James Bryan Smith pengarang The
Good and Beautiful Community pernah punya pengalaman menyakitkan ketika
diminta berbicara Spirituality Formation
di hadapan enam puluh pemimpin sebuah denominasi gereja yang datang dari
pelbagai penjuru Amerika Serikat. Surpise dan antusias mungkin kata itu yang
paling tepat menggambarkan respon Jim. Selama enam bulan ia menyiapkan bahan
presentasi tentang formasi spiritual.
Lalu ia memulai topiknya dan menyampaikan kalimat, “Allah memberi kita
banyak anugerah – baik itu doa, solitude,
berdiam diri, membaca Alkitab, berpuasa dan lain sebagainya – untuk dapat
memperdalam hubungan kita dengan Allah dan mengembangkan karakter Kristus agar
kita dapat hidup secara dinamis bersama-Nya dan berdampak bagi dunia.”
Bagaimana respon mereka? Jim baru menyadari bahwa mereka teguh dengan doktrin
bahwa Allah hanya memberi dua anugerah
saja bagi gereja, yakni : baptisan dan perjamuan kudus! Semua aspek yang
disebutkannya, menurut mereka, bukanlah anugerah.
Sejak kalimat itu meluncur para peserta seminar itu berubah seolah
memusuhinya. Tidak ada lagi orang yang memerhatikan pembicaraannya. Lima belas
menit berikutnya, ada kepala-kepala yang menggeleng karena tidak setuju. Tiga puluh
menit kemudian ada seorang pria memutar kursinya ke belakang dan berbicara
dengan orang di belakangnya. Dia bisa saja pergi ke luar ruangan. Namun,
tampaknya dia menginginkan agar semua orang tahu akan kejijikkannya terhadap
Jim. Pada menit keempat puluh ada tiga orang yang mumutar kursi mereka ke
belakang. Akhirnya, pada menit kelima puluh, Jim berkata, “Saya kira ini waktu
yang tepat untuk beristirahat.” Pria yang sebelumnya menjeput dirinya di
bandara menghampiri dengan wajah sedih berkata, “Presiden merasa sangat
bersalah dan dia merasa suasana semakin menjadi rumit, jadi kami harus
menghentikannya.” Padahal waktu yang disediakan baginya masi tersisa empat jam
lagi!
Atas peristiwa itu James Bryan Smith mengambil kesimpulan bahwa hal yang
kecil – tiga kata saja – bisa menciptakan permusuhan. Lalu ia mulai berefleksi:
Sebuah kebenaran umum namun menyedihkan bahwa gereja Yesus Kristus terpecah
menjadi pelbagai golongan yang menolak untuk bersekutu satu dengan yang lainnya.
Meskipun mereka mengklaim memiliki satu Tuhan, satu iman dan satu baptisan,
namun mereka berjalan dalam keterpisahan, penghakiman, kecurigaan dan bahkan
permusuhan. Saat ini ada lebih dari tiga puluh ribu denomitasi Protestan dan
kebanyakan dari mereka menolak demoninasi yang berbeda dengan diri mereka
sendiri. Mengapa begitu? Mereka memiliki konsep bahwa mereka harus memisahkan
diri mereka jika mereka berbeda dalam hal penampilan, status atau prinsip. “Jika
Anda tidak sama dengan kami, bersikap seperti kami, beribadah seperti cara
kami, atau berpikir seperti kami, maka kami tidak wajib untuk bergaul dengan
Anda.”
Orang Anglo beribadah dengan orang Anglo saja; orang Hispanik beribadah
dengan orang Hispanik saja, orang kaya beribadah dengan sesama orang kaya saja,
orang miskin beribadah bersama dengan mereka yang miskin. Orang yang percaya
bahwa Alkitab itu inheren hanya boleh beribadah dengan mereka yang memiliki
doktrin yang sama, orang yang percaya bahwa homoseksualitas adalah gaya hidup
yang diperbolehkan hanya akan beribadah dengan mereka yang berpendapat sama.
Selanjutnya: Apakah Anda berbicara dalam bahasa lidah? Apakah Anda menyanyikan
himne atau lagu kontemporer? Apakah Anda percaya bahwa perempuan diperbolehkan
menjadi pendeta? Apakah Anda menggunakan band atau orkestra di gereja? Apakah
Anda dibaptis selam atau percik? Pertanyaan-pertanyaan ini sering mengemuka
untuk mengetahu prisip bergereja seseorang. Jawaban mereka akan menentukan
apakah kita bisa beribadah bersama dengan mereka atau tidak. Beberapa orang
bahkan akan bertanya tentang konsep keselamatan apakah sesuai dengan si penanya
atau tidak.
Keterpisahan ini bukanlah apa yang diharapkan Yesus. Konsep bahwa, “jika
kita berbeda, maka kita harus berpisah,” adalah penyebab dari perpecahan. Dan
kita tahu bahwa penghancur terbesar dari kehidupan bergereja bukanlah
penderitaan akibat tekanan, penganiayaan dan penindasan. Malah untuk alasan
yang terakhir ini justeru semakin dibabat, semakin merambat; semakin dianiaya
semakin bertambah banyak orang Kristen. Dalam sejarah gereja, terbukti
perpecahan membuat berkeping-kepingnya gereja. Lihat saja di Turki tempat
kelahiran Paulus dan jemaat-jemaat yang kepada mereka Wahyu Yohanes ditujukan,
di Mesir, Siria, Aljazair, semenanjung Arab, Lebanon dan sekitarnya, adakah
kekristenan di sana? Nyaris punah! Ini semua akibat perpecahan.
Banyak orang Kriisten merasa skisma (perpecahan gereja) adalah suatu
keniscayaan karena kita harus memisahkan diri dengan mereka yang berbeda dari
kita. Namun, setidaknya dalam iman kepada Yesus Kristus yang adalah Tuhan
bersama mestinya kita berpikir bahwa krtidaksetujuan boleh terjadi karena
kesatuan tidak sama dengan keseragaman, namun mestinya hal itu tidak
menimbulkan perpecahan. Kita tidak perlu setuju dengan gaya ibadah, susunan
liturgi atau hal-hal minor dalam
doktrin, namun kita dapat dan harus bersekutu jika kita memang percaya bahwa
Yesus adalah Tuhan. Jika hati Anda berdetak dalam kasih kepada Yesus, maka
gandenglah tangan saya dan mari kita saling bersekut. Yesus adalah Tuhan bagi
mereka yang tidak setuju apabila perempuan boleh melayani. Yesus juga adalah
Tuhan bagi mereka yang setuju kalau perempuan dapat menjadi pendeta. Yesus juga
adalah Tuhan bagi kaum Baptis dan Episkopal, juga Tuhan bagi mereka yang
berbahasa lidah atau tidak!
Sebuah tantangan besar mewujudkan doa Tuhan Yesus dalam Yohanes 17
ketika Ia meminta kepada Bapa-Nya agar para murid hidup dalam kesatuan, saling
mengasihi, menopang dan menguatkan. Alih-alih bersatu kini, Protestan saja
telah menjadi lebih dari tiga puluh ribu denominasi! Dan tidak dapat dielakan
satu dengan lain denominasi bersaing bahkan saling menjatuhkan. Di dalam
doanya, Yesus menginginkan kesatuan di dalam diri murid-murid-Nya sama seperti
keesaan diri-Nya dengan Sang Bapa. Keesaan itu terjalin sedemikian rupa dan
pengikatnya adalah kasih.
Bagaimana kita seharus memertahankan keutuhan kesatuan tubuh Kristus
dengan realita yang ada sekarang ini di mana masing-masing orang Kristen
menganggap dirinya paling benar? Stanley Hauerwas mengatakan, “Kasih yang
merupakan sifat Kerajaan Allah ini hanya dimiliki oleh mereka yang telah
diampuni – yakni mereka yang telah belajar untuk tidak perlu takut dengan orang
lain yang berbeda…hanya ketika diri kita – yakni karakter diri saya – telah dibentuk
oleh kasih Allah, maka pada saat itulah saya tidak memiliki alasan untuk takut
dengan orang lain.” Hauerwas menyatakan apa yang menjadi masalah adalah bahwa
kita menjadi takut dengan orang lain! (Padahal kasih yang benar membebaskan
orang dari ketakutan). Dengan kata
lain Hauerwas menengarai bahwa ketiadaan Kristus itulah yang menjadikan manusia
terus mengasihani diri sendiri akibatnya selalu takut dan curiga terhadap orang
atau kelompok yang berbeda. Rasa takut itu sebenarnya dapat diatasi dengan cara
meningkatkan pemahaman kita terhadap orang yang berbeda. Di atas semuanya itu,
kita dapat mengatasi rasa takut dengan cara menjadi orang yang telah diampuni
dan dibentuk oleh kasih Allah.
Agustinus mengatakan, “Dalam
hal-hal esensi, bersatulah; dalam masalah yang tidak bisa dipastikan, jangan
kaku; dalam segala sesuatu berbuat baiklah.” Kalimat ini mula-mula dimaksudkan
untuk mendinginkan persoalan dalam gereja. Namun, prinsip ini menolong kita
untuk tetap dapat bersatu bahkan jika kita mengalami perbedaan pendapat. John
Wesley, tokoh Metodis menyarankan bahwa satu-satunya cara agar gereja dapat
bersatu adalah dengan cara membedakan hal esensi dengan yang bukan esensi, lalu
menemukan cara menerima perbedaan itu tidak lebih dominan dari iman kita
bersama. Wesley percaya bahwa kasih dan komitmen kepada Yesus adalah hal
esensi. Segala sesuatu di luar itu bersifat tidak esensi. Hal yang tidak esensi
tidak harus membuat kita terpecah.
Ingatlah juga apa yang dikatakan Paulus dalam 1 Korintus 12, bahwa
perbedaan-perbedaan itu lebih bersifat seperti tubuh Kristus yang menjalankan
fungsi yang berbeda-beda tetapi dengan tujuan prisnsip yakni menyatakan kasih
Kristus kepada dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar