Jumat, 18 Maret 2016

KASIH YANG KONSISTEN, BUKAN AMBIGU

(Palmarum: Mzm 118:1-2, 19-29; Luk. 19:28-40. Sengsara: Yes.50:4-9, Mzm. 31:9-16, Fil.2:5-11, Luk.23:26-32)
Konsisten lazim diartikan: tetap (tidak berubah-ubah), taat azas, ajeg, selaras dan sesuai. Sedangkan ambigu bermakna lebih dari satu, keragu-raguan, kabur, ketidakjelasan sikap. Tentu saja, kalau kita diminta memilih, kita akan lebih suka sikap yang konsisten karena konsisten merupakan sikap ideal. Namun, nyatanya untuk memertahankan sikap konsistensi ini tidak mudah. Paling gampang kita dapat melihatnya dalam dunia politik praktis. Hari ini bisa berkualisi dengan partai A, besok lusa bisa akrab dengan partai B, minggu depan menjalin MOU dengan partai C, sebulan kemudian menjelek-jelekkan parta A. Di tataran pusat bisa menjadi lawan tetapi di daerah mereka bisa menjadi kawan. Hari ini mendukung dan menyanjung si X, besok lusa menjilat si Y, dan minggu berikutnya ia mengatakan tidak kenal si X yang tengah diperiksa pihak KPK. Kenyataan ini semakin menegaskan kebenaran adagium politik, yakni tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada kepentingan abadi.  Dalam batas tertentu sikap seperti ini bisa disebut konsisten juga. Ya, konsisten terhadap kepentingan diri sendiri!

Aristoteles menyebut manusia adalah makhluk politis yang berjuang agar apa yang menjadi kepentingannya tergapai. Pada umumnya manusia adalah makhluk paling konsisten berjuang untuk ambisi, kebutuhan dan kepentingan diri sendiri. Oleh karenanya mereka berpotensi melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang diingininya termasuk mengingkari kebenaran, menghianati persahabatan dan mengabaikan moralitas. Hanya sedikit saja orang, yang berani menerapkan konsistensi dalam memegang kebenaran meskipun harus berhadapan dengan resiko dengan mengorbankan kepentingan sendiri.

Peristiwa sekitar Minggu Palem dan Minggu Sengsara setidaknya menegaskan begitu banyak manusia yang konsisten pada ambisinya sendiri, sehingga inkonsisten terhadap perkataan dan keyakinannya. Yesus, yang sudah semakin populer dengan banyak pengikutnya lantaran melakukan pengajaran dan mujizat, pada waktu itu telah menyiapkan segala sesuatunya dengan cermat untuk memasuki Yerusalem. Ia datang bukan dengan kendaraan perang (kuda), melainkan keledai. Pada saat itulah orang banyak mengelu-ngelukan Dia. Mereka melambai-lambaikan daun palem dan rela melepas pakaian mereka lalu mengelarnya di jalanan yang akan dilalui Yesus. Mereka bersorak, “Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi.” (Lukas 19:38). Sangat mungkin mereka berseru ketika melihat arak-arakan itu karena terpesona dengan apa yang selama ini dilakukan Yesus dan kemudian mereka mengingat Mazmur 118:26. Mereka merasa Mazmur yang biasa dinyanyikan pada Hari Raya Pondok Daun itu sangat cocok dikenakan sebagai  pujian buat Yesus yang kini ada di hadapan mereka. Tidak perlu menunggu lebih lama, kini sebelum Paskah pun mereka meneriakkan seruan itu. Yesus tidak menolak pujian itu. Bahkan ketika orang Farisi melarangnya, Yesus justeru mengatakan, “…jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak..” (Luk. 19:40).

Namun, sayangnya apa yang dilakukan orang banyak itu gagal paham dengan misi utama yang sedang dilakukan Yesus! Orang banyak yang berseru mengelu-elukan Yesus dengan memakai kutipan Mazmur 118:26 adalah bentuk konsistensi mereka yang menginginkan Yesus memenuhi keinginan mereka yakni, akan segera menduduki Yerusalem dengan menaklukan penjajah Romawi dan memulihkan takhta kekuasaan Daud. Mesias politik!

Konsistensi dengan mengedepankan kepentingan sendiri semakin kentara. Belum sepekan mereka memakai Mazmur 118 dalam menyambut Yesus sebagai Mesias. Kini, mereka berubah drastis. Mereka mulai ambigu ketika Yesus diseret ke  pengadilan penuh rekayasa dan kemudian dinyatakan sebagai terdakwa. Orang banyak yang sebelumnya menyambut Yesus sebagai Raja. Kini mereka berteriak, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” (Luk.23:21). Bisa jadi sepekan itu, alih-alih melihat tanda-tanda Yesus menggulingkan kekuasaan Roma, mereka kecewa karena Yesus bungkam. Mungkin juga mereka merasa terancam ikut dihakimi juga ketika menampakkan tanda-tanda keberpihakkan kepada Yesus.

Bukankah hal serupa kerap terjadi dalam dunia modern ini? Kita banyak menaruh harapan terhadap pemimpin baru. Pujian bertebaran. Namun, seiring berjalannya waktu ternyata apa yang kita harapkan tidak juga terjadi. Dengan mudah kita mencemoohnya.

Yesus menghadapi sendiri pengadilan dan vonis rekayasa itu. Dia harus memikul salib, terjatuh dan tidak berdaya. Barulah pada saat itu Simon dari Kirene dipaksa prajurit Roma untuk membantu memikul salib Yesus. Mungkin saja Simon dari Kirene pada saat itu merasa ketiban sial. Namun, justeru pengalaman pahit getir bersama Yesus menuju Bukit Tengkorak itu kelak akan mengubah kehidupan Simon. Markus kemudian mencatata tentang Simon. Ia adalah ayah dari Alexander dan Rufus (Markus 15:21). Rufus selanjutnya dikenal sebagai seorang yang saleh. Paulus pun mengenal baik keluarga ini. Ia begitu menghormati ibunda Rufus, yang berarti isteri dari Simon (Roma 16:13). Simon berbeda dengan ambisi orang banyak, mungkin saja awalnya ia dipaksa  memikul salib, namun melalui peristiwa itulah  kemudian menjadikan keluarga Simon kelak menjadi orang-orang yang takut, mengasihi dan berperan dalam pekerjaan Tuhan.

Bisa jadi pengalaman kita mengikut Tuhan seperti Simon dari Kirene. Tak sengaja “ketiban sial” harus memikul tanggungjawab. Tunggu dulu! Jangan cepat furstasi, teruslah berjalan bersama-Nya dengan setiap maka perlahan namun pasti kehidupan kita akan berubah. Pada saat ini, sebagaian gereja dalam lingkup GKI melakukan peneguhan penatua. Bisa jadi Anda yang terpilih menjadi penatua baru awalnya merasa seperti “Simon dari Kirene”. Jangan menyerah, pasti bukan kebetulah Tuhan memilih Anda. Berjalanlah terus di belakan-Nya, pikullah salibmu dan nantikanlah perubahan yang akan terjadi dalam kehidupan Anda!

Ternyata, tidak semua orang membenci dan menghendaki kematian Yesus, di tengah-tengah orang banyak itu, ada sejumlah perempuan yang peduli. Mereka menangisi dan meratapi Yesus. Yesus tidak memanfaatkan kondisi yang memang memprihatinkan untuk mendulang belas kasihan. Melainkan, Ia menjadikannya sebagai peringatan untuk penduduk kota Yerusalem itu. “Hai putri-putri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” (Luk. 23:28). Mengapa Yesus meminta mereka untuk menangisi diri sendiri? Jawab-Nya, “Sebab jikalau orang berbuat demikian dengan kayu hidup, apa yang akan terjadi dengan kayu kering?” (Luk.23:31). Yesus membandingkan diri-Nya dengan kayu hidup dan penduduk Yerusalem kayu mati/kering. Nah, jika penderitaan dan kematiaan ini dilakukan terhadap Yesus (oleh manusia, tetapi sesuai dengan rencana Allah), maka alangkah berat dan tragisnya nasib yang akan menimpa Yerusalem. Dengan kata lain, kalau Yesus yang tidak bersalah saja akan mengalami penderitaan dan kematian seperti itu, maka alangkah mengerikannya orang-orang Yerusalem yang betul-betul jahat dan bersalah itu! (bnd. Amsal 11:31).

Apa yang diucapkan Yesus bukanlah ancam melainkan empati yang ditujukan-Nya terhadap Yerusalem yang akan mengalami kehancuran. Bagi-Nya sendiri, pergumulan menuju Golgota sudah Ia selesaikan di Getsemani. Kini, Ia segera menuntaskan-Nya dalam ketaatan sebagai hamba Tuhan yang menderita (Yesaya 50:4-9). Yesus konsisten dengan misi Bapa-Nya walaupun kondisi terpahit yang harus dijalani-Nya. Ia tidak mencari celah untuk menyelamatkan diri. Tidak juga kasih-Nya berubah menjadi kebencian terhadap orang-orang yang menghina dan menyakiti-Nya. Yesus, dalam Kritologi Paulus (Efesus 2:5-11) mengatakan “yang walaupun dalam rupa Allah namun rela mengambil rupa manusia, merendahkan diri sebagai hamba dan mati di kayu salib.  Dengan cara itu Yesus memenangkan hati manusia bukan dengan jalan menaklukkan mereka dengan kuasa, melainkan dengan menunjukkan kasih-Nya secara total kepada mereka. Ternyata, cinta kasih yang tulus melaupaui kekuasaan apa pun dalam menyentuh hati manusia! 

Selama ambisi dan nafsu  menjadi pandu bagi kehidupan maka kita akan konsisten memerjuangkanya. Kita akan terlihat ambigu sekarang berkata begini nanti kita akan berkata begitu dan berikutnya kita akan menyangkal apa yang kita katakana. Kita akan menutup mata terhadap kebenaran, kaidah moral dan keluhuran persahabatan. Belajarlah mengasihi Tuhan dan sesama dengan konsisten seperti yang dilakukan Yesus!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar