Jumat Agung 2015
Tahun ini narasi sengsara Yesus diambil dari Injil Yohanes. Meskipun
secara garis besar kisah penyaliban Yesus boleh dikatakan relatif sama, namun
di sana-sini ada perbedaan antara Yohanes dan Injil sinoptik (Matius, Markus,
Lukas). Dalam Injil Yohanes sama sekali tidak tergambar bagaimana beratnya
Yesus bergumul di taman Getsemani. Yohanes menyebut taman itu berada di
seberang sungai Kidron (Yoh.18:1). Lembah Kidron dalam Perjanjian Lama di kenal
sebagai sebuah lembah tempat pembuangan patung berhala Asyera, semua yang nazis,
mezbah kurban ukupan (2 Taw. 15:16; 29:16; 30:14). Raja Daud menjadikan tempat
ini sebagai tempat pelarian dari pasukan Absalom (2 Sam.15:14).
Berbeda dengan Getsemani, taman seberang sungai Kidron tidak
menggambarkan krisis Yesus yang sedang gentar, “seperti mau mati rasanya.” Di sini pun tidak terdengar doa, “Ya Bapa, jikalau Engkau mau, ambillah cawan
ini dari pada-Ku.” Atau gambaran peluh Yesus yang menjadi seperti
titik-titik darah, seperti yang dituturkan Lukas. Dalam tradisi sinoptik, Yesus
pergi ke situ untuk bergumul dan berdoa. Yohanes mengisahkan bahwa Yesus pergi
ke taman itu setelah selesai Ia berdoa. Apakah Yohanes mengabaikan pergumulan
berat Yesus seperti dalam Injil sinoptik? Tidak! Krisis itu telah diselesaikan,
jauh sebelum malam penangkapan Yesus. Yohanes mencatatnya, “Sekarang jiwa-Ku terharu. Apa yang harus Kukatakan? Bapa,
selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak! Sebab untuk itulah Aku datang. Bapa,
muliakanlah nama-Mu! Maka terdengarlah suara dari sorga: ‘Aku telah
memuliakan-Nya dan akan memuliakan-Nya lagi” (Yoh.12:27-28).
Menghadapi malam penangkapan-Nya, Yesus sudah tahu pasti. Menghadapi
segala fitnah dan dakwaan rekayasa Ia telah sadar betul. Menghadapi siksaan dan
kematian yang mengerikan, bagi Yesus bukanlah misteri. Salib, dalam narasi
Yohanes bukan sebuah tragedi mengerikan. Salib adalah jalan peninggian dan
pemuliaan-Nya (lihat Yoh.12:28 “…akan
memuliakan-Nya lagi” ). Salib adalah jalan kembalinya Yesus kepada Sang
Bapa! Oleh karena itu Getsemani yang identik dengan derita dan krisis Yesus
tidak ditemukan dalam kerangka Injil Yohanes.
Adalah Yudas, salah seorang murid Yesus yang berhianat. Yohanes mencatat
bahwa Yudas pergi kepada orang-orang yang membenci-Nya. Yudas datang ke lembah
Kidron itu disertai sepasukan prajurit (speira),
diperkirakan jumlahnya 500 prajurit ditambah para petugas jaga Bait Allah yang
disuruh oleh para imam dan orang Farisi. Jumlah personil pasukan yang fantastis
hanya untuk menangkap satu orang yang tidak bersenjata. Mereka datang pada
waktu malam dengan lentera, suluh dan senjata. Sangat mungkin gambaran ini
mengandung makna simbolik tentang kegelapan. Kosakata malam masuk dalam
simbolisme Yohanes. Yudas meninggalkan Yesus dan murid-murid yang lain pada
waktu malam. Sekarang, dia bergabung dengan prajurit Romawi, penjaga dan
pengawal Bait Allah datang dari kegelapan (malam) dengan membawa obor mencari
Sang Terang. Ini sebuah ironi, Yudas meninggalkan Saang Terang dan bergabung
dengan kegelapan untuk melenyapkan Sang Terang itu. Bukankah seringkali
seseorang rela meninggalkan Sang Terang ketika harapannya tidak terpenuhi? Ia
mencari jalan dengan cara-cara kegelapan. Bukankah kita dapat berpaling
dari-Nya mana kala kita merasa diri minoritas dibanding dengan kegelapan yang
mayoritas? Kita sering takut dan gentar - meskipun benar - ketika berhadapan
dengan kekuatan mayoritas yang gelap dan kemudian memilih menjadi bagian dari
kegelapan itu!
Berhadapan dengan mayoritas kegelapan, Yohanes mengisahkan Yesus sama
sekali tidak gentar, Ia menguasai “panggung”. Yohanes tidak mencatat ciuman
Yudas, bagi Yohanes cukuplah jelas bahwa Yudas kini sudah berada di pihak
kegelapan. Dengan lantang Yesus menjawab, “Akulah Dia!” Ego eimi! Kepada orang yang hendak menangkap-Nya. Kalau injil sinoptik mencatat para murid kocar-kacir
melarikan diri. Yohanes tidak. Yesuslah yang mempersilahkan mereka pergi
(Yoh.18:8). Meskipun demikian, Petrus dan murid yang lain tetap mengikuti Yesus
sampai di rumah imam besar untuk diadili. Pengadilan rekayasa berlangsung di
hadapan imam besar Hanas dan di sinilah Petrus tiga kali menyangkal sebagai
pengikut Yesus dari Hanas dibawa ke Pilatus. Namun, Pilatus tidak menemukan
kesalahan dalam diri Yesus.
Jalan salib yang ditempuh Yesus adalah jalan salib personal. Sendiri! Ia
menanggung susah payah sendiri sebagai bagian dari ketaatan-Nya kepada Sang
Bapa. Tidak disebutkan bantuan dari Simon Kirene yang membantu memikul salib
Yesus. Tidak tampil para wanita yang menangisi-Nya. Tidak ada olok-olok. Tidak
ada penjahat yang bertobat. Tidak ada kegelapan. Tidak ada penghitungan jam.
Tidak ada tabir Bait Allah terbelah. Tidak ada seruan kenestapaan. Tidak ada
gempa. Tidak ada kuburan-kuburan terbuka. Dan tidak ada perwira yang mengakui
Yesus sebagai Anak Allah. Tidak dikisahkan bahwa Yesus ditelentangkan kemudian
dipaku tangan dan kaki-Nya. Kita tahu bahwa Yesus dipaku di kayu salib hanya
dari kisah penampakan kepada Tomas ketika Yesus meminta Tomas untuk mencucukkan
jari pada bekas luka di tangan dan lambung-Nya. Sangat berbeda dengan The Passion of Christ karya Mel Gibson.
Hanya Yohanes yang mengisahkan bahwa Pilatus memerintahkan untuk
menuliskan tulisan yang ditempatkan di salib Yesus. Juga hanya dalam Injil
Yohanes, kita menemukan tulisan lengkap: “Yesus orang Nazaret, Raja orang
Yahudi.” Dalam tiga bahasa, Ibrani, Latin dan Yunani. Ibrani adalah bahasa
sehari-hari orang Yahudi, Latin adalah bahasa resmi pemerintahan Romawi dan
Yunani adalah bahasa komunikasi antar bangsa. Semua orang, semua kalangan tahu
dan mengerti apa yang tertulis pada salib Yesus. Fakta ini menampakkan
kemaharajaan universal Yesus.
Perlahan namun pasti, kita mengerti mengapa Yohanes menampilkan narasi
kesengsaraan Yesus ini berbeda dari injil sinoptik. Yohanes ingin menampilkan
Yesus sebagai Raja Orang Yahudi, yang mencapai titik tertinggi kemuliaan-Nya di
kayu salib! Sejak awal Injil, Yesus tampil sebagai Raja Israel. Hanya dalam
Injil Yohanes, gelar itu membuat orang-orang Yahudi protes. Mereka tidak
mengakui bahwa Yesus adalah Raja mereka. Oleh karena itu mereka meminta pilatus
untuk mengubah tulisan itu. Mereka meminta agar pilatus menulis bahwa Yesus
menyebut diri-Nya raja orang Yahudi. Pilatus menolak permintaan itu, “Apa yang
kutulis, tetaplah tertulis.” Barangkali bukan sebuah kebetulan Pilatus tetap
dengan pendiriannya tentang tulisan di kayu salib. Semua orang pada konteks
zaman itu bisa melihat dan membacanya bahwa Yesus orang Nazaret, Raja orang
Yahudi!
Dalam mengisahkan kematian Yesus, Yohanes masih setia dengan
prespektifnya: Yesus menguasai dan mengontrol situasi. Kematian-Nya tidak
disertai dengan jeritan yang mempertanyakan mengapa Allah meninggalkan-Nya.
Sebaliknya, Ia mati dengan kesadaran bahwa Ia telah menjalankan tugas yang
dipercayakan Sang Bapa kepada-Nya. Oleh karena itu Ia berkata, “Sudah selesai!”
Tidak dikatakan juga bahwa Yesus mati, tetapi Yesus menyerahkan nyawa-Nya. Ia
memasuki kesengsaraan dengan penuh kesadaran. Sekarang Ia harus mengakhirinya
juga dengan kesadaran itu. Yesus menggenapi dengan tepat apa yang dulu
disuarakan oleh Yesaya tentang hamba yang menderita itu (Yesaya 52:13-53:12),
yang melalui-Nya manusia didamaikan dengan Allah. Oleh bilur-bilurnya kita
disembuhkan!
Yesus menjalankan misi Allah di dunia dengan kesadaran. Dampak dari
kesetiaan dalam kesadaran-Nya, membuahkan kasih karunia, “Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi
kasih karunia; sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi karunia dan
kebenaran datang oleh Yesus Kristus.” (Yohanes 1:16,17).
Kini, sebagai orang-orang tebusan-Nya, kita adalah pembawa terang. Jangan
lagi kita memisahkan diri dari terang itu seperti Yudas yang kemudian memilih
bersekutu dengan kegelapan. Peliharalah persekutuan dengan baik. Jangan memisahkan
diri dari pertemuan ibadah, marilah kita saling menasihati dan mendukung serta
giat melakukan pekerjaan Tuhan (Ibrani 10:25). Peliharalah terang itu, betapa
pun kecilnya terang pasti akan mengenyahkan kegelapan. Betapa pun gelapnya
kegelapan, tidak akan menguasai terang.
Memanfaatkan tafsiran “YOHANES, Firman Menjadi Manusia.” Karya
St. Eko Riyadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar