Siapa pun kita,
ketika dirundung masalah dan kesedihan pastinya membutuhkan tidak sekedar
kata-kata penghiburan, tetapi jauh dari itu, yakni teman yang memahami masalah
yang dapat menopangnya agar mampu menghadapi persoalan hidup bahkan
memenangkannya. Sering yang terjadi, baik yang sedang bergelut dengan kesulitan
dan yang bersedia menolong tidak pada sudut pandang yang sama. Alih-alih merasa
ditolong, orang yang bermasalah sering merasa digurui dan dihakimi. Padahal,
bisa saja bahwa orang yang datang untuk menolong benar-benar datang dengan niat
yang baik. Pengalaman Damien yang datang ke komunitas orang kusta di Molokai,
Hawaii untuk memberdayakan dan mengenalkan mereka pada Injil menjadi contoh
betapa tidak mudahnya niat baik dipahami dan diterima.
Damien adalah
seorang padri Katolik asal Belgia. Pada tahun 1873 ia mengunjungi Molokai,
sebuah pulau kecil di kawasan Hawaii. Ia begitu semangat datang ke pemukiman
penderita lepra di Molokai, membayangkan akan mendapat sambutan antusias.
Sesampainya di Molokai, ternyata tak seorang pun yang peduli. Tidak ada seorang
pun penderita kusta datang memasuki kapel untuk mendengarkan khotbahnya.
Setahun berlalu
dalam kesia-siaan hingga tak terasa waktu menyentuh tahun kedua belas. Damien
menyerah! Ia dinafikkan oleh kaum lepra yang begitu tidak peduli dengan kehadirannya, tak
acuh pada misi pelayanannya. Ia pun berkemas untuk segera meninggalkan Molokai.
Saat Damien
menunggu kapal yang akan membawanya meninggalkan Molokai, di dermaga ia
memandangi kedua tangannya. Samar-samar dilihatnya beberapa noda putih lekat di
kedua lengan tangan, ia menyentuhnya. “Oh, Tuhan, tanganku mati rasa. Aku kusta…kusta
telah menjangkitiku!” Damien meratap, segera ia memutuskan untuk kembali ke
pemukiman Molokai sebagai penderita kusta. Keesokan harinya, kebaktian Minggu
pagi membuat Damien terkejut. Kapel dipadati jemaat, kaum lepra Molokai. Ia
berkhotbah dengan penuh kasih. Kini, ia berhasil menjangkau kaum lepra Molokai,
misi yang selama dua belas tahun dirintisnya. Lepra telah menjadi tanda kasih
pengorbanan Damien untuk jemaat Molokai. Setelah dua belas tahun, setelah
Damien dijangkiti lepra, jemaat Molokai baru terbuka hati mereka. (Agus
Santoso, dlm: “A Beautiful Heart”)
Lepra ternyata
merupakan pintu masuk Damien untuk diterima bukan lagi sebagai seorang asing, seorang
yang datang dari kasta lebih tinggi dan lebih sempurna yang akan mengajar dan
menuntun para kusta mengenal kebenaran dalam Kristus. Namun, Damien kini
benar-benar diterima sebagai bagian dari komunitas lepra kepulauan Molokai. Ia
bukan lagi orang asing, kini ia telah menjadi “gue banget” bagi orang Molokai! Kondisi ini membuatnya mengerti
benar kedalaman perasaan dan jiwa si kusta.
Allah mengerti
pergumulan yang dihadapi manusia. Namun, seringkali manusia sulit memahami bahasa
kasih Allah. Kehadiran Yesus Kristus di bumi ini adalah bagian dari cara Allah
menyapa manusia. Dalam bahasa Lukas “Allah yang melawat umat-Nya.” Yesus
memeragakan bagaimana cinta kasih Allah itu dapat dimengerti dalam “bahasa”
manusia. Ia mengajar, memberitakan Injil Kerajaan Allah. Ia juga mempraktikan
apa yang diucapkan-Nya itu melalui segenap hidup-Nya sehingga konsep-konsep
yang abstrak tentang Allah seperti kasih, kebaikan, kepedulian dan belarasa
serta pendamaian dan pengampunan terlihat jelas dalam sosok Yesus. Tidak hanya
berhenti di situ, Ia pun mengerti bahasa air mata dan keputusasaan manusia dan
menyediakan jalan keluarnya! Ya, di dalam Dialah manusia melihat pemenuhan dari
pengharapan hadirnya Sang Mesias! Yesus telah menjawab – bukan sekedar teori
dan dogmatika konseptual – dengan segenap hidup dan karya-Nya sebelum Yohanes
dan murid-muridnya mempertanyakan tentang kemesiasan-Nya (Lukas 7:18-35).
Bila orang-orang
pada zaman itu menjadikan Elia sebagai
standar kualifikasi seorang Mesias, Yesus telah memenuhinya. Elia pernah
berjumpa dengan seorang janda di Sarfat yang kemudian anak pengharapan
satu-satunya dari janda itu meninggal dan, atas kuasa Allah, Elia dapat
membangkitkan anak janda di Sarfat
itu. Kini, di gerbang kota Nain, Yesus berjumpa dengan
bahasa air mata dan keputusasaan yang sama dari seorang janda yang anaknya
telah menjadi mayat dan kini sedang diusung menuju kuburan. Yesus mengerti “bahasa”
ibu janda ini; dalam hal ini tidak hanya anaknya yang mati tetapi si janda ini pun telah “mati” dalam
pengharapan. Anak laki-laki satu-satunya sebagai tumpuan hidupnya, kini telah
tiada. Ia dapat membayangkan bagaimana status “janda” pada masa itu. Tidak aka
nada yang peduli dan menanggung beban hidupnya. Sesungguhnya ia telah mati
ketika masih hidup; kematian pengharapan!
Yesus mengerti
bahasa air mata dan keputusasaan janda itu, hal ini ditunjukkan-Nya melalui belaskasihan (lebih tepat: belarasa)
sehingga Ia berkata, “Jangan menangis!”
(Luk.7:13). Cukupkah hanya kata-kata penghiburan? Oh, ternyata tidak!
Belarasa-Nya ditunjukkan dengan mengabaikan peraturan larangan menyentuh mayat
(Bil.19:16). Yesus rela menjadi nazis selama tujuh hari demi berbelarasa pada
si janda ini. Apakah hanya sampai di sini? Tidak! Yesus memberi kehidupan. Ia
membangkitkan anak muda itu. Kebangkitan itu tidak hanya terjadi pada diri anak
yang sudah meninggal, tetapi juga berdampak pada kembalinya pengharapan dari si
janda di Nain ini.
Ketika orang
menyaksikan peristiwa ini, mau tidak mau ingatan mereka mengembara pada Elia,
sang nabi besar itu. Dulu janda di Sarfat berkata, “Sekarang aku tahu, bahwa engkau abdi Allah dan firman TUHAN yang kau
ucapkan itu benar” (! Raj. 17:24) dan sekarang, orang banyak yang
menyaksikan Yesus membangkitkan anak seorang janda di Nain berkata, “Seorang nabi besar telah muncul di
tengah-tengah kita,” dan “Allah telah melawat umat-Nya” (Lukas 7:16). Jadi
sekali lagi, sebelum Yohanes Pembaptis dan para muridnya mempertanyakan
kemesiasan Yesus, Yesus telah lebih dahulu membuktikannya.
Dalam narasi
Lukas, kehadiran Sang Mesias itu dihubungkan dengan “Allah melawat umat-Nya”.
Kata Yunani untuk melawat “episkeptomai”
mengandung arti tidak hanya sebuah perkunjungan biasa. Dalam Perjanjian Baru,
kata ini muncul 11 kali yang mempunyai makna perkunjungan untuk menunjukkan
kepedulian dan memberika kelegaan. Menjadi jelas kalau kata ini dikaitkan
dengan Yesus sebagai Mesias. Ia datang sebagai bentuk kepedulian Allah kepada
umat-Nya untuk memberikan kepada mereka kelegaan, pengharapan dan
kehidupan.
Janda di Sarfat
dan Janda di Nain dan kemudian Paulus serta murid-murid yang lain telah mengalami
lawatan Allah. Mereka mengalami cinta kasih dan kehidupan yang dipulihkan,
pengharapan bukan sekedar pepesan kosong. Bagaimana dengan kita sekarang?
Apakah lawatan Allah itu juga terjadi dalam pengalaman hidup kita dan itu
sungguh-sungguh nyata bukan sekedar teori atau pepesan kosong? Jika belum,
telisik kembali kehidupan kita. Jangan-jangan kitalah yang terus menutup diri,
mengunci pintu hati kita dan tidak membukanya bagi Sang Pelawat Agung yang
terus-menerus mengetuk pintu itu. Ketika kita bersedia membuka pintu hati kita,
maka akan terlihat jelas, ada begitu banyak rancangan agung yang dirancang-Nya
untuk kehidupan kita. Andaikan, kita telah mengalami lawatan TUHAN, mestinya
kita sama seperti dua janda itu. Menyatakan dan menyaksikan kebenaran dari Sang
Pelawat itu agar orang lain pun mengalami perjumpaan juga dengan Sang Pelawat
Agung itu.
Setiap orang yang telah merasakan dan mengalami
pemulihan dari TUHAN ia akan terpanggil untuk meneruskan tugas dari Mesias itu.
Kita, semua orang yang percaya dan mengalami perjumpaan dengan Kristus
merupakan tubuh Kristus yang hidup pada masa kini. Tubuh Kristus secara fisik,
seperti ketika Ia melintasi Nazaret, Galilea, Yerusalem, Kapernaum dan Nain,
tidak lagi ada di sini. Kini, Ia memercayakan diri memujud dalam diri orang
percaya; gereja! Bagaimanakah sekarang, apakah gereja meneruskan tugas
Perlawatan? Apakah kehadiran gereja mau keluar dari zona nyaman, seperti Yesus
menanggung sengsara, seperti Damien yang kusta, seperti Ibu Teresa, dan masih
banyak lagi yang lain demi meneruskan belarasa Allah bagi manusia yang
nir-pengharapan?
Amin..terima kasih perenungan nya pak Nanang. Smg kita semua dimampukan untuk menjadi saksi shg org lain mengalami perjumpaan dengan Tuhan
BalasHapusAmin..terima kasih perenungan nya pak Nanang. Smg kita semua dimampukan untuk menjadi saksi shg org lain mengalami perjumpaan dengan Tuhan
BalasHapus