Banyak tokoh yang
berperan di seputar penyaliban Yesus. Peran atau sepak terjang mereka kelak terus
dikenang orang. Sebut saja si Penghianat, orang akan segera menghubungkannya
dengan Yudas. Peran antagonis, dalam kalbu kita akan segera membayangkan
ahli-ahli Taurat, imam-imam kepala dan orang Farisi. Lalu Petrus selalu
dikenang sebagai orang yang pernah menyangkal Yesus, namanya dikaitkan juga
dengan ayam. Pilatus, identik dengan tokoh yang suka cari aman sendiri, sehingga
terkesan ambigu dalam mengambil keputusan. Sedangkan Yesus sendiri adalah figure
hamba TUHAN yang setia menjalani penderitaan sampai kematian-Nya di gantung
pada kayu salib di bukit Tengkorak.
Setelah penangkapan-Nya,
Yesus diadili. Pelbagai upaya dikerahkan oleh para pejabat agama yang sekongkol
dengan serdadu Romawi untuk dapat melenyapkan Yesus. Kesaksian palsu dan
pelbagai tuduhan rekayasa dikaitkan dengan kiprah Yesus selama ini. Injil
sinoptis (Matius, Markus, Lukas) menggambarkan Yesus seperti “anak domba yang
dibawa ke pembantaian”, Ia diam saja dan sesekali mengiyakan apa yang dikatakan
imam besar bahwa Ia adalah Mesias, “engkau
telah mengatakannya.” (Matius 26:64). Hal yang sama terjadi ketika Pilatus
menginterogasi-Nya, Yesus menjawab, “Engkau
sendiri mengatakannya.” (Mat. 17:11). Selanjutnya Yesus diam seribu basa!
Hal ini berbeda ketika kita membaca narasi penyaliban ini versi Yohanes. Yesus
tidak bungkam, Ia menjawab tuduhan-tuduhan itu.
Yohanes mencatat
ada dialog antara Yesus dan Hanas yang isinya menjelaskan bahwa Ia mengajar
tidak dengan sembunyi-sembunyi, jika ingin mengetahui ajaran-Nya, Yesus menyuruh
imam besar itu menanyakannya kepada orang banyak yang telah mendengarnya.
Jawaban ini membuat marah seorang pengawal yang kemudian menampar muka Yesus.
Yesus tidak diam! Ia membalas dengan mengatakan, “Jikalau kata-Ku itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau
kata-Ku itu benar, mengapakah engkau menampar Aku?” (Yoh.18: 23). Tampak
sekali bedanya dibanding narasi Injil sinoptik. Yesus begitu tegar dan percaya
diri. Ia yang mengajarkan kepada para murid-Nya bahwa kalau ditampar pipi kiri,
berilah juga pipi kananmu. Kini, Ia tidak memberikan bagian muka yang lainnya,
malah memprotes perlakuan tidak menyenangkan itu!
Yesus tidak diam
juga ketika Ia berhadapan dengan Pilatus. Ketika Pilatus bertanya kepada-Nya mengenai
tuduhan orang banyak bahwa Dia adalah orang Yahudi, Yesus kemudian menjelaskannya.
Di situlah terjadi dialog yang berakhir dengan pernyataan bahwa diri-Nya datang
ke dunia ini supaya memberi kesaksian tentang kebenaran. Dan Ia menegaskan
bahwa setaiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan diri-Nya (Yoh.
18:37), perikop ini ditutup ngambang dengan pertanyaan Pilatus, “Apakah kebenaran itu?” (Yoh.18:38).
Namun, pada saat
itu sebenarnya Pilatus mulai menyadari bahwa Yesus sama sekali tidak bersalah.
Ia mulai mengerti tentang kebenaran yang diajarkan Yesus walaupun dalam waktu
yang begitu singkat. Hal ini terbukti ketika Pilatus menyatakan di depan umum
bahwa ia tidak mendapati kesalahan dalam diri Yesus dan sebenarnya sejak saat
itu pula Pilatus berupaya untuk membebaskan Yesus dari tuntutan hukuman mati. “Sejak saat itu Pilatus berusaha untuk
membebaskan Dia, tetapi orang-orang Yahudi berteriak, ‘Jikalau engkau
membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat kaisar. Setiap orang yang menganggap
dirinya seorang raja, ia melawan kaisar.” (Yoh.19:12). Dalam kegamangannya
itu, Pilatus berusaha mengorek Yesus lagi dengan mengatakan jaminan bahwa
dirinya berkuasa untuk membebaskan Yesus. Namun kembali Yesus menyanggah bahwa
Pilatus tidak mempunyai kuasa apa pun jika kuasa itu tidak diberikan dari atas.
Kini secercah
kebenaran yang mulai menerangi hati Pilatus harus berhadapan dengan tuntutan
orang banyak yang menghendaki kematian Yesus. Pilatus tidak berdaya
mempertahankan kebenaran itu! Ia memilih menyerahkan Yesus kepada orang banyak
untuk disalibkan. Namun, pada bagian akhir upayanya, Pilatus meminta para
prajuritnya untuk menuliskan kalimat di atas kayu salib yang berbunyi, “Yesus
orang Nazaret, Raja orang Yahudi” dalam tiga bahasa (Ibrani, Latin dan Yunani).
Sangat mungkin, Pilatus menempatkan tulisan itu sebagai sindirian untuk membuat
hati orang-orang Yahudi menjadi marah dan tersinggung. Bukankah baru saja
mereka meneriakan bahwa mereka tidak mempunyai raja kecuali Kaisar. Mereka
dengan tegas dan penuh kebencian menolak Yesus sebagai Raja (padahal belum
sepekan mereka menyambut Yesus yang memasuki Yerusalem sebagai Raja, mereka
mengelu-elukan Yesus dengan Hosana, diberkatilah Engkau yang datang sebagai
Raja..!).
Rupanya sindiran
Pilatus begitu mengena, sehingga para pemimpin Yahudi berkali-kali meminta
kepadanya untuk menyingkirkan atau mengubah tulisan itu. Tetapi Pilatus
menolaknya, “Apa yang kutulis tetap
tertulis,” katanya. Di sini
Pilatus bersikap keras dan tidak mau mundur padahal sebelumnya ia menyerah
terhadap keinginan orang banyak untuk menyalibkan Yesus. Salah satu paradox dalam
kehidupan manusia, termasuk kita adalah bersih keras terhadap perkara-perkara
yang tidak penting, namun lemah terhadap hal-hal prinsip yang sangat penting.
Kalau saja Pilatus teguh pada pendirian terhadap kebenaran yang disampaikan
Yesus maka bisa jadi dia akan menang terhadap taktik intimidasi orang-orang
Yahudi itu dan menolak untuk dipaksa menuruti keinginan mereka. Selanjutnya,
mungkin saja dalam sejarah ia akan dikenal sebagai orang besar yang teguh pada
pendiriannya yang kuat. Tetapi sayangnya, ia dikenal sebagai orang yang
menyerah dalam hal penting tetapi teguh dalam hal yang tidak penting.
Yohanes mengisahkan
perjalanan Yesus menuju salib Golgota adalah perjalanan Anak Manusia yang
begitu tegar tidak sedikit pun gentar. Dia tidak memakai kesempatan yang ada,
termasuk kuasa Pilatus yang memberikan tawaran untuk membebaskan-Nya. Tidak ada
kesan Ia ketakutan dan berseru, “Eli, Eli lama sabaktani!” Ia mengerti, bahwa
Sang Bapa menghendaki-Nya terus sampai di Golgota! Yesus dalam pandangan
Yohanes bukanlah sosok yang dikorbankan bagi penebusan. Melainkan, dengan penyerahan total terhadap
kehendak Bapa, Ia mengorbankan diri-Nya sendiri. Ia tidak dibunuh, melainkan Ia
menyerahkan diri-Nya! “Sesudah itu, karena Yesus tahu, bahwa segala sesuatu
telah selesai, berkatalah Ia – supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab
Suci-: ‘Aku haus!” (Yoh.19:28).
Yesus telah memberikan teladan tentang kesetiaan kepada Bapa. Jalan salib yang terjal dan menyakitkan bukan sebuah rintangan sehingga harus dihindari. Justeru melalui itu Yesus memuliakan Bapa-Nya dan dengan itu pula Bapa memuliakan diri-Nya. Di dunia yang segala kemungkinan bisa terjadi, kita diajar untuk setia kepada panggilan Bapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar