Francis Dewar bertutur sebuah dongeng. Alkisah, ada seorang raja yang
kaya raya. Sang raja mempunyai sebuah batu rubi sangat besar dan indah, tentu
harganya tak ternilai. Batu rubi begitu menawan hati sang raja sehingga setiap
hari raja akan selalu memandangi batu itu dengan sangat bangga.
Pada suatu hari, ia sangat cemas dan begitu sedih. Pasalnya, dia
menemukan batu rubinya telah tergores. Lalu, raja memanggil semua tukang
permata di seluruh negeri untuk memeriksanya dan melakukan sesuatu untuk
memperbaikinya. Setelah mencermati dan meneliti permata sang raja, para tukang
permata itu sepakat bahwa perbaikan yang dilakukan dapat menyebabkan kerusakan
yang lebih parah. Maka sebaiknya permata itu tidak usah dilakukan perbaikan.
Sang raja menjadi putus asa, semakin sedih dan murung. Kemudian dia menawarkan
sebuah hadiah yang sangat besar kepada tukang permata yang dapat memperbaiki
batu rubinya. Beberapa tukang permata datang untuk mencoba peruntungan, tetapi
semua tidak dapat melakukan apa pun terhadap batu permata sang raja.
Beberapa hari kemudian, seorang pelayan raja melaporkan bahwa dia
mendengar pembicaraan tentang seorang mantan tukang permata yang tinggal di
daerah terpencil di negeri itu. Mantan tukang permata ini dikenal sangat
berpengalaman dalam mengtasi kerusakan-kerusakan permata murni. Maka, segeralah
mantan tukang permata itu dipanggil menghadap ke istana. Dia seorang tua,
berpostur tubuh kecil nan bungkuk dalam balutan pakaian yang lusuh. Para
pembesar istana, jangankan menaruh hormat, memandang sebelah mata pun tidak.
Mereka meragukan dan mempertanyakan keputusan raja. Bagi mereka raja sedang
membuang-buang waktu saja. Namun, sang raja bersihkeras bahwa mantan tukang
permata itu pantas diberi kesempatan untuk melihat batu rubi yang tergores itu.
Mantan tukang permata itu memandangi batu rubi kebanggaan sang raja. Ia
mengambil waktu beberapa saat untuk memerhatikan batu rubi itu dengan cermat. Kemudian ia berkomentar, “Maafkan
saya, tuanku raja. Saya tidak dapat memperbaiki batu rubimu, tetapi jika engkau
berkenan saya dapat membuatnya lebih indah.”
Raja sedikit meragukannya, tetapi dia sudah sangat berputus asa bahwa
tidak ada yang dapat dilakukannya lagi terhadap batu rubi kebanggaannya itu.
Bukankah selama ini ia sudah mengerahkan kemampuan seluruh tukang batu permata
dan semuanya mengtakan tidak bisa melakukan apa-apa terhadap batu rubi itu.
Kemudian, raja memersilahkan mantan tukang batu permata itu untuk
mengerjakannya. Segeralah si mantan tukang permata itu mulai bekerja, ia
memotong, menggosok dan memoles batu permata itu. Beberapa hari kemudian, dia
menghadap raja dengan membawa batu rubi yang udah dikerjakannya. Di atas batu
permata raja yang murni itu, ia telah memahat bunga mawar yang sangat indah dan
rumit yang alurnya dibentuk dari goresan yang telah membuatnya cacat! Sang raja
sama sekali tidak menduga bahwa kini permatanya jauh lebih indah ketimbang
sebelum mengalam keretakan. Mantan tukang permata itu telah mengerjakan dengan
sempurna permatanya melampaui harapan yang diinginkan sang raja.
Dalam kesulitan dan keterpurukan, ketika kita diliputi pesimisme oleh
karena sesuatu kepahitan yang merusak rencana hidup sering membuat kita tidak
berdaya. Akhirnya, ketika kita berdoa pun tidak disertai dengan mantapnya
keyakinan! Paulus mengajar berbeda:
“Bagi Dialah, yang dapat
melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti
yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.” (Efesus 3:20). Kalimat ini merupakan bagian akhir
doa (doksologi) dari Paulus untuk Jemaat di Efesus. Dalam perikop Efesus
3:14-21 tiga kali Paulus menyebutkan: “Aku
berdoa, supaya…”
Pertama, “Aku berdoa supaya Ia,
menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di
dalam batinmu,…(ay.16). Paulus menyadari bahwa hidup menjadi pengikut Yesus
akan mengalami banyak tantangan. Hal ini dialami sendiri oleh Paulus sendiri.
Ia dipenjarakan (Efesus 3:1) oleh orang-orang yang tidak senang akan aktivitas
pemberitaan Injil yang dilakukan oleh Paulus. Dari dalam sendiri, Paulus
menghadapi tantangan dari saudara-saudara seiman yang menggugat kerasulannya
mengingat masa lalunya yang menganiaya orang-orang Kristen. Oleh karena itulah Paulus
menyadari bahwa dirinya adalah orang yang paling hina di antara orang kudus
(Efesus 3:8). Jadi, tantangan itu bisa datang dari eksternal : orang-orang yang
membenci kekristenan. Dan internal : sesama saudara seiman yang mempunyai
pemahaman berbeda. Untuk mengatasi hal ini bukan saja mengharapkan TUHAN yang
mengubah segalanya, Paulus meminta supaya umat TUHAN itu berakar dan berdasar
dalam kasih. Tentu yang dimaksud adalah kasih Kristus.
Kedua, “Aku berdoa, supaya kamu
bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan
panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus,...” (Efesus 3:18).
Rupanya, Paulus menyadari bahwa untuk memahami kasih Allah itu tidaklah mudah.
Manusia sering memahami bahwa kalau Allah itu Mahakasih maka apa pun yang
diminta pasti akan diberikan. Pengalaman Paulus ternyata tidak begitu.
Contohnya, tiga kali Paulus meminta agar kelemahannya, yakni duri dalam daging
diangkat. Namun, nyatanya tidak. Malah dengan kelemahannya itu Paulus dapat
bermegah, bukan pada dirinya sendiri melainkan karena pertolongan TUHAN. Bagi
Paulus kasih Allah yang lebar, luas, tinggi dan dalam itu tidak membebaskannya
dari pelbagai kesulitan dan penderitaan, melainkan Dialah yang memampukan
Paulus menghadapi semua tantangan itu.
Ketiga, “Aku berdoa, supaya kamu
dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.” (Efesus 3:19b). Paulus
mendoakan agar pengikut Kristus mempunyai iman yang dinamis menuju kepada
kesempurnaan yang Allah inginkan. Setiap orang percaya mestinya menyadari bahwa
kita semua harus terus menerus bertumbuh.
Jika kita mencermati doa yang diungkapkan Paulus maka kita menemukan ada
dua pihak, yakni Allah dan orang percaya yang bekerja bersama untuk mendapatkan
hasil optimal. Pada satu pihak, Paulus berdoa supaya Allah menguatkan,
meneguhkan, menyempurnakan pemahaman umat. Di pihak lain, Paulus meminta agar
orang percaya berakar dan berdasar dalam kasih Kristus; berusaha memahami dan
mengenal betapa lebar, panjang, tinggi dan dalamnya kasih Kristus. Dan kemudian
umat terus-menerus berusaha hidup dalam kepenuhan Allah, yakni iman yang terus
bertumbuh ke arah kesempurnaan. Paulus, berdasarkan pengalaman imannya sendiri,
meyakini jika doa dilakukan dengan serius (dalam permohonan kepada Allah dan
tindakan nyata mengupayakan hidup yang berkenan kepada Allah) maka hasilnya
pasti menakjubkan :
“Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita
doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam
kita.” (Efesus 3:20)
Sering kita tidak melihat dan
menikmati jawaban doa dari TUHAN oleh karena kita tidak serius dalam berdoa.
Kita hanya mau menerima hasilnya dan tidak mau menuntut diri sendiri berupaya
mengenal kasih Allah dan hidup di dalam kasih-Nya itu. Kita sering marah mana
kala kesultan dan penderitaan menghampiri kita, tanpa mau belajar mengenal
bahwa dalam hal yang tidak menyenangkan sekalipun TUHAN tetap setia dan terus
melimpahkan cinta kasih-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar