Jumat, 01 Juli 2016

DARI MEJA PERJAMUAN MENUJU TEMPAT PERUTUSAN

Alvin York adalah salah seorang tentara yang paling dihormati dalam Perang Dunia I. Atas aksi-aksinya selama Pertempuran Argonne, York pemuda gunung yang tidak berpendidikan dari pedalaman Tennessee ini menerima penghargaan medali Distinguished Service Cross, Croix de Guerre, dan Legion of Honor dari Perancis dan Croce di Guerra dari Itali, War Medal dari Motenegro, serta Medal of Honor, yang merupakan tanda jasa tertinggi di Amreika Serikat. Pada acara penyematan medalinya, komandan pasukan Perancis, Marshal Ferdinand Foch, berkata kepada York, “Yang Anda lakukan adalah perstasi terbesar yang pernah diraih tentara dari angkatan mana pun di Eropa.”

Apa yang dilakukan York dalam Perang Dunia I? Sepanjang pertempuran Argonne, saat pasukan Amerika dari kompinya terdesak oleh berondongan senapan mesin Jerman, tujuh belas tentara termasuk York diperintahkan untuk menerobos garis pertahanan musuh dan membuat kekacauan. Para tentara itu langsung menyerbu sebuah kamp berisi lebih dari dua puluh tentara Jerman yang sedang makan dan meletakkan senjata mereka. Para tentara Amerika menawan mereka, tetapi pada saat yang sama atas komando seorang perwira Jerman, senjata-senjata mesin di depan tiba-tiba berputar dan diarahkan kepada mereka. Dalam hitungan detik, sekitar delan tentara Amerika gugur dan terluka, termasuk semua bintara. Hal itu membuat York, yang berpangkat kopral, mengambil komando. Setelah mengambil alih komando, York berhasil menembaki para tentara yang memegang senjata-senjata mesin. Ia berhasil menguasai medan pertempuran dan meminta lawan untuk menyerah. Namun, mereka menolak. Dengan terpaksa ia membunuh tujuh belas tentara dengan tujuh belas tembakan.

Ketika York kehabisan amunisi senapan, sekelompok tentara Jerman menyerangnya dengan bayonet. Ia bertahan dengan pistolnya, kemudian menjatuhkan delapan musuh dengan delapan tembakan. Sesudah itu York dan tentara lainnya menggiring tawanan mereka ke kamp sekutu, mereka lagi-lagi menawan tentara dan perwira Jerman. Sekembalinya mereka ke wilayah pasukan sekutu. Kedelapan tentara Amerika itu membawa 132 tawanan tentara Jereman. Persiapan dan ketenangan berpikir York dalam pertempuran telah menyelamatkan diri dan pasukannya.

Kunci keberhasilan misi Alvin York justeru jauh sebelum kontak senjata terjadi. Sebelum perang tidak ada yang menyangka bahwa York akan menjadi seorang pahlawan. Sepeninggal ayahnya, York tumbuh menjadi pemuda berandalan; mabuk, judi, berkelahi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidupnya. Tahun 1915, ketika Alvin York menginjak usia 27 tahun, di situlah titik awal perubahan hidupnya. Pada ibunya, York berjanji akan mengubah hidupnya. Lalu di musim dingin, dalam sebuah Kebaktian Kebangunan Rohani, York mengaku percaya dan menyerahkan hidupnya pada Kristus. Kini, York menjadi pribadi yang sangat berbeda. Ia bekerja keras untuk menafkahi keluarganya. Ia belajar Alkitab, membantu pembangunan gereja di kotanya serta menjadi penatua dan pemimpin pujian di sana. Denominasi kecil itu menentang perang, dan ia pun meyakini pandangan gerejanya itu. Jadi ketika ia menerima surat pemberitahuan wajib militer pada tahun 1917, ia mengalami dilemma. Ia mencintai negaranya, dan dulu keluargannya pun ikut berjuang pada masa colonial. Tetapi juga ia mencintai Tuhan dan ingin menaati perintah-Nya. York menuliskan,

Anda tahu, keyakinan dan pemahaman saya…memerintahkan untuk tidak berperang, dan kenangan akan leluhur saya…menyuruh saya mengangkat senjata dan berjuang…Sungguh menyedihkan ketika kehendak Tuhan dan negara Anda…bertemu saling bertentangan…Saya ingin menjadi Kristen yang taat sekaligus warga Amerika yang baik.”

Berbulan-bulan York bergumul dengan tugas panggilan itu. Akhirnya ia mengambil keputusan. Ketika tahu bahwa Alkitab mengatakan bahwa diberkatilah orang-orang yang membawa damai, York bertekad, “Jika kita bisa menciptakan perdamaian melalui pertempuran, kita adalah orang-orang yang membawa damai.” Pemahaman itu menyempurnakan persiapannya – tidak hanya secara fisik dan mental, tetapi juga rohani! (Kisah Alvin York disadur dari (The 17 Essential Qualities of a Team Player karya John Maxwell).

Pergumulan dilematis rasanya dialami juga oleh tujuh puluh orang yang diutus Yesus pergi memberitakan Injil ke pelbagai kota (Lukas 10:1-12). Bayangkan, mereka pasti punya keluarga, orang-orang dekat yang dicintai dan mencintai mereka. Pasti juga ada yang menjadi tulang punggung kehidupan keluarga, hasil peras keringat mereka dinantikan di rumah. Meskipun, medan yang mereka jalani bukan pertempuran sengit seperti yang dihadapi Alvin York, tetap saja dalam batas-batas tertentu bukankah mereka juga harus bertaruh nyawa. Medannya seperti apa? Yesus mengatakan, “Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba di tengah-tengah serigala.” (ay.3)

Agar fokus pada tugas panggil, Yesus memberi bekal kepada mereka. Bekal itu bukan mesiu, senapan, rompi anti peluru, pakaian makanan atau alat navigasi. Justeru Yesus mengingatkan sebaliknya: bahwa sebagai utusan mereka tidak boleh dipenuhi atau dibebani dengan hal-hal yang bersifat materi. Yesus berpesan “Janganlah membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut…”(ay.4a). Lalu Yesus mengatakan juga, “Jangan memberi salam kepada siapa pun dalam perjalanan…”(4b). Kedua larangan ini sepintas tampak aneh. Namun, makna sesungguhnya sangat dalam. Manusia pada umumnya sangat mementingkan bekal dan komunikasi dengan sesamanya. Seorang utusan Yesus tidak boleh terperangkap dalam pola mentalitas “punya bekal” dan “pantai bicara” saja. Dengan tidak memiliki bekal dan tidak menyalami orang dalam perjalanan, relasi utusan Yesus dengan orang-orang yang akan ditemui mereka tidak akan dilandasi atau pun diukur transaksional yang berlaku umum, yakni uang atau kata-kata manis.

Sepanjang perjalanan, para utusan Yesus tidak boleh menyalami orang. Tetapi, setelah masuk rumah, mereka memberi apa yang mereka miliki, yakni “syalom”: damai sejahtera Kerajaan Allah, karunia yang memungkinkan manusia masuk ke dalam Kerajaan itu. Salam damai itu tidak berbeda dengan pernyataan tentang keselamatan yang terkandung dalam Kerajaan Allah yang diinagurasikan oleh Yesus.

Sekembalinya dari medang pertempuran Alvin York di sambut di New York City dengan parade kehormatan. Ia disanjung, dan menerima sejumlah tawaran menguntungkan. Namun, kerinduan terbesarnya bukan sebuah sanjungan. Kerinduan terbesarnya adalah membantu menyekolahkan anak-anak tak berpendidikan di kampungnya. York menulis, “Saya yakin bahwa pergulatan batin saya selama berperang bertujuan menyiapkan saya untuk melakukan gerakan seperti ini di pegunungan. Semua kesengsaraan yang saya rasakan sebelum memutuskan pergi berperang dan membunuh musuh mengajari saya tentang nilai hidup manusia.” Pada tahun 1926, ia membantu pendirian York Agriculture Institute lembaga pendidikan yang hingga kini masih berkarya.

Sekembalinya ketujuh puluh orang yang diutus Yesus, mereka silih berganti menceritakan kisah sukses masing-masing. Mereka mengatakan, “Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu.” (ay.17b). Mengharapkan penghargaan adalah manusiawi di samping itu bisa juga untuk menjadi penyemangat dan motivasi bagi yang lain. Namun, sering kali hal itu menyeret kita pada kesombongan rohani. Mungkin sekali Yesus menjawab, “Engkau telah memperoleh kemenangan; sekarang kemenangan itu tidak usah dibangga-banggakan, karena sama seperti penghulu segala malaikat juga pernah membangga-banggakan dirinya dan sebagai akibatnya, ia dibuang dari sorga.”

Yesus mengingatkan para murid-Nya terhadap kebanggaan diri dan kecenderungan untuk terlampau yakin akan diri sendiri. Benar bahwa mereka telah diberi segala kuasa, tetapi kemuliaan mereka yang paling besar adalah bahwa nama mereka tercatat di sorga.

Hari Minggu ini bertepatan dengan perayaan Perjamuan Kudus pertengahan tahun. Marilah kita hayati kembali makna dari “Roti” dan “Anggur” Perjamuan. Apakah itu telah mendarah daging dalam diri kita, sehingga kasih Kristus itu mengalir dalam diri ini untuk menjadi bekal dalam tugas perutusan membawa damai sejahtera. Ketika itu terjadi maka di mana pun berada mestinya kita adalah utusan-utusan syalom Kerajaan Allah. Dan kita tidak lagi membutuhkan pujian dunia ini sebab hal yang utama sudah diberikan, yakni nama kita tercatat dalam Kerajaan-Nya.

Jakarta, 1 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar