rasakan sebelum memutuskan pergi
berperang dan membunuh musuh mengajari saya tentang nilai hidup manusia.”
Pada tahun 1926, ia membantu pendirian York
Agriculture Institute lembaga pendidikan yang hingga kini masih berkarya.
Sekembalinya
ketujuh puluh orang yang diutus Yesus, mereka silih berganti menceritakan kisah
sukses masing-masing. Mereka mengatakan, “Tuhan,
juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu.” (ay.17b). Mengharapkan
penghargaan adalah manusiawi di samping itu bisa juga untuk menjadi penyemangat
dan motivasi bagi yang lain. Namun, sering kali hal itu menyeret kita pada
kesombongan rohani. Mungkin sekali Yesus menjawab, “Engkau telah memperoleh
kemenangan; sekarang kemenangan itu tidak usah dibangga-banggakan, karena sama
seperti penghulu segala malaikat juga pernah membangga-banggakan dirinya dan
sebagai akibatnya, ia dibuang dari sorga.”
Yesus mengingatkan
para murid-Nya terhadap kebanggaan diri dan kecenderungan untuk terlampau yakin
akan diri sendiri. Benar bahwa mereka telah diberi segala kuasa, tetapi
kemuliaan mereka yang paling besar adalah bahwa nama mereka tercatat di sorga.
Hari Minggu ini
bertepatan dengan perayaan Perjamuan Kudus pertengahan tahun. Marilah kita
hayati kembali makna dari “Roti” dan “Anggur” Perjamuan. Apakah itu telah
mendarah daging dalam diri kita, sehingga kasih Kristus itu mengalir dalam diri
ini untuk menjadi bekal dalam tugas perutusan membawa damai sejahtera. Ketika
itu terjadi maka di mana pun berada mestinya kita adalah utusan-utusan syalom Kerajaan Allah. Dan kita tidak
lagi membutuhkan pujian dunia ini sebab hal yang utama sudah diberikan, yakni
nama kita tercatat dalam Kerajaan-Nya.
Jakarta, 1 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar