Ada saatnya
Yesus tidak lagi bersama dengan para murid. Ia telah menyelesaikan mandate Bapa
dan kini, harus kembali kepada Sang Bapa. Namun, para murid harus melanjutkan
apa yang sudah Yesus kerjakan bersama-sama dengan mereka. Yesus tahu pekerjaan
itu tidak mudah malah cenderung sulit dan mustahil. Oleh karenanya, Ia meminta
kepada Bapa seorang Penolong lain yang akan menolong para murid dalam
perjalanan mereka di dunia setelah perpisahan itu. Penolong itu akan datang
sebagai utusan Bapa dengan peran utmanya: Mengajarkan dan mengingatkan segala
sesuatu kepada para murid akan apa yang telah mereka terima dari Yesus dan
menolong mereka untuk berani menjadi saksi iman. Peran yang dilakukan oleh Sang
Penolong ini adalah kesinambungan dari peran yang selama ini dikerjakan oleh
Yesus sendiri. Roh Kudus menjadi cara kehadiran yang baru dari Yesus bagi para
murid. Penolong itu adalah Sang Penghibur yang tidak lain dari Roh Kebenaran
atau Roh Kudus. Ialah yang meneguhkan para murid untuk menghadapi pelbagai
tantangan dan kesulitan iman agar mereka berjalan dalam kebenaran, bertahan
dalam kesaksian mereka tentang Yesus Kristus walau menyakitkan, bertahan dalam
pertentangan mereka dengan dunia ini. Roh itu jugalah yang melengkapi mereka
kelak dengan pelbagai karnuia untuk tugas kesaksian.
Janji Yesus
segera digenapi tidak lama setelah kenaikan-Nya ke sorga. Tepat ketika perayaan
Pentakosta di mana setiap orang Yahudi dalam radius 20 mil wajib berkumpul dan
merayakan pemberian Taurat kepada Musa di Gunung Sinai dan sekaligus juga
perayaan pengucapan syukur atas berkat Tuhan melalui hujan dan kesuburan tanah
sehingga mereka dapat memetik hasil panen.
Roh Kudus turun ke atas para murid. Dampaknya, mereka mampu berbicara
dalam pelbagai bahasa kepada orang-orang yang datang dari pelbagai penjuru
untuk menghadiri perayaan itu (Kisah Para Rasul 2 :1-21). Sehingga bahasa tidak
lagi menjadi hambatan untuk mereka mendengar Injil. Selanjutnya, sejarah gereja
mulai bergulir. Roh Kudus memimpin para murid dan juga orang-orang yang telah
menjadi percaya karena kesaksian para murid itu untuk terus menyaksikan Injil
Tuhan. Benar, ada banyak kesaksian mujizat yang menyertai pelayanan para murid.
Namun, ada banyak juga kesaksian sederhana tentang hidup keseharian mereka yang
mau membuka diri, peduli pada penderitaan sesamanya. Kesaksian para murid ini
begitu efektif dan pertumbuhan orang percaya begitu pesati. Kuncinya sederhana,
selain Roh Kudus yang mendukung pelayanan mereka, yang tidak kalah penting
adalah bahwa mereka mau dipimpin oleh Roh Kudus.
“Semua orang yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.” Begitu kata Paulus dalam Roma 8:14.
“Dipimpin Roh Allah”
apa maksudnya? Apakah itu berarti, Roh Allah itu menguasai manusia sepenuhnya
sehingga manusia itu bagaikan “robot” (pasif) yang menuruti saja apa yang
dimaui oleh Roh itu? Atau, apakah manusia yang aktif dan seolah-olah mengatur
agar Roh Allah itu mau bekerja di dalam dirinya dengan memberikan pelbagai
karunia agar mampu melakukan tugas kesaksian? Atau adakah pemahamnan lain di
antara peran manusia yang “pasif” dan “aktif” itu?
“Dipimpin” (agontai), bentuk kata kerja pasif ini
ini dapat berarti diartikan secara medial,
jadi manusia itu bukan benar-benar pasif seperti robot yang digerakan oleh
program dan sumber energy. Atau manusia itu yang aktif mengatur Roh Allah
supaya memberikan pelbagai mujizat. Bukan begitu! Kata kerja medial ini berada di tengah-tengah
antara pasif dan aktif. Oleh karenanya dapat diartikan “membiarkan diri untuk dipimpin” (bnd. 1 Kor.11:6; Gal.5:12). Maka,
yang diutamakan di sini bukan karunia-karunia sesaat spektakuler yang membuat banyak orang
terheran-heran, melainkan bimbingan Roh dalam kehidupan sehari-hari agar
manusia yang dipimpin-Nya mampu hidup seperti yang dicontohkan Kristus. Roh itu
memimpin manusia agar dapat “mematikan perbuatan-perbuatan tubuh atau nafsu
kedagingan”. Perhatikan, bukan Roh itu yang mematikan nafsu kedagingan sehingga
manusia hanya menjadi penonton. Pasif! Melainkan manusialah yang menghadapinya
dengan kekuatan dari Roh yang memimpin itu.
Kalau seseorang
membiarkan diri dipimpin oleh Roh Allah, maka Roh itulah yang merupakan pusat
kegiatan di dalam diri orang itu. Peran Roh tidak meniadakan atau menggantikan
kegiatan manusia melainkan mencetuskan dan memotivasi kegiatan kita. Itulah yang
disebut “membiarkan diri dipimpin oleh Roh Allah.
Pimpinan Roh
Allah itu membuat manusia menjadi “anak Allah”. Ya, sudah barang tentu “anak”
yang dimaksudkan di sini bukanlah anak biologis. Dalam Alkitab hakikat hubungan
anak-ayah ialah bahwa sifat dan tabiat anak ditentukan, dibentuk oleh sifat dan
tabiat ayahnya. Menjadi anak seseorang itu berarti: menjadi serupa, memakai
ciri-ciri yang sama. Selain itu, antara anak dengan bapaknya terdapat hubungan
yang sangat akrab, khusus dan pastinya berbeda dengan hubungan yang lain.
Mereka sehati-sepikir, seiya-sekata. Seperti apa yang Yesus katakana dalam
Yohanes 14:10, “Tidak percayakah engkau,
bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam AKu? Apa yang Kukatakan kepadamu
tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku,
Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.”.
Selanjutnya,
tradisi Yudaisme memahami bahwa anak itu bekerja sama dengan bapaknya, kehendak
bapak merupakan pedoman bagi kegiatannya. Seorang anak yang baik, pasti
mempunyai dorongan batin yang menyebabkan dia tidak bisa tidak bertindak sesuai
dengan kemauan bapaknya. Di pihak lain, bapak mengasihi anaknya, membuka
pikiran serta rencananyya kepada anak itu, berusaha memenuhi keinginan wajar
dari sang anak, dan menjadikannya anak itu sebagai ahli waris dari segala yang
ia punya. Manusia yang membiarkan dirinya dipimpin oleh Roh Allah adalah anak
Allah, artinya kedudukan mereka sebagai anak Allah menyebabkan mereka hidup dekat
dengan Allah dan mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya.
Penerimaan hidup
yang dipimpin oleh Roh Allah menurut keyakinan dan pengalaman orang-orang
Kristen pada zaman Perjanjian Baru terjadi bersamaan dengan penerimaan baptisan
(lih. Kis 10:47; 19:2; 1 Kor. 6:11; 12:13; 2 Kor. 1:22; 1 Pet. 1:2). Dalam
baptisan mereka menerima kedudukan sebagai anak, sekaligus menerima Roh yang
membuat mereka sanggup hidup sesuai dengan status tersebut. Roh yang kita
terima itu bukanlah Roh perhambaan atau perbudakan. Roh perbudakan membuat
hubungan kita seperti tuan dan budaknya. Biasanya dalam hubungan seperti ini
hamba selalu berada dalam baying-bayang ketakutan. Tetapi Roh Kudus membuat
hubungan kita dengan Allah bagaikan ayah dengan anak. Hubungannya berdasarkan
cinta kasih, sehingga setiap saat kita bisa menyapa dan berseru “Ya Abba, ya
Bapa!”
Dalam
kenyataannya, kita yang suka menyebut diri anak-anak Tuhan sering tidak seideal
itu. Manakala kita berseru dan memanggil “Ya Abba, ya Bapa”, nyatanya kita
tetap sendiri dalam menghadapi pelbagai masalah, konflik, dan nestapa hidup.
Barangkali di sinilah kita perlu tafakur, apakah hidup kita benar-benar telah
membuka dan membiarkan diri dipimpin seluas-luas oleh Roh Kudus itu. Ataukah
ada kalanya dalam bagian-bagian episode tertentu kitalah yang justeru ingin
memegang kendali atas hidup kita sendiri. Jika ini yang terjadi, maka
barangkali tidak terlalu pas hubungan mesra “ayah-anak” ini dikenakan dalam
kehidupan kita. Kalau kenyataaanya demikian, maka kita harus berani mengoreksi
diri sendiri!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar