James Bryan Smith,
pengarang The Good and Beautiful
Community memulai tulisannya dengan cerita pengalaman masa kecil yang tidak
menyenangkan dalam gerejanya. Ketika ia masih kecil, keluarganya adalah anggota
gereja “main stream” yang dingin, kaku dan tertib. Pendeta seniornya telah
melayani selama dua puluh lima tahun, dan gereja ini lama-lama mencerminkan
kepribadiannya. Pendeta itu adalah seorang akademisi dengan kemampuan retorika
yang kuat namun selera humor yang kering. Beliau sangat menyukai segala sesuatu
yang elegan dan tertata. Selama bertahun-tahun James kecil bertanya-tanya,
mengapa ada sebuah telepon berwarna hijau zaitun di sebelah kursi kayu besar
tempat di mana sang pendeta duduk setiap kali kebaktian. Suatu ketika ada seorang
anak kecil sedang menangis ketika ibadah doa sedang berlangsung, lalu ia
melihat sang pendeta mengangkat telepon tersebut. Dalam hitungan detik, sang
penerima tamu datang dan mengarahkan si anak beserta orang tuanya untuk
berjalan keluar dari ruangan ibadah.
James meneruskan
ceritanya, “Saya belajar sesuatu: anak-anak boleh terlihat tetapi tidak boleh
terdengar!” Rupanya, kejadian itu memberi kesan mendalam baginya. Konsep yang
tertanam dalam pikiran James adalah gereja merupakan sebuah tempat yang penuh
dengan kesunyian. Tidak ada seorang pun yang boleh bicara satu sama lain ketika
ibadah sedang berlangsung. Ia selalu mengingat itu karena kerap kali ia ditegur
oleh petugas gereja. Jemes tumbuh dengan tidak menyukai segala bentuk ibadah
dan kegiatan di gerejanya. Ia semakin jarang ke gereja bahkan sama untuk
sepanjang tahun, kecuali Natal dan Paskah itu pun karena sang ibu memaksanya
untuk datang ke gereja. Pengakuannya mengatakan, “Pengalaman-pengalaman masa
kecil saya telah membentuk konsep saya mengenai Allah. Allah hadir di
tengah-tengah umat-Nya yang rapi dan tertib, berwajah muram, kaku dan sedih.
Saya ingin segera pulang ke rumah, melepas dasi dan lari ke lapangan untuk
bermain baseball bersama teman-teman.
Minggu berikutnya, saya berdoa (ironi sekali) agar ada urusan mendadak supaya
ada alasan untuk kami tidak usah pergi ke gereja!”
“Anak-anak boleh
terlihat tetapi tidak boleh terdengar!” Kalimat ini yang menarik buat saya. Bukankah
semestinya gereja, meminjam istilah Agustinus adalah “ibu dan guru” (Mater et Magistra) “Keselamatan hanya
datang dari Allah, tetapi kita menerima kehidupan iman dari gereja, maka ia
adalah ibu kita. Sebagai ibu kita, maka ia juga adalah pendidik dalam iman…sebagai
seorang ibu yang mengajarkan anak-anak berbicara,…gereja ibu kita, mengajarkan
bahasa iman kepada kita.” Tampaknya, sejajar dengan itu tidak terlalu salah
juga kalau meneruskan bahwa gereja sebagai ibu juga mendekap dan mengajarkan cinta kasih. Bukankah gereja juga seharusnya
mengajarkan dan mengenalkan itu! Mana ada ibu yang tega memisahkan anak
kecil lantaran ia merengek dan mengeluarkan suara bisik. Ibu yang baik akan
mendekapnya dengan penuh cinta!
Sebuah anomali nyata terjadi di mana-mana, manusia sering menyebut bahwa TUHAN adalah Allah
yang merangkul semua ciptaan-Nya dengan dekapan kasih sayang. Namun, yang
terjadi justeru manusia menciptakan sekat dan batas.
“Anak-anak boleh
terlihat tetapi tidak boleh terdengar!” Bukankah kalimat ini sejajar dengan “Orang berdosa
boleh terlihat, tetapi jangan sekali-kali ia masuk dan terlibat dalam komunitas saya!” Ia
boleh hadir hanya sebagai obyek. Ya, kehadirannya hanya berguna untuk
menyatakan bahwa diri saya lebih baik, saleh, suci dari pada si pendosa.
Kehadirannya ada untuk dijadikan obyek dan sasaran doa kita, supaya mereka
bertobat dan menerima Yesus, tidak untuk kita sentuh! Kehadiran si pendosa
dibutuhkan agar keyakinan diri tetap kuat bahwa mereka layak dihukum, masuk neraka dan saya
mendapat bagian sorga. Mereka ada bukan untuk diterima, apalagi dirangkul!
Mungkin itu pandangan orang Farisi, bisa juga kita!
Hanya Injil Lukas
yang bercerita bahwa ada seorang Farisi mengundang Yesus untuk makan
bersama-sama dengan mereka dalam perjamuan. Namun, entah mengapa seorang
perempuan yang tenar sebagai seorang
berdosa (barangkali perempuan sundal) masuk ruangan perjamuan itu, lalu tanpa
malu-malu mengurai rambutnya dan dengan rambutnya yang terurai itu, ia menyeka
kaki Yesus, menciumnya dan kemudian meminyakinya (Lukas 7:37-38).
Bau semerbak minyak
wangi tercium bagai bau busuk dalam pandangan Farisi! Mengapa perjamuan
orang-orang saleh ini harus dinodai dengan kedatangan si sundal pendosa ini?
Mereka terusik dan terganggu. “Jika Ia ini nabi, tentunya Ia tahu siapakah dan
orang apakah perempuan yang menyentuh-Nya ini; tentu Ia tahu bahwa perempuan
itu seorang berdosa,” gumamnya dalam hati (Lukas 7:39). Meskipun, Farisi itu
berguman di dalam hatinya, namun Yesus tahu. Lalu Yesus menegur Simon, si Farisi itu dengan
menyampaikan sebuah perumpamaan. Perumpamaan itu berkisah tentang dua orang
yang berhutang kepada seorang rentenir: yang seorang lima ratus dinar dan yang
lainnya berhutang lima puluh dinar. Kedua-duanya tidak sanggup membayar. Lalu
si rentenir membebaskan hutang kedua orang itu. Di penghujung perumpamaan,
Yesus bertanya siapa yang lebih mengasihi orang yang membebaskan hutang mereka.
Dengan cepat, Simon menjawab, “Orang yang paling banyak dihapuskan hutangnya.”
Dan Yesus membenarkan jawaban itu (Lukas 7:40-43).
Tujuan utama
perumpamaan ini adalah menyadarkan manusia akan dirinya sendiri, maka ucapan
Yesus ini harus diartikan secara tajam, “Anda menilai diri Anda secara tepat!”
Artinya, Orang yang lebih banyak utangnya dihapus, lebih mengasihi orang yang
sedikit saja utangnya dihapus. Berhadapan dengan Allah, manusia tidak bisa
tawar-menawar seperti pedagang Allah membebaskan dari utang, dan ini adalah
sebuah kasih karunia semata Allah memberi dan hanya orang yang merasakan
pemberian-Nya itu dapat menangkapnya sebagai anugerah. Dalam diri orang yang
sadar akan kasih Allah, Allah melakukan keajaiaban dan justeru itulah yang
harus dikagumi. Dan si perempuan sundal inilah yang betul-betul merasakan kasih
karunia yang ajaib itu. Yesus, bagai seorang ibu, merangkulnya. Ia meraih
dirinya dari lumpur dosa. Yesus tidak takut menjadi najis dan hina lantaran
bersentuhan dengannya. Sebaliknya, Simon, si Farisi itu merasa cukup saleh,
akibatnya ia tidak merasakan apa-apa dari kehadiran Yesus. Alih-alih ia
bersyukur dan dapat membagikan kasih sayang, ia membatasi diri bersentuhan
dengan orang najis ini!
Hanya orang berdosa
yang menyadari dosanya lalu mendapatkan pengampuan akan mampu bersyukur kepada
Allah. Daud menyesal telah bezinah dengan Bersyeba dan membunuh Uria. Natan
dikirim TUHAN untuk mengingatkannya. Allah tidak pernah kompromi dengan dosa.
Namun, Ia tetap menunjukkan kasih sayang-Nya. Nabi Natan datang bukan hanya
menyampaiakan berita penghukuman. Namun ia juga menyatakan pengampunan Allah
berlaku juga untuk Daud (2 Samuel 12:13). Mazmur 32 merupakan nyanyian pujian
dari Daud karena dosanya diampuni.
Setiap kita, tanpa
kecuali talah melakukan dosa. Masalahnya, apakah kita merasakan anugerah
pengampunan pengampunan dari Allah itu atau tidak. Ataukah, kita merasa –
dengan amal ibadah – telah cukup membayar dosa-dosa kita?
Hanya orang-orang
yang telah merasakan cinta kasih dan pengampunan dari Allahlah yang mampu
bersyukur dan berbuat apa saja, seperti perempuan sundal itu, sebagai ungkapan
terimakasih. Mereka inilah yang mampu meneruskan cinta kasih Allah kepada
sesamanya. Mereka akan membuka dan mendobrak sekat-sekat yang menghalangi
rahmat Tuhan untuk menggapai orang berdosa yang disisihkan itu. Mestinya,
gereja adalah komunitas yang meneruskan cinta kasih ini, bukan lagi membangun sekat-sekat
yang dulu pernah dirobohkan oleh Kristus. Setiap orang yang telah dirangkul
Kristus akan membuka dirinya untuk Kristus boleh berkarya dalam hidupnya.
Paulus membahasakannya, “namun, aku
hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus sendiri yang
hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah
hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan
diri-Nya untuk aku. “(Gal.2:20). Bayangkan, kalau gereja terdiri dari
orang-orang seperti ini, niscaya gereja benar-benar menjadi “ibu” bagi semua
orang. Ia merangkul semua orang dan mengasihi semua orang. Itulah komunitas cinta kasih, tidak aka nada lagi kisah-kisah ketertolakan…semoga!
Jogja, 9 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar