Rabu, 01 April 2015

DIPERDAMAIKAN MELALUI KEMATIAN KRISTUS

Jumat Agung 2015

Tahun ini narasi sengsara Yesus diambil dari Injil Yohanes. Meskipun secara garis besar kisah penyaliban Yesus boleh dikatakan relatif sama, namun di sana-sini ada perbedaan antara Yohanes dan Injil sinoptik (Matius, Markus, Lukas). Dalam Injil Yohanes sama sekali tidak tergambar bagaimana beratnya Yesus bergumul di taman Getsemani. Yohanes menyebut taman itu berada di seberang sungai Kidron (Yoh.18:1). Lembah Kidron dalam Perjanjian Lama di kenal sebagai sebuah lembah tempat pembuangan patung berhala Asyera, semua yang nazis, mezbah kurban ukupan (2 Taw. 15:16; 29:16; 30:14). Raja Daud menjadikan tempat ini sebagai tempat pelarian dari pasukan Absalom (2 Sam.15:14).

Berbeda dengan Getsemani, taman seberang sungai Kidron tidak menggambarkan krisis Yesus yang sedang gentar, “seperti mau mati rasanya.” Di sini pun tidak terdengar doa, “Ya Bapa, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku.” Atau gambaran peluh Yesus yang menjadi seperti titik-titik darah, seperti yang dituturkan Lukas. Dalam tradisi sinoptik, Yesus pergi ke situ untuk bergumul dan berdoa. Yohanes mengisahkan bahwa Yesus pergi ke taman itu setelah selesai Ia berdoa. Apakah Yohanes mengabaikan pergumulan berat Yesus seperti dalam Injil sinoptik? Tidak! Krisis itu telah diselesaikan, jauh sebelum malam penangkapan Yesus. Yohanes mencatatnya, “Sekarang jiwa-Ku terharu. Apa yang harus Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak! Sebab untuk itulah Aku datang. Bapa, muliakanlah nama-Mu! Maka terdengarlah suara dari sorga: ‘Aku telah memuliakan-Nya dan akan memuliakan-Nya lagi” (Yoh.12:27-28).

Menghadapi malam penangkapan-Nya, Yesus sudah tahu pasti. Menghadapi segala fitnah dan dakwaan rekayasa Ia telah sadar betul. Menghadapi siksaan dan kematian yang mengerikan, bagi Yesus bukanlah misteri. Salib, dalam narasi Yohanes bukan sebuah tragedi mengerikan. Salib adalah jalan peninggian dan pemuliaan-Nya (lihat Yoh.12:28 “…akan memuliakan-Nya lagi” ). Salib adalah jalan kembalinya Yesus kepada Sang Bapa! Oleh karena itu Getsemani yang identik dengan derita dan krisis Yesus tidak ditemukan dalam kerangka Injil Yohanes.

Adalah Yudas, salah seorang murid Yesus yang berhianat. Yohanes mencatat bahwa Yudas pergi kepada orang-orang yang membenci-Nya. Yudas datang ke lembah Kidron itu disertai sepasukan prajurit (speira), diperkirakan jumlahnya 500 prajurit ditambah para petugas jaga Bait Allah yang disuruh oleh para imam dan orang Farisi. Jumlah personil pasukan yang fantastis hanya untuk menangkap satu orang yang tidak bersenjata. Mereka datang pada waktu malam dengan lentera, suluh dan senjata. Sangat mungkin gambaran ini mengandung makna simbolik tentang kegelapan. Kosakata malam masuk dalam simbolisme Yohanes. Yudas meninggalkan Yesus dan murid-murid yang lain pada waktu malam. Sekarang, dia bergabung dengan prajurit Romawi, penjaga dan pengawal Bait Allah datang dari kegelapan (malam) dengan membawa obor mencari Sang Terang. Ini sebuah ironi, Yudas meninggalkan Saang Terang dan bergabung dengan kegelapan untuk melenyapkan Sang Terang itu. Bukankah seringkali seseorang rela meninggalkan Sang Terang ketika harapannya tidak terpenuhi? Ia mencari jalan dengan cara-cara kegelapan. Bukankah kita dapat berpaling dari-Nya mana kala kita merasa diri minoritas dibanding dengan kegelapan yang mayoritas? Kita sering takut dan gentar - meskipun benar - ketika berhadapan dengan kekuatan mayoritas yang gelap dan kemudian memilih menjadi bagian dari kegelapan itu!

Berhadapan dengan mayoritas kegelapan, Yohanes mengisahkan Yesus sama sekali tidak gentar, Ia menguasai “panggung”. Yohanes tidak mencatat ciuman Yudas, bagi Yohanes cukuplah jelas bahwa Yudas kini sudah berada di pihak kegelapan. Dengan lantang Yesus menjawab, “Akulah Dia!” Ego eimi! Kepada orang yang hendak menangkap-Nya.  Kalau injil sinoptik mencatat para murid kocar-kacir melarikan diri. Yohanes tidak. Yesuslah yang mempersilahkan mereka pergi (Yoh.18:8). Meskipun demikian, Petrus dan murid yang lain tetap mengikuti Yesus sampai di rumah imam besar untuk diadili. Pengadilan rekayasa berlangsung di hadapan imam besar Hanas dan di sinilah Petrus tiga kali menyangkal sebagai pengikut Yesus dari Hanas dibawa ke Pilatus. Namun, Pilatus tidak menemukan kesalahan dalam diri Yesus.

Jalan salib yang ditempuh Yesus adalah jalan salib personal. Sendiri! Ia menanggung susah payah sendiri sebagai bagian dari ketaatan-Nya kepada Sang Bapa. Tidak disebutkan bantuan dari Simon Kirene yang membantu memikul salib Yesus. Tidak tampil para wanita yang menangisi-Nya. Tidak ada olok-olok. Tidak ada penjahat yang bertobat. Tidak ada kegelapan. Tidak ada penghitungan jam. Tidak ada tabir Bait Allah terbelah. Tidak ada seruan kenestapaan. Tidak ada gempa. Tidak ada kuburan-kuburan terbuka. Dan tidak ada perwira yang mengakui Yesus sebagai Anak Allah. Tidak dikisahkan bahwa Yesus ditelentangkan kemudian dipaku tangan dan kaki-Nya. Kita tahu bahwa Yesus dipaku di kayu salib hanya dari kisah penampakan kepada Tomas ketika Yesus meminta Tomas untuk mencucukkan jari pada bekas luka di tangan dan lambung-Nya. Sangat berbeda dengan The Passion of Christ karya Mel Gibson.

Hanya Yohanes yang mengisahkan bahwa Pilatus memerintahkan untuk menuliskan tulisan yang ditempatkan di salib Yesus. Juga hanya dalam Injil Yohanes, kita menemukan tulisan lengkap: “Yesus orang Nazaret, Raja orang Yahudi.” Dalam tiga bahasa, Ibrani, Latin dan Yunani. Ibrani adalah bahasa sehari-hari orang Yahudi, Latin adalah bahasa resmi pemerintahan Romawi dan Yunani adalah bahasa komunikasi antar bangsa. Semua orang, semua kalangan tahu dan mengerti apa yang tertulis pada salib Yesus. Fakta ini menampakkan kemaharajaan universal Yesus.

Perlahan namun pasti, kita mengerti mengapa Yohanes menampilkan narasi kesengsaraan Yesus ini berbeda dari injil sinoptik. Yohanes ingin menampilkan Yesus sebagai Raja Orang Yahudi, yang mencapai titik tertinggi kemuliaan-Nya di kayu salib! Sejak awal Injil, Yesus tampil sebagai Raja Israel. Hanya dalam Injil Yohanes, gelar itu membuat orang-orang Yahudi protes. Mereka tidak mengakui bahwa Yesus adalah Raja mereka. Oleh karena itu mereka meminta pilatus untuk mengubah tulisan itu. Mereka meminta agar pilatus menulis bahwa Yesus menyebut diri-Nya raja orang Yahudi. Pilatus menolak permintaan itu, “Apa yang kutulis, tetaplah tertulis.” Barangkali bukan sebuah kebetulan Pilatus tetap dengan pendiriannya tentang tulisan di kayu salib. Semua orang pada konteks zaman itu bisa melihat dan membacanya bahwa Yesus orang Nazaret, Raja orang Yahudi!

Dalam mengisahkan kematian Yesus, Yohanes masih setia dengan prespektifnya: Yesus menguasai dan mengontrol situasi. Kematian-Nya tidak disertai dengan jeritan yang mempertanyakan mengapa Allah meninggalkan-Nya. Sebaliknya, Ia mati dengan kesadaran bahwa Ia telah menjalankan tugas yang dipercayakan Sang Bapa kepada-Nya. Oleh karena itu Ia berkata, “Sudah selesai!” Tidak dikatakan juga bahwa Yesus mati, tetapi Yesus menyerahkan nyawa-Nya. Ia memasuki kesengsaraan dengan penuh kesadaran. Sekarang Ia harus mengakhirinya juga dengan kesadaran itu. Yesus menggenapi dengan tepat apa yang dulu disuarakan oleh Yesaya tentang hamba yang menderita itu (Yesaya 52:13-53:12), yang melalui-Nya manusia didamaikan dengan Allah. Oleh bilur-bilurnya kita disembuhkan!

Yesus menjalankan misi Allah di dunia dengan kesadaran. Dampak dari kesetiaan dalam kesadaran-Nya, membuahkan kasih karunia, “Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia; sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus.” (Yohanes 1:16,17).

Kini, sebagai orang-orang tebusan-Nya, kita adalah pembawa terang. Jangan lagi kita memisahkan diri dari terang itu seperti Yudas yang kemudian memilih bersekutu dengan kegelapan. Peliharalah persekutuan dengan baik. Jangan memisahkan diri dari pertemuan ibadah, marilah kita saling menasihati dan mendukung serta giat melakukan pekerjaan Tuhan (Ibrani 10:25). Peliharalah terang itu, betapa pun kecilnya terang pasti akan mengenyahkan kegelapan. Betapa pun gelapnya kegelapan, tidak akan menguasai terang.

Memanfaatkan tafsiran “YOHANES, Firman Menjadi Manusia.” Karya St. Eko Riyadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar