Rabu, 15 Juli 2015

MENGAPA KRISTUS MERUNTUHKAN TEMBOK PEMISAH?

Pada setiap budaya, ras, etnis, bangsa, komunitas bahkan agama selalu saja menganut sistem ketahiran. Sistem itu akan memilah mana manusia yang dipandang mulia, bermartabat tinggi dan mana yang digolongkan sebagai kelas pinggiran nan jelata. Masyarakat Yahudi mengambil pusat ketahiran itu pada Bait Allah, semakin seseorang “dekat” dengan Bait Allah, maka semakin dipandang sebagai orang mulia dan terhormat. Imam besar, para imam dan kaum Lewi menduduki tempat terhormat, selanjutnya suku-suku lain dalam komunitas Israel, itu pun masih dibedakan menurut gender, usia, status sosial, atau pekerjaan yang mereka tekuni. Kemudian menyusul orang asing yang memeluk agama Yahudi, proselite Posisi paling buncit di tempat oleh orang asing, pemungut cukai, sida-sida dan kelompok orang yang dinamakan pendosa. Tidaklah mengherankan kalau denah Bait Allah pun ada sekat-sekat dari mulai ruang mahakudus, ruang kudus, serambi perempuan, serambi orang asing dan sebagainya.

Dalam sistem ketahiran Yahudi, Taurat dan buku kuningnya (Misnah, Talmud, dan Gemara: uraian-uraian Taurat dan aplikasinya) sangat sulit memahami komunitas di luar Yahudi untuk mendapat belas kasih dari Allah. JIka mereka menginginkannya, tidak ada jalan lain kecuali mereka menjadi Yahudi. Jika orang asing itu menghendaki kasih karunia TUHAN, mereka harus melakukan tata cara dan tradisi Yahudi. Keyakinan mereka mengatakan bahwa Yahudilah umat istimewa dan karena itu mereka adalah umat kesayangan Allah! Dalam peradaban modern pemahaman Yudaisme ini mirip-mirip Chauvinism. Nicolas Chouvin konon begitu loyal terhadap Napoleon Bonaparte dan menganggapnya sebagai manusia super, kaisar terbaik meskipun Napoleon sendiri telah dikalahkan dan dibuang ke pulau St. Helena. Chauvinisme dipakai untuk orang yang mempunyai faham fanatisme sempit dan primordial, yang menganggap diri paling baik dan merendahkan kelompok atau orang lain.

Ketika kekristenan menembus batas Yudaisme dan menyentuh orang-orang di luar Yahudi menjadi masalah serius, khususnya bagi orang-orang Kristen yang sebelumnya berlatar belakan Yudaisme. Kita dapat menyaksikan betapa repotnya Petrus yang harus mempertenggungjawabkan baptisan yang dilakukannya terhadap Kornelius dalam Kisah Para Rasul 10. Harus ada sidang di Yerusalem untuk menyelesaikan perkara ini (KPR 11) meskipun sebelumnya Petrus sendiri mengatakan, “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang.”(KPR.10:34). Sejak peristiwa Kornelius ketegangan antara Yahudi dan non Yahudi dalam komunitas Kristen alih-alih mereda, semakin menguat. Hal ini dapat kita telusuri dari surat-surat pastoral Paulus. Paulus sendiri mengklaim sebagai rasul bagi non Yahudi. Akibatnya, sering terjadi konflik.

Efesus tampaknya salah satu jemaat mayoritas non Yahudi yang pernah mengalami gesekan fanatisme Yudaisme. Kini, mereka, berkat pemberitaan Paulus menjadi percaya diri sebagai umat yang dikasihi Allah. Namun, keyakinan itu tidak lantas menjadi ekstrim primordial baru dan kemudian memusuhi orang-orang berlatar belakang Yudaisme. Untuk itu Paulus mengingatkan mereka tentang siapa jati diri mereka itu, “Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu – sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tidak bersunat oleh mereka yang mengatakan dirinya “bersunat”;…bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia.”(Efesus 2:11,12). Di sini tampaknya Paulus memakai terminologi Yudaisme bahwa jemaat Efesus semula tidak mengenal kasih karunia Allah namun oleh karya Kristus mereka diselamatkan, sewajarnyalah mereka tidak berlaku arogan.

Selanjutnya Paulus mengingatkan mereka dalam hubungannya dengan saudara-saudara Yahudi. “Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus, kamu yang dahulu “jauh”, sudah menjadi ‘dekat’ oleh darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu.(Ef.2:13-16). Seolah Paulus mengingatkan bahwa saat ini yang dipandang bukan lagi tradisi dan latar belakang masing-masing pihak yang berbeda, melainkan pandanglah salib Kristus sebagai karya kasih Allah yang mendamaikan manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya.
Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang ‘jauh’ dan damai sejahtera kepada kamu yang ‘dekat’, karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk menuju Bapa. Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah..” (Ef.2:17-19). Di dalam Tuhan tidak lagi ada orang asing dan diasingkan, semua adalah anggota-anggota keluarga Allah! Bagaimana sekarang gereja memberlakukan orang-orang? Sudahkah ramah terhadap semua orang? Atau kita lebih senang memilah kalangan tertentu saja dengan alasan lebih nyaman dan gampang diatur? Ternyata kalau ditelusur, minimal dari apa yang terungkap dalam surat pastoral Paulus (Efesus 2) yang menjadi pokok masalah dalam kehidupan gereja adalah setiap orang tidak mendapat perlakuan sebagai anggota-anggota keluarga Allah. Ada yang merasa sebagai “keluarga inti” dan kemudian mengganggap yang lain sebgai simpatisan saja! Akibatnya, orang yang merasa keluarga inti merasa paling berhak menentukan kehidupan pelayanan gereja.
Sering gereja menjadi lupa dengan mengurus dirinya sendiri dan membiarkan “kawanan” lain hidup dengan masalahnya sendiri. Mempersiapkan diri sebagai inti gereja untuk pelayanan yang lebih baik itu harus, tidaklah salah. Yesus sering membawa para murid yang telah menyelesaikan tugas mereka untuk retret, menjauh dari kerumunan orang. Namun, perhatikanlah bahwa hal itu bukan tugas utama mereka. Suatu ketika (Markus 6:30-34), Yesus membawa murid-murid retret dan menjauh dari orang banyak. Namun, tampaknya orang banyak tahu ke mana mereka pergi. Orang banyak itu terus mengejar mereka. Di sini, kepedulian Yesus muncul. Ia tidak marah oleh karena kenyamanan dengan para murid-Nya terusik. Sebaliknya, “Ia melihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hatinya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala. Lalu mulailah Ia mengajar banyak hal kepada mereka.”(ay.34). Selanjutnya, ketika hari sudah mulai malam dan murid-murid-Nya meminta Yesus menyuruh mereka pergi, alih-alih mendengar saran para murid, Yesus meminta para murid memberi mereka makan! Kepedulian Yesus membuat tidak ada lagi pembedaan antara duabelas murid dan mereka yang berbondong-bondong. Semua mendapat perlakuan sama dari Yesus!
Cinta kasih Yesus, yang di atasnya Gereja dibangun mestinya meneruskan kepedulian Yesus. Gereja harus terus memperjuangkan karya Yesus yang menembus sekat atau tembok. Mengapa Yesus meruntuhkan tembok-tembok pemisah itu? Ya, karena tembok-tembok itu akan menjauhkan manusia dari kasih Allah dan memisahkan manusia dari cinta kasih akan sesamanya. Jadi sangatlah mengherankan jika sekarang terjadi gereja membangun kembali sekat atau tembok pemisah yang dulu telah dihancurkan oleh Yesus dan para rasulnya. 
Pandanglah setiap orang sebagai anggota-anggota keluarga Allah, maka kita akan dapat memerlakukan mereka dengan semestinya seperti perlakuan Yesus pada setiap orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar