Roxy Mas identik dengan telepon genggam, setidaknya sampai tahun 2010.
Namun, setelah itu, ITC Roxy Mas dan Roxy Square di Jalan Kyai Tapa, Jakarta
Barat, lebih dikenal sebagai sentra aksesoris atau suku cadang ponsel. Pembeli
biasanya penjual eceran yang datang dari pelbagai peloksok tanah air. Sebagian
besar aksesoris yang dijual merupakan barang-barang buatan Tiongkok. Pembeli
tinggal memilih barang dengan tingkat kualitas yang berbeda. Para pedagang dan
pembeli punya istilah sendiri untuk menandai tingkat kualitas sebuah barang.
Istilah yang mereka pergunakan adalah “KW satu”, “KW dua”, “Ori Tiongkok”, “Ori
99 persen”, sampai “Ori 100 persen”, padahal kesemua jenis barang tersebut
buatan Tiongkok!
Kawasan Roxy bukan hanya terkenal dengan aksesoris atau suku cadang
ponsel, tetapi juga ponsel rekon (rekondisi). Ponsel rekon adalah ponsel yang
sudah pernah dipakai atau cacat produksi, kemudian diganti beberapa suku
cadangnya sehingga terlihat baru. Bagi mereka yang awam akan sangat sulit
membedakan mana ponsel rekondisi dan mana yang orisinal. Salah satu cara
membedakannya adalah dengan memeriksa timer
pada mesin ponsel. Namun, timer
pun dapat dihapus. Satu-satunya cara mengetahui mana yang asli dan mana yang
palsu adalah ketika diuji kinerjanya. Pada batas-batas normal, ponsel palsu dan
ponsel orisinal menunjukkan kinerja yang sama. Namun, setelah “dibebani” pada
batasan ekstrim sesuai dengan spesifikasi yang tertera di label kemasan,
barulah akan tampak; ponsel rekondisi atau palsu kedodoran bahkan mulai error. Jadi, berhati-hatilah membeli
produk, tidak hanya ponsel, melainkan semua barang. Patokannya jangan asal
murah dan melihat penampilan luarnya saja. Periksalah, apakah dikeluarkan dan
diedarkan oleh jaringan resmi produk tersebut dan disertai jaminan garansi. Bukan
sekedar garansi toko, melainkan jaringan garansi nasional bahkan internasional.
Di dunia ini, hampir semua produk bermutu ditiru. Mengapa? Suatu produk
ditiru atau dipalsukan sebenarnya si pemalsu mengakui ada nilai atau kualitas
yang terkandung dalam produk itu. Kemudian banyak orang yang ingin memilikinya,
namun harganya terlampau mahal. Maka jadilah produk itu ditiru agar bisa dengan
mudah orang membeli dan memilikinya. Tidak hanya produk barang, profesi
seseorang pun dapat ditiru. Maka ada istilah “polisi gadungan, hakim gadungan,
dokter gadungan, pejabat gadungan, dan lain sebagainya gadungan”.
Demikian juga dengan profesi gembala. Yesus melihat ada gembala yang
benar-benar gembala tetapi juga ada sekedar gembala upahan. Yesus menyatakan
diri-Nya sebagai Gembala yang baik (Yohanes 10:11). Apa yang membedakan seorang
gembala sejati dengan orang yang diupah menjadi gembala? Secara singkat Yesus
menyebutkan bahwa Gembala yang baik mengenal domba-dombanya. Sebaliknya,
domba-dombanya mengenal gembala itu juga dengan baik. Pernyataan ini memiliki
latar belakang Perjanjian Lama. Yang perlu dicermati adalah kata “mengenal”
(Ibrani : Yadah). Mengenal tidak sama
dengan tahu secara kognitif, melainkan termaktub di dalamnya memiliki, membawa
ke dalam persatuan. Dalam pemakaiannya kata mengenal
berarti : orang yang mengenal akan melibatkan hidupnya dalam hidup orang yang
dikenalnya. Hubungan suami-isteri adalah hubungan “kenal” bukan sekedar “tahu”.
Saya mengenal isteri saya, itu berarti saya mau membuka diri, melibatkan
seluruh hidup dan kepentingan saya terhadap isteri saya. Jika Allah mengenal
umat-Nya, itu berarti, Allah mau menjadikan mereka sebagai umat kepunyaan-Nya,
membawa mereka masuk ke dalam dekapan-Nya, menjamin kehidupan mereka, dan
memanggil mereka ke dalam pelayanan-Nya.
Sebaliknya, jika dikatakan umat mengenal Allah, itu berarti mengenal
Allah sebagai Allah mereka, menyadari diri dan membawa diri sebagai orang-orang
yang dipilih Allah, dan mau terus hidup terlibat dalam rencana-Nya ditunjukkan
dengan sikap ketaatan. Singkat kata, mengenal berarti mengasihi!
Ketika Yesus mempergunakan gambaran ini, Ia menampilkan di dalam diri-Nya
sendiri relasi antara Allah dan umat-Nya. Sama seperti Ia mengenal
domba-domba-Nya, Allah juga mengenal diri-Nya. Dari sanalah, Yesus bisa
mengatakan bahwa Ia adalah pintu dan gembala bagi domba-domba. Yesus
menggunakan gambaran itu untuk memerlihatkan bahwa Bapa mengenal dan
mengutus-Nya kepada manusia. Ia harus menyerahkan nyawa-Nya bagi
domba-domba-Nya. Tidak seorang pun dapat mengambilnya, tetapi Ia memberikan
Nyawa-Nya menurut kehendak-Nya. Dengan kata lain, Allah memenuhi janji untuk
mengutus gembala bagi umat-Nya dengan mengirim Sang Gembala Baik ke
tengah-tengah mereka. Sang Gembala Baik akan membawa umat untuk mendengar suara
Allah dan mengenal-Nya.
Kisah berikut
menolong kita, apakah sebagai domba gembalaan-Nya, kita hanya sekedar tahu ataukah kita sudah
mengenal Sang Gembala Agung kita? Dikisahkan
sesudah jamuan makan malam dalam sebuah pesta yang diadakan oleh kalangan artis
Hollywood, seorang artis terkenal menyuguhkan hiburan kepada para tamu dengan
membacakan sajak-sajak karya Shakespeare. Sebagai selingan ia meminta kepada
para tamu untuk mengajukan sebuah pertanyaan atau permintaan. Seorang Pastor
tua yang pemalu bertanya apakah si artis
tahu Mazmur 23. Sang Artis menjawab, “Ya, saya tahu, dan saya akan
mendaraskannya dengan satu syarat, yaitu: apabila saya telah mendaraskan Mazmur
23 tersebut, engkau harus mengulanginya.”
Sang Pastor
mengangguk tanda sepakat dengan tawaran itu. Dengan gaya yang menawan,
mendaraskan Mazmur 23 yang berbunyi, “Tuhan
Gembalaku yang baik, aku takkan kekurangan sesuatu.....” Ketika si artis
itu selesai mengucapkan seluruh Mazmur 23, para tamu memberikan tepuk tangan sambutan yang
meriah dan sekarang tibalah giliran sang pastor. Pastor itu berdiri dan
mengucapkan kata-kata yang sama, tetapi ia tidak mendapat sambutan. Malah
suasana menjadi hening dan air mata mulai menetes dari setiap mata para tamu.
Si artis berdiam sejenak. Kemudian ia segera berdiri dan berkata, “Hadirin
sekalian yang saya hormati. Saya harap Anda sekalian menyadari apa yang telah
terjadi pada malam ini. Saya tahu dan hafal kata-kata dari Mazmur ini, tetapi
Pastor ini tahu dan mengenal Sang Gembala itu.
Berbeda dengan gembala sejati , seorang yang diupah menjadi gembala,
mungkin dalam kondisi normal tidak terlihat bedanya. Ia merawat dan menjaga
dombanya. Tetapi dalam keadaan ekstrim, gembala bayaran ini segera lari
tunggang-langgang ketika diperhadapkan dengan ancaman perampok atau binatang
buas. Siapa gerangan orang-orang upahan ini? Yang dimaksud Yesus dengan
orang-orang upahan itu pertama-tama tidak menunjuk pada orang-orang tertentu,
seperti para pemimpin Yahudi, tetapi menunjuk kepada orang yang tidak memiliki
ikatan erat dengan domba-domba.
Dalam dunia peternakan, orang-orang yang diupah untuk bertugas sebagai
gembala akan menerima sangsi hukuman berat kalau mereka kehilangan ternak yang
diurusinya, entah hilang karena dicuri atau karena diserang binatang buas.
Meskipun demikian, mereka tetap akan lari meninggalkan domba-domba itu mana
kala mereka diperhadapakan dengan ancaman serius. Mengapa demikian? Ya, karena
domba-domba itu bukan milik mereka. Mereka tidak memiliki ikatan mendalam
dengan domba-domba yang mereka jaga. Mereka tidak berani berpihak pada
domba-domba yang sedang menghadapi bahaya!
Dengan apa yang dilakukan-Nya,
sampai detik-detik terakhir hidup-Nya, Yesus telah menunjukkan diri-Nya bukan
gembala upahan, melainkan Gembala Baik itu. Gembala yang telah menyerahkan
nyawa-Nya sendiri untuk domba-domba-Nya. Sang Gembala Agung telah memberikan
tawaran kehidupan yang berlimpah, tentu bukan dalam bentuk harta, benda atau
kekuasaan. Melainkan berlimpah cinta kasih-Nya. Cinta kasih yang melampaui emas
dan perak. Ketika kita menghayatinya, maka akan memunculkan respon seperti ini,
“Demikianlah kita ketahui kasih Kristus,
yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya ntuk kita, jadi kita pun wajib
menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita….Anak-anakku, marilah kita
mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dalam perbuatan dan
dalam kebenaran.”(1 Yoh. 3:16,18). Hanya orang yang berkelimpahan cinta
kasihlah yang sanggup memberi dengan setulus-tulusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar