Pra-paskah IV
Ada sebuah kisah legenda Swedia, suatu pagi yang cerah, saat itu hutan
begitu terasa hening dan tenang. Burung-burung tertidur menyembunyikan kepala
mereka di bawah sayapnya. Saat yang tepat untuk semua hewan beristirahat.
Tiba-tiba, seekor bullfinch (sejenis burung kecil) mengangkat kepalanya dan berkata, “Apakah
hidup itu?”
Semua hewan terperangah dengan pertanyaan itu. “Hidup adalah menjadi
sesuatu!” Kata sekuntum mawar yang baru mekar dari kuncupnya sambil membuka
kelopaknya satu demi satu menyambut mentari.
Berbeda dari sekuntum mawar yang
menjawab dengan filosofis, seekor kupu-kupu memberi jawab pragmatis
sambil terbang kian kemari dari bunga satu ke bunga yang lainnya. “Hidup itu
hanya semata-mata kenikmatan manisnya madu dan kehangatan sinar mentari!”
Jauh di dasar hutan, seekor semut sedang sibuk bekerja, mengangkat
jerami yang besarnya sepuluh kali lipat dari tubuhnya berkata, “Hidup tidak
lebih dari kerja keras tanpa henti. Hidup itu berkeringat, sabar dan menahan
diri!”
Cerahnya pagi sedikit terganggu dengan hujan rinting. Hujan itu berkata,
“Hidup itu hanya air mata dan tidak lebih dari tragedi. Lihat, tidak pernah ada
makhluk hidup yang bebas dari air mata. Makhluk yang paling mulia sekalipun
yakni, manusia, tidak ada yang tidak pernah meneteskan air mata. Lihatlah
hutan-hutan, pohon-pohon di sini satu demi satu berakhir tragis, ditebang untuk
keperluan manusia. Satu demi satu hewan-hewan pun berakhir tragis, lenyap!”
Jauh di angkasa, seekor elang terbang meliuk di udara. “Hidup,” kata si
Elang, “adalah usaha terus-menerus menuju ke atas, hidup adalah berjuang
menggapai prestasi lebih tinggi.”
Malam mulai tiba dan ada seorang pria datang mendekat. Orang itu baru
pulang dari sebuah pesta, “Hidup,” katanya, “adalah pencarian terus-menerus
terhadap kebahagiaan melalui jaring-jaring kekecewaan.” Setelah malam yang panjang,
di ufuk timur terbitlah matahari yang memancarkan cahaya merah muda. “Seperti
saya, subuh, adalah awal dari hari yang baru, maka hidup adalah awal dari
keabadian!”
“Hidup adalah awal dari keabadian!” Kalimat senada merupakan bagian dari
eskatologi (pemahaman akhir zaman) menurut Yohanes sudah terjadi di dunia ini.
Kehidup kekal atau keabadian itu tidak dimulai nanti kalau manusia sudah mati,
tetapi sekarang! Pengadilan sudah terjadi kini dan di sini, sekarang ini pada
saat seseorang memutuskan mengimani Anak Tunggal Allah atau menolak-Nya. Hidup
ini, kata orang bijak bagaikan mampir minum di sebuah kedai dalam suatu
perjalanan panjang. Hidup singkat bagaikan mampir atau numpang minum. Namun,
ingatlah bahwa “air” yang kita minum akan sangat menentukan perjalanan kita
selanjutnya.
Yohanes mengatakan bahwa, “…supaya
setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang
kekal.” (Yohanes 3:16). Jadi, menurutnya hidup yang kekal itu sudah dimulai
saat ini, yakni ketika seseorang percaya kepada kasih Allah melalui Anak
Tunggal-Nya. Sebaliknya, “…barangsiapa
tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam
nama Anak Tunggal Allah.”(Yohanes 3:18). Penyataan ini merupakan percakapan
Yesus dengan Nikodemus, seorang pemimpin agama Yahudi yang datang pada waktu
malam hari. Mengapa ia datang pada malam hari? Ada banyak pendapat. Ia tertarik
dengan ajaran dan tanda-tanda yang diperbuat Yesus. Namun, mungkin ia malu
dengan teman-temannya yang selalu menentang Yesus. Bisa juga, Nikodemus
mengikuti kebiasaan pada zamannya bahwa malam hari adalah waktu yang tepat
untuk fokus belajar, tidak terlalu banyak suara-suara yang dapat memecahkan
konsentrasi. Namun, apa pun alasannya kita melihat bahwa Nikodemus punya niat
baik untuk belajar kepada Yesus. Yang penting adalah isi dari percakapan itu
bukan yang lain-lainnya.
Dalam tradisi Injil sinoptik, “Anak Manusia” digunakan dalam konteks
penggunaan: Ia akan datang pada saat pengadilan. Ia datang ke dunia harus
menanggung kesengsaraan dan kematian. Yohanes 3:13 mengatakan bahwa Anak Manusia
turun dari surga. Hanya Dia yang telah turun dari surga yang bisa naik ke surga
sehingga bisa memberi kesaksian tentang surga itu. Kemudian Yohanes meneruskan
bahwa Anak Manusia itu harus ditinggikan. Yang dimaksud dengan “ditinggikan”
adalah megacu pada peristiwa penyaliban Yesus. Menarik, hanya dalam Injil
Yohanes kita dapat menemukan bahwa peristiwa salib itu bukanlah sebuah
peristiwa yang “mengerikan” melainkan sarana untuk meninggikan Yesus.
Berbicara tentang Anak Manusia yang ditinggikan, pastilah Nikodemus juga
mengingat akan sejarah bangsanya. Setelah umat Israel berangkat dari gunung
Hor, berjalan ke arah Laut Teberau untuk mengelilingi tanah Edom, bangsa itu
kembali bersungut-sungut melawan Allah dan Musa. Lalu TUHAN menyuruh ular-ular
tedung ke antara bangsa itu dan memaguti mereka. Banyak yang tewas oleh ular
tedung itu. Kemudian datanglah bangsa itu berseru memohon kepada Musa belas
kasihan dan pengampunan. Maka atas titah
TUHAN, Musa membuat ular tedung dari tembaga dan diletakkan di sebuah tiang.
Musa meninggikan ular tembaga, maksudnya ular-ularan itu diletakkan di sebuah
tiang yang tinggi supaya setiap orang yang terpagut ular tedung dan memandang
ular tembaga itu, ia tidak mati. Ia akan selamat dari maut! (Bilangan 21:4-9).
Kini, gambaran dalam sejarah Israel itu menjadi nyata dalam diri Yesus.
Ia, melalui peristiwa salib akan ditinggikan, supaya setiap orang yang berdosa
(upah dosa adalah maut, ini sama seperti orang yang dipagut ular tegung; pasti
mati) yang memandang salib Yesus tidak binasa melainkan dosanya diampuni dan ia
memperoleh hidup yang kekal. Hidup kekal itu dicapai tidak ex opere operato tanpa
partisipasi si penerima. Sama seperti seseorang yang dipagut ular, ia harus
memalingkan wajahnya untuk memandang ular tembaga, ia harus bertindak. Demikian
juga dengan seseorang yang menginginkan hidup kekal itu harus berusaha “mengarahkan
wajahnya” kepada salib Krsitus; menyatakan diri percaya dan beriman kepada Anak
Manusia itu!
Dengan tepat, Paulus merepleksikan karya Kristus itu membuahkan
kehidupan. Jemaat Efesus menjadi contoh dalam hal ini. “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosamu….Tetapi
Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang
dilimpahkannya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan
Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita –oleh kasih
karunia kamu diselamatkan - “. (Efesus 2:1, 4-5). Lalu, apa yang harus
dilakukan ketika kita telah diselamatkan? Cukupkah kita mengucapakan terima
kasih dan berpangku tangan? Mestinya, orang yang tersentuh oleh cinta kasih-Nya
tidak akan tinggal diam. Paulus sendiri mengajak, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk
melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah ebelumnya. Ia mau, supaya
kita hidup di dalamnya.”(Efesus 2:10).
Jadi, rayakanlah hidup ini
dengan bersyukur kepada TUHAN. Caranya? Dengan mengerjakan pekerjaan baik yang
dikehendaki Allah dan hidup di dalamnya. Hidup yang seperti apa? Hidup seperti
Yesus hidup. Hidup bukan untuk diri sendiri, hidup bukan sekedar menikmati
kesenangan dan hobi, melainkan terpanggil memujudkan apa yang Allah inginkan,
yakni agar setiap orang mengenal juga cinta kasih-Nya. Selamat merayakan hidup!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar