Henry David
Thoreau, penulis buku Walden,
berkomentar, “Manusia dilahirkan ke dunia ini bukan untuk mengerjakan semua
hal, tetapi untuk mengerjakan sesuatu.”
Artinya, Anda harus mengenali prioritas-prioritas Anda dan terus-menerus
bekerja berdasarkan hal itu. Prioritas adalah segala sesuatu yang didahulukan
atau diutamakan untuk dikerjakan ketimbang perkara-perkara yang lain. Anda tahu
prioritas, maka yang lain akan menjadi remeh-temeh. Dalam keadaan mendesak,
bencana alam atau kecelakan transpotasi maka yang menjadi prioritas jelas
bukanlah harta benda, tetapi nyawa manusia. Situasi genting dalam waktu yang
terbatas akan tampak jelas mana yang menjadi prioritas seseorang.
Hanya orang yang
menyadari waktu yang diberikan oleh Sang Penguasa adalah terbatas, maka ia akan
memanfaatkannya seefisien mungkin dengan mengerjakan hal-hal yang berarti bagi
kehidupannya. Berulang kali Yesus berbicara dan ditempatkan dalam konteks waktu berkaitan dengan tugas
paggilan-Nya di dunia ini. Salah satunya terekam dalam Lukas 9:51, “Ketika hampir tiba waktunya Yesus diangkat ke surga, Ia mengarahkan pandangan-Nya ke
Yerusalem,..” Saat pengangkatan Yesus, maksudnya bukan hanya mengacu bahwa
sebentar lagi Ia akan mati disalibkan, melainkan seluruh proses peralihan-Nya
dari bumi kepada Bapa di surga. Peralihan itu terjadi melalui kematian, pemakaman,
dan kenaikan Yesus ke surga. Jadi, kisah ini mau menegaskan bahwa Yesus
menyadari tidak lagi banyak waktu tersisa. Tidak ada lagi kompromi dengan waktu
maka Ia harus menyelesaikan seluruh pekerjaan dengan baik.
Dalam kesempatan
yang sangat terbatas itu, Yesus mengarahkan pandangan-Nya ke Yerusalem.
Sebelumnya, Yesus telah dua kali berbicara tentang kesengsaraan yang harus
ditanggung-Nya (Luk. 9:22,44) kini, Ia semakin mantap dan berani untuk menuju
kota itu. Keputusan-Nya sudah bulat setidaknya digambarkan dalam tatapan-Nya ke
Yerusalem. Yesus akan pergi ke kota suci itu untuk mempertanggungjawabkan
seluruh ajaran dan karya-Nya dan sekaligus untuk bertatapan muka dengan
penduduk Yerusalem sebagai nabi yang memeringatkan dan bahkan dengan nada
ancaman (Luk.19:41-46; 21:20-24). Lalu Yesus mengutus beberapa orang
mendahului-Nya.
Tampaknya para
utusan itu masuk ke desa orang Samaria. Namun, ternyata desa itu tidak mau
menerimanya. Kita bisa memahami sejarah panjang yang pahit telah merusak
hubungan Yerusalem-Samaria. Berhadapan dengan penolakan orang-orang Samaria,
Yakobus dan Yohanes teringat akan api dari langit yang dipakai oleh Nabi Elia
untuk meyakinkan Raja Ahazia yang bertakhta di Samaria pula (2 Raja 1:9-12).
Mereka memohon supaya Yesus mengijinkan mereka pula mendatangkan api dari langit, artinya membinasakan para penduduk kampung
yang menolak kedatangan Yesus. Namun, Yesus menegur atau lebih tepatnya
membentak mereka. Yesus tidak mau disamakan dengan Elia yang bertindak keras. Ia
tidak mau mempertobatkan manusia melalui cara menakut-nakuti dengan hukuman.
Kasih kepada para musuh yang diajarkan-Nya, kini Ia praktikan. Yesus menyadari
kehadiran-Nya adalah untuk menyadarkan orang dengan cinta kasih. Ini bukan masa
penghukuman. Hukuman adalah urusan Allah sendiri.
Kisah
selanjutnya, Yesus dan murid-murid-Nya melanjutkan perjalanan. Selama
perjalanan itu mungkin saja Yesus mengajar dan memanggil sejumlah orang untuk
menjadi murid-Nya. Di tengah perjalanan yang mendesak inilah terjadi dialog
bersama tiga orang yang hendak mengikut Yesus. Hal yang menarik dalam ketiga
adegan ini adalah kombinasi ucapan.
Orang pertama : Aku akan mengikut Engkau;
Orang kedua :
Izinkan aku pergi dahulu;
Orang ketiga :
Aku akan mengikut Engkau, tetapi izinkanlah aku pamitan dahulu.
Rupanya orang
pertama sudah begitu tertarik dengan apa yang dilakukan Yesus sehingga tanpa
dipanggil pun ia menyatakan “aku au mengikut
Engkau”. Bagaimana reaksi Yesus? Ia tidak langsung menerimanya. Namun,
memperlihatkan kepada orang itu resiko yang harus ditanggungnya ketika mengikut
Dia. Yesus mengatakan, “Srigala mempunyai
liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat
untuk meletakkan kepala-Nya.” Yesus tidak mengobral janji bahwa orang yang
mengikuti-Nya akan selalu mendapatkan kemakmuran dan kenyamanan. Sebaliknya,
ketiadaan tempat sangat mungkn terjadi terhadap para pengikut Yesus yang setia.
Sama seperti Yesus, mereka tidak akan punya “rumah”, “kota abadi” di dunia ini.
Mereka yang mengikut Yesus dengan sungguh-sungguh, pasti akan ditolak oleh
dunia. Mengikut Yesus berarti bersedia menempuh jalan tidak aman secara
duniawi.
Berbeda dari
orang pertama, yang berikut Yesus memanggil, “Ikutlah Aku!” Orang itu menjawab, “Izinkan aku pergi dahulu menguburkan bapaku.” Betulkah bapaknya
orang ini mati? Mengapa dalam keadaan duka ia masih ada di sekitar Yesus? Atau
mungkinkah itu merupakan alasan yang dibuat-buat? Kita tidak tahu yang
sebenarnya. Namun, walau bagaimana pun jawaban Yesus atas tanggapan orang ini
terasa kasar, “Biarlah orang mati
menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah
di mana-mana.” (9:60).
Jawaban Yesus
sepintas bertentangan dengan moralitas orang Yahudi yang menjunjung tinggi
penghormatan terhadap orang tua. Namun, kita akan mengerti bila memahami ucapan
Yesus ini diletakkan pada skala prioritas. Di awal saya mengatakan bahwa
perjalanan Yesus menuju Yerusalem ini begitu mendesak. Tidak banyak lagi waktu
yang tersisa dan dalam kondisi begini orang di hadapkan pada prioritas mana ia
harus menentukan sikap. Kisah ini menggunakan setting ekstrem, yakni
menguburkan ayah. Jika seseorang memutuskan untuk mengikut Yesus, dan – seperti
Yesus – merelakan diri-Nya seutuhnya bagi Kerajaan Allah, maka segala urusan
dunia ini tidak berarti apa-apa lagi! Urusan yang mahapenting sekalipun seperti
pemakaman ayah tidak boleh mengikat orang yang mau merelakan dirinya bagi
Kerajaan Allah. Sebab merelakan diri bagi Kerajaan Allah itu sama artinya
dengan “pergi memberitakannya” tanpa terhalang oleh urusan keduniawian yang
mahapenting sekalipun. Ini bukan berarti bahwa mereka yang mengikut Yesus harus
memutuskan tali silahturahmi dengan keluarga, utamanya orang tua. Namun, ia
harus menyadari bahwa akibat mengikut Yesus, bisa saja diperhadapkan pada
siatuasi prioritas memilih. Orang yang tidak siap menghadapi situasi seperti
ini mungkin sebaiknya harus berpikir ulang untuk mengikut Yesus.
Cerita beralih
kepada orang ketiga. Orang ini ingin mengikut Yesus tetapi meminta izin untuk
pamitan dahulu kepada keluarganya. “Setiap
orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk
Kerajaan Allah.”Demikian jawab Yesus (ay.62). Sadis! Mungkin kesan pertama
itu ketika kita membaca jawaban Yesus. Bagaimana tidak, kita yang selalu
diajarkan sopan santun dank e mana pun kita pergi mesti pamitan dulu. Nah,
kenapa jawaban Yesus seperti itu? Tidak mengizinkan orang berpamitan. Namun,
marilah kita kembali meletakan jawaban Yesus pada konteks penting dan
mendesaknya Kerajaan Allah itu. Sekali lagi kita bicara skala prioritas.
Jawaban Yesus
ini senada dengan yang sebelumnya, namun lebih luas. Mengikut Yesus searti
dengan memutuskan hubungan dengan masa lampau. Menoleh ke belakang sama artinya dengan ingin memertahankan warisan
nilai-nilai dan pengalaman masa lalu. Bajak
yang dimaksud di sini bukanlah bajak
modern apalagi traktor. Bajak itu ringan dan dipengang dengan satu tangan saja.
Tangan kedua dipakai sebagai sarana pengontrol sapi atau lembu yang menarik
bajak. Pembajak harus kuat dan tanpa hentinya memerhatikan lurusnya alur. Bila
ia menoleh ke belakang, alurnya bisa saja melenceng ke kiri atau ke kanan.
Kondisi seperti ini yang mau diingatkan Yesus, siapa pun yang menyambut
Kerajaan Allah tidak boleh merepotkan diri dengan apa yang sudah
ditinggalkannya. Seperti yang pernah dikatakan Paulus, “Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada
yang di hadapanku,…” (Fil.3:13)
Setiap orang
yang terpanggil mengikut Yesus, mestinya mempunyai sikap yang jelas. Buanglah
jauh-jauh motivasi mengikut Yesus hanya karena ingin menikmati mujizat dan
hidup tanpa masalah karena ujungnya pasti mengecewakan. Kita juga tidak akan
pernah merasakan dan mengalami apa itu Kerajaan Allah tanpa menempatkannya pada
prioritas utama dan bersedia memutuskan ikatan-ikatan duniawi yang paling utama
sekalipun, jika itu menuntut kita membuat keputasan. Tidak mudah. Benar! Menjadi
pengikut Yesus yang sejati tidak pernah mudah. Namun, bukan tidak mungkin.
Tuhan telah memberikan Roh-Nya, jadi barangsiapa hidup menurut Rohm aka ia akan
dimampukan menjadi pengikut Yesus yang setia bahkan menghasilkan buah. Jika
Anda memutuskan menjadi pengikut Yesus yang sejati, percayalah mungkin dunia
tidak memberi timpat nyaman, mungkin juga orang-orang dekatmu tidak lagi
memberi kenyamanan. Tetapi percayalah Anda telah memilih dan memberi prioritas
yang tepat dan benar dalam hidup Anda yang cuma sekali saja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar