Kamis, 09 Juni 2016

KOMUNITAS CINTA KASIH


James Bryan Smith, pengarang The Good and Beautiful Community memulai tulisannya dengan cerita pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan dalam gerejanya. Ketika ia masih kecil, keluarganya adalah anggota gereja “main stream” yang dingin, kaku dan tertib. Pendeta seniornya telah melayani selama dua puluh lima tahun, dan gereja ini lama-lama mencerminkan kepribadiannya. Pendeta itu adalah seorang akademisi dengan kemampuan retorika yang kuat namun selera humor yang kering. Beliau sangat menyukai segala sesuatu yang elegan dan tertata. Selama bertahun-tahun James kecil bertanya-tanya, mengapa ada sebuah telepon berwarna hijau zaitun di sebelah kursi kayu besar tempat di mana sang pendeta duduk setiap kali kebaktian. Suatu ketika ada seorang anak kecil sedang menangis ketika ibadah doa sedang berlangsung, lalu ia melihat sang pendeta mengangkat telepon tersebut. Dalam hitungan detik, sang penerima tamu datang dan mengarahkan si anak beserta orang tuanya untuk berjalan keluar dari ruangan ibadah.

James meneruskan ceritanya, “Saya belajar sesuatu: anak-anak boleh terlihat tetapi tidak boleh terdengar!” Rupanya, kejadian itu memberi kesan mendalam baginya. Konsep yang tertanam dalam pikiran James adalah gereja merupakan sebuah tempat yang penuh dengan kesunyian. Tidak ada seorang pun yang boleh bicara satu sama lain ketika ibadah sedang berlangsung. Ia selalu mengingat itu karena kerap kali ia ditegur oleh petugas gereja. Jemes tumbuh dengan tidak menyukai segala bentuk ibadah dan kegiatan di gerejanya. Ia semakin jarang ke gereja bahkan sama untuk sepanjang tahun, kecuali Natal dan Paskah itu pun karena sang ibu memaksanya untuk datang ke gereja. Pengakuannya mengatakan, “Pengalaman-pengalaman masa kecil saya telah membentuk konsep saya mengenai Allah. Allah hadir di tengah-tengah umat-Nya yang rapi dan tertib, berwajah muram, kaku dan sedih. Saya ingin segera pulang ke rumah, melepas dasi dan lari ke lapangan untuk bermain baseball bersama teman-teman. Minggu berikutnya, saya berdoa (ironi sekali) agar ada urusan mendadak supaya ada alasan untuk kami tidak usah pergi ke gereja!”

“Anak-anak boleh terlihat tetapi tidak boleh terdengar!” Kalimat ini yang menarik buat saya. Bukankah semestinya gereja, meminjam istilah Agustinus adalah “ibu dan guru” (Mater et Magistra) “Keselamatan hanya datang dari Allah, tetapi kita menerima kehidupan iman dari gereja, maka ia adalah ibu kita. Sebagai ibu kita, maka ia juga adalah pendidik dalam iman…sebagai seorang ibu yang mengajarkan anak-anak berbicara,…gereja ibu kita, mengajarkan bahasa iman kepada kita.” Tampaknya, sejajar dengan itu tidak terlalu salah juga kalau meneruskan bahwa gereja sebagai ibu juga mendekap dan mengajarkan cinta kasih. Bukankah gereja juga seharusnya mengajarkan dan mengenalkan itu! Mana ada ibu yang tega memisahkan anak kecil lantaran ia merengek dan mengeluarkan suara bisik. Ibu yang baik akan mendekapnya dengan penuh cinta!

Sebuah anomali nyata terjadi di mana-mana, manusia sering menyebut bahwa TUHAN adalah Allah yang merangkul semua ciptaan-Nya dengan dekapan kasih sayang. Namun, yang terjadi justeru manusia menciptakan sekat dan batas.

“Anak-anak boleh terlihat tetapi tidak boleh terdengar!” Bukankah kalimat ini sejajar dengan “Orang berdosa boleh terlihat, tetapi jangan sekali-kali ia masuk dan terlibat dalam komunitas saya!” Ia boleh hadir hanya sebagai obyek. Ya, kehadirannya hanya berguna untuk menyatakan bahwa diri saya lebih baik, saleh, suci dari pada si pendosa. Kehadirannya ada untuk dijadikan obyek dan sasaran doa kita, supaya mereka bertobat dan menerima Yesus, tidak untuk kita sentuh! Kehadiran si pendosa dibutuhkan agar keyakinan diri tetap kuat bahwa mereka layak dihukum, masuk neraka dan saya mendapat bagian sorga. Mereka ada bukan untuk diterima, apalagi dirangkul! Mungkin itu pandangan orang Farisi, bisa juga kita!

Hanya Injil Lukas yang bercerita bahwa ada seorang Farisi mengundang Yesus untuk makan bersama-sama dengan mereka dalam perjamuan. Namun, entah mengapa seorang perempuan yang tenar sebagai  seorang berdosa (barangkali perempuan sundal) masuk ruangan perjamuan itu, lalu tanpa malu-malu mengurai rambutnya dan dengan rambutnya yang terurai itu, ia menyeka kaki Yesus, menciumnya dan kemudian meminyakinya (Lukas 7:37-38). 

Bau semerbak minyak wangi tercium bagai bau busuk dalam pandangan Farisi! Mengapa perjamuan orang-orang saleh ini harus dinodai dengan kedatangan si sundal pendosa ini? Mereka terusik dan terganggu. “Jika Ia ini nabi, tentunya Ia tahu siapakah dan orang apakah perempuan yang menyentuh-Nya ini; tentu Ia tahu bahwa perempuan itu seorang berdosa,” gumamnya dalam hati (Lukas 7:39). Meskipun, Farisi itu berguman di dalam hatinya, namun Yesus tahu. Lalu Yesus  menegur Simon, si Farisi itu dengan menyampaikan sebuah perumpamaan. Perumpamaan itu berkisah tentang dua orang yang berhutang kepada seorang rentenir: yang seorang lima ratus dinar dan yang lainnya berhutang lima puluh dinar. Kedua-duanya tidak sanggup membayar. Lalu si rentenir membebaskan hutang kedua orang itu. Di penghujung perumpamaan, Yesus bertanya siapa yang lebih mengasihi orang yang membebaskan hutang mereka. Dengan cepat, Simon menjawab, “Orang yang paling banyak dihapuskan hutangnya.” Dan Yesus membenarkan jawaban itu (Lukas 7:40-43).

Tujuan utama perumpamaan ini adalah menyadarkan manusia akan dirinya sendiri, maka ucapan Yesus ini harus diartikan secara tajam, “Anda menilai diri Anda secara tepat!” Artinya, Orang yang lebih banyak utangnya dihapus, lebih mengasihi orang yang sedikit saja utangnya dihapus. Berhadapan dengan Allah, manusia tidak bisa tawar-menawar seperti pedagang Allah membebaskan dari utang, dan ini adalah sebuah kasih karunia semata Allah memberi dan hanya orang yang merasakan pemberian-Nya itu dapat menangkapnya sebagai anugerah. Dalam diri orang yang sadar akan kasih Allah, Allah melakukan keajaiaban dan justeru itulah yang harus dikagumi. Dan si perempuan sundal inilah yang betul-betul merasakan kasih karunia yang ajaib itu. Yesus, bagai seorang ibu, merangkulnya. Ia meraih dirinya dari lumpur dosa. Yesus tidak takut menjadi najis dan hina lantaran bersentuhan dengannya. Sebaliknya, Simon, si Farisi itu merasa cukup saleh, akibatnya ia tidak merasakan apa-apa dari kehadiran Yesus. Alih-alih ia bersyukur dan dapat membagikan kasih sayang, ia membatasi diri bersentuhan dengan orang najis ini!

Hanya orang berdosa yang menyadari dosanya lalu mendapatkan pengampuan akan mampu bersyukur kepada Allah. Daud menyesal telah bezinah dengan Bersyeba dan membunuh Uria. Natan dikirim TUHAN untuk mengingatkannya. Allah tidak pernah kompromi dengan dosa. Namun, Ia tetap menunjukkan kasih sayang-Nya. Nabi Natan datang bukan hanya menyampaiakan berita penghukuman. Namun ia juga menyatakan pengampunan Allah berlaku juga untuk Daud (2 Samuel 12:13). Mazmur 32 merupakan nyanyian pujian dari Daud karena dosanya diampuni.

Setiap kita, tanpa kecuali talah melakukan dosa. Masalahnya, apakah kita merasakan anugerah pengampunan pengampunan dari Allah itu atau tidak. Ataukah, kita merasa – dengan amal ibadah – telah cukup membayar dosa-dosa kita?

Hanya orang-orang yang telah merasakan cinta kasih dan pengampunan dari Allahlah yang mampu bersyukur dan berbuat apa saja, seperti perempuan sundal itu, sebagai ungkapan terimakasih. Mereka inilah yang mampu meneruskan cinta kasih Allah kepada sesamanya. Mereka akan membuka dan mendobrak sekat-sekat yang menghalangi rahmat Tuhan untuk menggapai orang berdosa yang disisihkan itu. Mestinya, gereja adalah komunitas yang meneruskan cinta kasih ini, bukan lagi membangun sekat-sekat yang dulu pernah dirobohkan oleh Kristus. Setiap orang yang telah dirangkul Kristus akan membuka dirinya untuk Kristus boleh berkarya dalam hidupnya. Paulus membahasakannya, “namun, aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus sendiri yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. “(Gal.2:20). Bayangkan, kalau gereja terdiri dari orang-orang seperti ini, niscaya gereja benar-benar menjadi “ibu” bagi semua orang. Ia merangkul semua orang dan mengasihi semua orang. Itulah komunitas cinta kasih, tidak aka nada lagi kisah-kisah ketertolakan…semoga!

Jogja, 9 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar