Jumat, 03 April 2015

KRISTUS YANG BANGKIT TIDAK MEMBEDAKAN ORANG


Paskah 2015

Empat Injil mencatat peristiwa kebangkitan Yesus. Masing-masing mempunyai keunikannya tersendiri. Keempat Injil tidak menampikkan peran murid perempuan. Murid perempuanlah yang pertama kali datang ke kebur Yesus dan menyaksikan bahwa kubur itu udah kosong sekaligus pernyataan dari yang ilahi bahwa penyebab kosongnya kubur itu karena Yesus sudah bangkit! Namun, setelah itu, masing-masing Injil punya narasi berbeda. Markus mengisahkan di akhir persitiwa kubur kosong itu dengan para perempuan yang meninggalkan kubur itu dengan gentar dan dasyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun karena takut (Markus 16:8). Matius mencatat bahwa para perempuan itu pergi dari kubur dengan takut sekaligus diliputi kegembiraan besar. Lalu mereka buru-buru berlari untuk memberitahukan kabar itu kepada para murid yang lain (Matius 28:8).  Lain lagi dengan Lukas. Ia menceritakan kisah penampakan Yesus kepada Petrus, lalu kepada dua orang murid yang menuju Emaus dan kemudian penampakan kepada para murid. Lalu kisah ini berakhir dengan tugas pengutusan kepada para murid dan Yesus naik ke surga.

Sama seperti penulis Injil sinoptik, Yohanes merekam kisah kebangkitan Yesus dengan kisah perempuan yang pergi ke kubur Yesus. Berbeda dengan Injil yang lain, Yohanes menyebutkan bahwa yang datang ke kubur Yesus itu menyebut hanya seorang perempuan saja, yakni Maria Magdalena. Ia pergi ke makam Yesus pada hari pertama minggu itu, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap (Yohanes 20:1). Ia sampai di kubur itu dan menjumpai kenyataan bahwa batu penutup kubur telah diambil, artinya kubur Yesus sudah terbuka. Melihat kenyataan itu, Maria segera berlari mendapatkan Simon Petrus dan murid yang lain, yang dikasihi Yesus. Atas kenyataan itu, Maria menyimpulkan kepada mereka bahwa mayat Yesus telah diambil orang.

Mendengar laporan Maria Magdalena, Petrus dan “murid yang lain” itu bergegas menuju kubur Yesus. Murid yang dikasihi itu lari lebih cepat sehingga ia lebih dulu tiba di kubur Yesus. Ia menengok ke dalam kubur tetapi tidak masuk. Petrus yang datang kemudian, langsung masuk ke dalam makam. Di dalamnya, ia melihat kain kafan terletak di tanah sedangkan kain peluh tidak terletak dekat kain kafan. Kain kafan biasanya digunakan untuk membungkus tubuh jenazah sedangkan kain peluh dipergunakan untuk menutupi wajah jasad seseorang yang sudah meninggal dalam budaya Yahudi. Murid yang dikasihi itu melihat dan langsung percaya. Mereka segera pulang. Di manakah Maria Magdalena? Apakah ia turut pulang juga bersama dua murid laki-laki itu?

Tidak! Maria masih berada di kubur itu. “Tetapi Maria berdiri dekat kubur itu dan menangis. Sambil menangis, ia menjenguk ke dalam kubur itu.”(Yoh.20:11). Ternyata setelah kisah Petrus dan murid yang dikasihi meninggalkan kubur itu, kisah tentang Maria masih berlanjut. Sayang, Petrus dan murid yang dikasihi itu tidak menyaksikan adegan penampakan dua orang malaikat yang berpakaian putih. Maria keukeuh pada pendiriannya, yang ada dibenaknya adalah bahwa Tuhannya telah dicuri dan diambil orang. Itulah sebabnya ia menangis di kubur Yesus. Gambaran ini menyiratkan kepada kita begitu dasyatnya kuasa kematian. Meskipun berkali-kali Yesus sudah mengingatkan kepada para murid-Nya bahwa Ia akan menderita kesengsaraan hebat, berakhir dengan kematian tragis di kayu salib dan pada hari ketiga akan bangkit lagi. Namun, ternyata para murid dan khususnya dalam konteks ini Maria, tidak mempercayainya. Kematian telah menelan semua janji-janji Tuhan. Bahkan ketika Maria menoleh ke belakang dan mendapati sosok Yesus berhadapan dengan dirinya, ia pun tidak mengenalinya.

Jalan pikiran Maria sudah diliputi kesedihan dan berada di bawah kuasa kematian itu. Sang Guru yang kini menyapanya dicurigai sebagai sosok orang yang mencuri jasad Tuhannya. “Tuan, jikalau Tuan yang mengambil Dia, katakan kepadaku, di mana Tuan meletakkan DIa supaya aku dapat mengambil-Nya?”(Yoh.20: 15). Yesus kemudian menyebut nama Maria. Saat itu juga, Maria mengenali siapa yang sedang berbicara dengannya. Maria berpaling dan berkata kepada-Nya dalam bahasa Ibrani : “Rabuni!”, artinya, Guruku!

Di sini kita dapat belajar dan memahami: begitu dasyatnya kuasa kematian, pelbagai peringatan dan pernyataan Yesus tentang kehidupan seolah ditelan bulat-bulat. Bukankah hal yang sama menjadi pengalaman kita juga. Berhadapan dengan kemelut, apalagi kematian membuat kita lupa akan janji-janji-Nya. Kita lebih sering dihanytkan oleh kuasa kematian itu. Kita menjadi takberdaya. Kita menjadi sama seperti Maria yang tidak dapat mengenali wajah Tuhan, yang tidak peka mendengar suara-Nya. Kita menjadi buta oleh kuasa maut itu! Dapatkah kuasa kebangkitan Tuhan itu mempunyai arti dalam kemelut?

Yesus yang bangkit itu memanggil Maria dengan namanya. Maria sadar bahwa Tuhannya tidak mati, Ia bangkit dan kini berhadapan muka dengannya! Dampaknya, segera lenyaplah kuasa maut yang meliputi diri Maria. Kuasa kebangkitan itu bagi Maria sungguh sangat nyata, menjadi pengalaman empirik. Kuasa itu membuat Maria segera dapat mengatasi kesedihannya. Kita sering berdebat tentang peristiwa kebangkitan Yesus, bahkan berani mempertaruhkan apa saja untuk membela doktrin kebangkitan. Yang sering membuat kita lupa adalah, apakah kebangkitan Yesus itu telah menjadi pengalaman empirik kita? Bagaimana ketika kita berhadapan dengan kemelut dan tragedi, apakah kuasa kebangkitan itu berbicara? Atau tetap sunyi di alam kubur?

Segera sesudah menyadari bahwa Yesus bangkit, Maria tidak ingin kehilangan Yesus lagi. Ia berusaha memegangi Yesus. Yesus berkata kepadanya, “Jangan engkau memegang AKu, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang AKu akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.”(Yoh.20:17). Dalam Injil Yohanes, Yesus sendirilah yang menyatakan kebangkitan-Nya. Ia menemui Maria secara langsung dan mengutusnya untuk menyatakan kebangkitan itu kepada murid-murid yang lain.

Kegembiraan Maria seolah ingin dirasakan lebih lama oleh dirinya. Rupanya ia terus memegangi Yesus. Dalam pernyataan Yesus kepada Maria Magdalena itu, kata haptau adalah imperatif presens. Oleh karena itu, dari aturan gramatik, pernyataan Yesus itu harus diterjemahkan: “Berhentilah memegang-Ku”, bukan sekedar “jangan memegang Aku”. Saat itu, dari bahasa yang digunakan, sebenarnya Maria sudah memegang Yesus dan Yesus memintanya untuk berhenti memegang-Nya. Ia tidak boleh terus-menerus memegang Yesus. Ada tugas yang belum selesai baik bagi Yesus sendiri maupun bagi Maria. Bagi Yesus, karena Ia belum kembali kepada Bapa-Nya. Sedangkan Maria mempunyai tugas perutusan, yakni menyampaikan kabar baik itu kepada murid-murid yang lain. Seolah Yesus ingin mengatakan bahwa kebangkitan-Nya tidak boleh digenggam hanya untuk diri Maria sendiri. Maria diutus Yesus untuk menyampaikan peristiwa kebangkitan itu kepada para murid yang lain. Dalam narasi kebangkitan menurut Yohanes, Maria Magdalena telah menjadi apostola apostolorum, rasul bagi para rasul.

Siapakah Maria Magdalena ini? Dari nama belakangnya, tampaknya ia berasal dari Magdala, suatu desa di Galilea. Sebagian besar penduduk Galilea dihuni oleh bangsa-bangsa non Yahudi (Yes. 8:23). Orang-orang Yahudi pada zaman Yesus tidak menyukai orang Galilea (Yoh.7:52). Besar kemungkinan Maria bukanlah orang Yahudi. Dalam tatanan ketahiran Yudaisme Maria menempati kelas “teri”. Perempuan sekaligus orang-orang yang tidak disukai oleh kebanyakan orang Yahudi. Namun, kepada orang yang terpinggirkan menurut strata sosial Yahudi, Yesus justeru memakainya sebagai orang yang teramat penting. Saksi pertama dari kebangkitan-Nya sekaligus rasul bagi para rasul! Yesus tidak pernah mamandang status seseorang. Ingat dulu ketika kelahiran-Nya, yang pertama kali mendengar kabar gembira itu bukan para pembesar atau penguasa, melainkan kaum gembala! Allah berkenan memakai orang-orang sederhana, Ia tidak pernah membeda-bedakan orang! 

Betapa pun sederhananya kita, Allah mau menyapa kita. Allah tidak pernah membeda-bedakan orang. Ia ingin kuasa kebangkitan-Nya bukan hanya menjadi bahan polemik, melainkan dapat dialami oleh semua orang. Dan semua orang, termasuk kita di dalamnya, yang telah mengalaminya, diminta-Nya seperti Maria Magdalena untuk mewartakannya kepada sesama kapan dan di mana pun kita berada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar