Dalam pengajaran-Nya,
Yesus beberapa kali mengapresiasi sikap iman orang yang mendengar dan berharap
kepada-Nya. Salah satunya adalah perwira yang bertugas di Kapernaum. Mengenai
perwira ini, Yesus berkata, “Aku berkata
kepadamu, iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai, sekalipun di antara orang
Israel!” (Lukas 7:9b). Tentu ada alasan di balik apresiasi Yesus ini.
Perwira itu (bahasa Latin: Centurio)
adalah komandan militer di Kapernaum. Keberadaannya di sana sebagai kepala
pasukan seratus orang. Perwira ini jelas bukan orang Yahudi dan bukan pula proselit (orang non Yahudi yang menganut
keyakinan Yahudi). Namun, ia memiliki kepedulian luar biasa terhadap budaknya
sebagai sesama manusia. Ia mengasihi hambanya ini dan demi menolongnya, ia mau
melakukan apa saja asalkan hambanya tetap hidup. Padahal dalam hukum Romawi,
hamba disejajarkan dengan aset yang hidup. Ia tidak punya hak sama sekali.
Seorang tuan dapat memperlakukan para budak dengan semaunya bahkan kapan pun
sang tuan menghendaki, para budak dapat dibunuh dengan alasan sudah tidak lagi
produktif. Maka sikap perwira ini terhadap hambanya merupakan sikap yang langka
dan mau tidak mau kita akan mengatakan: luar biasa!
Bukankah pada
saat ini jarang sekali ada seorang atasan atau boss yang sangat peduli dengan
nasib anak buahnya. Kebanyakan menyamakannya dengan asset. Mereka dihargai dan
diberi imbalan selama mempunyai kinerja dan produktifitas yang tinggi. Namun,
ketika para pekerja itu sakit-sakitan, mulai tua dan tidak lagi produktif maka
mulailah ada upaya-upaya penyingkiran. Perwira Kapernaum ini menjadi luar biasa
oleh karena ia melawan arus. Tidak segan-segan membela dan berusaha agar
hambanya kembali sehat, sekalipun harus mempertaruhkan jabatan dan
kehormatannya sebagai perwira.
Perwira ini
hidup di lingkungan orang-orang Yahudi yang berpedoman pada kultus dan kesucian
Bait Allah sehingga dari sanalah sisitem kesalehan dan kesucian ditata.
Akibatnya, orang di luar Yahudi ditempatkan berada di luar anugerah TUHAN.
Mereka disebut “kafir” dan orang-orang Yahudi yang merasa sebagai bangsa
pilihan cenderung meremehkan orang-orang kafir ini. Strata sosial Yahudi
membuat peraturan bahwa mereka tidak boleh bergaul dengan orang-orang yang
disebut kafir. Sebaliknya, mereka yang dipandang kafir tentu tidak suka.
Orang-orang Romawi bahkan menyebut orang Yahudi sebagai ras yang najis.
Tidaklah mengherankan kalau dalam kondisi seperti ini kerap terjadi gesekan,
permusuhan bahkan konflik terbuka. Meskipun demikian, perwira yang hambanya
sedang sakit ini berbeda. Ia mempunyai sikap yang sangat luar biasa. Bayangkan,
bisa saja ia telah menerima banyak perlakuan dan sikap yang tidak menyenangkan
dari kalangan orang Yahudi; dengan kuasa serta kedudukannya sangat memungkinkan
baginya untuk memperlakukan orang Yahudi dengan kekerasan. Alih-alih melakukan
hal itu, perwira ini justeru memperlakukan orang-orang Yahudi dengan tindakan
penuh kasih. “…sebab ia mengasihi bangsa
kita dan dialah yang menanggung pembangunan rumah ibadat kami.” (Luk.7:5)
sehingga tidak mengherankan kalau ia mempunyai teman dan sahabat dari kalangan
orang Yahudi.
Bukankah biasa
terjadi ketika kita dilecehkan, dianggap kafir, kita lebih suka memilih untuk
membenci orang-orang yang memberi label itu? Kita lebih memilih untuk
memusuhinya ketimbang mengupayakan untuk peduli apalagi berteman dan menjadikan
mereka sahabat. Bukankah lebih nyaman bersahabat dengan orang-orang dari “kalangan”
sendiri dari pada dengan mereka yang telah membangun stigma negative tentang
kita?
Kerendahan hati
mau tidak mau terpancar dari sikap dan tutur kata perwira ini. Ia sangat
memahami bahwa orang Yahudi tidak diperbolehkan memasuki rumah orang kafir,
demikian pula sebaliknya mereka tidak mengizinkan seorang kafir masuk ke dalam
rumah orang Yahudi atau berkomunikasi dengan mereka. Dengan kenyataan itu, ia
menyadari bahwa dirinya tidak layak untuk datang berbicara langsung kepada
Yesus maka ia meminta teman-teman Yahudinya untuk menyampaikan permohonannya
kepada Yesus. Bayangkan, seorang perwira yang mempunyai kedudukan tinggi di
Kapernaum, terbiasa memerintah anak buahnya, begitu disegani dan penuh kuasa,
sekarang menjadi seorang pemohon. Dan apa yang dimohonkannya itu bukan untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk hambanya. Luar biasa!
Sampai di sini, kita
memerhatikan beberapa sikap dari perwira Kapernaum ini. Memang berbeda dari
kebanyakan orang. Sikap yang luar biasa ini disejajarkan oleh Yesus sebagai “iman
yang besar”, yang tidak ada bandingnya sekalipun di kalangan Israel. Jadi,
perkara iman bukanlah semata-mata orang mengenal dan melakukan ritual syareat
agama. Sebab bisa saja seseorang tahu dan mengerti serta sering melakukan
pelbagai pokok-pokok kesalehan hidup, namun ia tidak mempunyai kepekaan belas kasih
terhadap sesamanya. Perwira ini sesungguhnya adalah orang yang memahami esensi atau
“roh” dari kaidah agama itu, yakni berbelarasa terhadap penderitaan sesama
dalam hal ini hambanya.
Hal yang tidak
kalah menarik dari perwira Kapernaum ini adalah keyakinannya yang begitu besar
kepada Yesus bahwa Dia dapat memenuhi permohonannya. Perwira itu datang dengan
keyakinan sempurna dan ia berkata, “…katakana
saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh” (Luk.7:7b). Apa yang
membuat perwira Kapernaum ini begitu yakin terhadap Yesus? Bisa saja keyakinan
sang perwira ini berangkat dari kabar berita di kalangan orang-orang Yahudi yang pernah
menyaksikan Yesus melakukan pelbagai mujizat dan kini ia ingin membuktikannya.
Kalau dugaan ini benar, berarti ia sama saja dengan kebanyakan orang lain yang
percaya kepada Yesus karena melihat dan merasakan mujizat-Nya. Bukankah orang
banyak selama ini berbondong-bondong mengikut Yesus oleh karena Yesus dapat
menyembuhkan orang lumpuh, kusta, buta, tuli? Bukankah Ia dapat mengusir setan
dan memberi makan beribu-ribu orang hanya dengan lima roti dan dua ikan? Tidak ada
yang istimewa jika sang perwira percaya kepada Yesus hanya karena ia sudah
melihat bukti terlebih dahulu, semua orang begitu. Dan kalau dia seperti itu,
maka tidak ada gunanya Yesus menyebutnya sebagai orang yang punya iman besar.
Justeru Yesus
menghargai sikap perwira ini karena ia berbeda dari kebanyakan orang.
Kebanyakan orang mencari bukti terlebih
dahulu baru kemudian percaya. Namun, perwira ini mengatakan, “katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu
akan sembuh!” Bukankah ini merupakan pernyataan iman yang luar biasa. Ia
yakin sepenuhnya, tanpa keraguan sedikit pun bahwa Yesus sanggup menyembuhkan
hambanya. Dan ternyata benar, apa yang dipikirkannya menjadi kenyataan. Tidak hanya
hambanya menjadi sembuh bahkan dirinya dipakai sebagai contoh orang yang
memiliki iman yang luar biasa.
Bagaimanakah
dengan sikap iman kita? Apakah selama ini kita sedang sibuk mencari bukti-bukti
tentang kuasa dan mujizat Tuhan, dan baru setelah itu kita percaya? JIka ini
yang sedang terjadi maka kita sama dengan kebanyakan orang dan biasanya
seberapa banyak pun bukti yang sudah kita kumpulkan tetap tidak akan pernah
memuaskan kita. Namun, sebaliknya ketika kita sungguh-sungguh percaya maka
bukti-bukti tentang kasih, kuasa, kebesaran Tuhan akan kita lihat bertebaran di
mana-mana sehingga kalau kita diminta menghitungnya, tidak akan sanggup
menghitung bukti-bukti itu. Bahkan, kita akan dapat merasakan bahwa setiap
tarikan nafas kita adalah bukti akan
cinta kasih dan kekuasan-Nya bagi kita. Percayalah dengan segenap hatimu, maka
engkau akan melihat buktinya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar