Rabu, 23 Maret 2016

TELADAN KASIH HINGGA DI SAAT TERAKHIR

Seorang rekan dokter mengenang sejawatnya dokter ahli penyakit lever yang telah tiada. Sebelum meninggal, sahabatnya itu dideteksi menderita kanker lever. Ketika hasil diagnosa itu hendak disampaikan kepadanya, tim medis mengalami kesulitan, pasalnya yang akan disampaikan itu merupakan bidang kompetensi dari si pasien yang tidak lain ahli lever. Dan sebagian dari tim medis itu pernah menjadi mahasiswa sang dokter itu. Melihat gelagat itu, dengan tegar, sang dokter yang terbaring itu berkata, “Apa yang terjadi dengan leverku, ceritakan saja apa adanya!” Kemudian mereka bergantian menjelaskan kondisi lever dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi serta terapi atau tindakan yang memungkinkan untuk menyelamatkan sang ahli lever ini. Di luar dugaan, sang ahli lever ini merespon, “O, sperti itu kondisi leverku. Kalau begitu, tolong panggil anak dan istriku. Aku harus memersiapkan mereka untuk menghadapi masa depan tanpa aku lagi. Kini, kalian tidak usah terlalu repot menyiapkan kemoteraphi atau radiasi. Biarkan aku menjalaninya secara alami. Jangan juga merasa bersalah kalau tidak bisa memulihkan aku. Aku tahu sepenuhnya jenis kanker yang bersarang dalam leverku. Dan menurut sepengetahuanku tidak ada obat atau teraphi yang mampu menghentikan menjalarnya kanker ini. Aku ingin memakai waktu yang sisa ini dalam kebersamaan dengan keluargaku!”

Saya dapat membayangkan bagaimana bergejolaknya hati seseorang, seperti cerita dokter di atas, ketika ia tahu percis apa yang akan terjadi di akhir hidupnya. Ia dapat membayangkan bagaimana sakitnya penyakit itu perlahan tapi pasti menggerogoti tubuhnya. Pergumulannya mungkin sangat berbeda kalau ia tidak tahu sama sekali tentang kondisi penyakit dirinya. Dokter dalam cerita kita – berdasarkan kepakarannya – tahu apa yang akan dialaminya. Ia menyadari tidak lagi ada obat atau teraphi yang bisa menyembuhkannya dan ia memilih memanfaatkan waktu tersisa menyiapkan keluarga terdekatnya untuk hidup tanpa dirinya. Pilihannya itu oleh karena keterbatasannya dan keterbatasan upaya medis. Namun, bagaimana kalau ia berkuasa menghadirkan mujizat? Pasti ceritanya menjadi lain!

“Yesus tahu, bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah.” (Yoh.13:3). Berbeda dengan Injil sinoptis, Yohanes melihat akhir kehidupan Yesus yang berujung pada kematian-Nya di kayu salib bukanlah sebuah peristiwa mengerikan dan tragis, melainkan itulah jalan kembali-Nya Dia kepada Bapa-Nya. Salib adalah jalan kemuliaan dalam menuntaskan pekerjaan Bapa! Yesus tahu percis detil yang segera Ia alami. Ia menyadari bahwa Bapa telah menyerahkan segala sesuatunya kepada Yesus. Artinya, Yesus sebenarnya dapat memilih, apakah Ia akan terus taat pada misi Bapa-Nya atau berpaling dari-Nya dan dengan demikian Ia bebas dari penderitaan yang akan mendera-Nya.

Pada umumnya, manusia akan memilih untuk menghindar dari kesulitan, penderitaan dan kematian. Mekanisme tubuh kita secara otomatis akan membuat proteksi manakala ada ancaman terhadap penderitaan dan kematian. Banyak orang rela meninggalkan keyakinan akan kebenaran manakala harus berhadapan dengan resiko tinggi yang mengancam jiwanya. Namun, secara tegas Yesus menyatakan keteguhan hati-Nya, “…dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini. Bapa, muliakanlah nama-Mu!”  (Yoh. 12:27-28a). Pada bagian ini sangat jelas bahwa Yesus benar-benar tahu apa yang akan terjadi dengan hidup-Nya. Dia diberi kesempatan oleh Bapa-Nya untuk memilih; bahkan Dia punya kuasa untuk menghindar bahkan mengenyahkan semua lawan-Nya. Kini saatnya, Yesus sendiri harus membuat sebuah keputusan sesuatu yang paling penting: ini soal hidup dan mati! Saya kira Yesus pun, sebelum menyatakan kesediaan-Nya pasti mengalami pergumulan batin yang sangat berat.  Namun, Dia memutuskan untuk setia kepada Bapa-Nya. Konsekuensinya jalan terjal via dolorosa itu harus di tempuh supaya dengan itu nama Bapa dimuliakan!

Tidak banyak manusia yang mempunyai kebebasan dan kuasa, kemudian tahu bahwa di depannya menghadang penderitaan bahkan kematian yang kemudian terus, luruh menempuh jalan itu. Hanya manusia yang mempunyai keteguhan, memahami panggilan hidupnya dan kecintaan luar biasa pada panggilan hidupnya itu yang mampu menempuh jalan seperti itu! Cintanya kepada Bapa, pemahaman-Nya yang benar terhadap misi dan kehendak Bapa membuat Yesus rela mengesampingkan kenyamanan diri sendiri dan ketakutan-Nya.

Sementara waktu berjalan terus. Tidak banyak kesempatan lagi buat Dia berlama-lama dengan para murid-Nya. Kini, dalam waktu yang teramat sempit itu, Ia harus menyiapkan para murid. Ia harus mengajarkan bukan saja tentang ketabahan ketika Ia sudah tidak ada lagi bersama-sama para murid secara fisik. Tetapi jauh dari itu, agar para murid dapat dengan sungguh-sungguh mengenal, memahami, merasakan cinta kasih Allah agar dapat terus dilanjutkan. Lalu, apa yang dilakukan Yesus dalam waktu singkat itu? Tidak cukup hanya dengan kata-kata, di tengah-tengah perjamuan malam itu, Yesus memperagakan sebuah pwengajaran tentang pelayanan. Yesus “meninggalkan tempat” Tuhan dan Guru. Dia menempatkan diri sebagai hamba atau lebih tepatnya budak atau kacung. Ia bangun, menanggalkan jubah, mengambil sehelai kain lenan dan mengikatnya pada pinggang-Nya. Ia menuangkan air dalam basi dan mulai membasuh kaki para murid dan menyekannya dengan kain lenan itu. Satu demi satu kaki para murid itu dibasuh dan diseka oleh Guru dan Tuhan mereka sendiri.

Andaikan, saya menjadi salah seorang murid yang dibasuh itu. Barangkali saya juga tidak mengerti apa yang dilakukan Yesus ini. Namun, kemudian Yesus memberi penegasan akan apa yang dilakukan-Nya itu. “Jadi jikalau AKu membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu. Sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh. 13:14-15). Jadi Yesus sedang memberikan teladan dan teladan itu harus dilakukan oleh siapa pun yang mengaku menjadi murid Yesus. Untuk dapat membasuh kaki (lambing pelayanan dan merendahkan diri) tentu tidak mudah. Orang yang dapat melakukannya pastilah mereka yang telah dapat merasakan cintakasih Tuhan dan yang berani menyangkal diri.

Pembasuhan kaki sering menjadi symbol seseorang merendahkan diri dan mau melayani. Banyak gereja meneruskan tradisi ini. Mungkin kita juga pernah melakukannya: membasuh dan dibasuh. Tentu tidak ada salahnya. Namun, renungkanlah: banyak di antara kita yang dapat melakukan liturgy simbolik ini. Namun, dapatkah kita membawanya dalam kehidupan nyata: di “luar gedung gereja”! Bukan lagi simbolik melainkan, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh.13:34-35). 

Dalam waktu yang singkat sebelum peristiwa salib terjadi, Yesus mengajarkan dan memberikan contoh tentang kasih yang harus atau wajib dilakukan oleh setiap murid-murid-Nya.  Bagaimana dengan kita? Apakah orang lain dapat menilai kita ini pantas disebut murid Yesus karena mereka melihat cinta kasih dalam diri kita yang tidak pura-pura?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar