Kamis, 12 Maret 2015

MERAYAKAN HIDUP DALAM ANUGERAH KESELAMATAN-NYA


Pra-paskah IV

Ada sebuah kisah legenda Swedia, suatu pagi yang cerah, saat itu hutan begitu terasa hening dan tenang. Burung-burung tertidur menyembunyikan kepala mereka di bawah sayapnya. Saat yang tepat untuk semua hewan beristirahat. Tiba-tiba, seekor  bullfinch (sejenis burung kecil) mengangkat kepalanya dan berkata, “Apakah hidup itu?”

Semua hewan terperangah dengan pertanyaan itu. “Hidup adalah menjadi sesuatu!” Kata sekuntum mawar yang baru mekar dari kuncupnya sambil membuka kelopaknya satu demi satu menyambut mentari.

Berbeda dari sekuntum mawar yang  menjawab dengan filosofis, seekor kupu-kupu memberi jawab pragmatis sambil terbang kian kemari dari bunga satu ke bunga yang lainnya. “Hidup itu hanya semata-mata kenikmatan manisnya madu dan kehangatan sinar mentari!”

Jauh di dasar hutan, seekor semut sedang sibuk bekerja, mengangkat jerami yang besarnya sepuluh kali lipat dari tubuhnya berkata, “Hidup tidak lebih dari kerja keras tanpa henti. Hidup itu berkeringat, sabar dan menahan diri!”

Cerahnya pagi sedikit terganggu dengan hujan rinting. Hujan itu berkata, “Hidup itu hanya air mata dan tidak lebih dari tragedi. Lihat, tidak pernah ada makhluk hidup yang bebas dari air mata. Makhluk yang paling mulia sekalipun yakni, manusia, tidak ada yang tidak pernah meneteskan air mata. Lihatlah hutan-hutan, pohon-pohon di sini satu demi satu berakhir tragis, ditebang untuk keperluan manusia. Satu demi satu hewan-hewan pun berakhir tragis, lenyap!”

Jauh di angkasa, seekor elang terbang meliuk di udara. “Hidup,” kata si Elang, “adalah usaha terus-menerus menuju ke atas, hidup adalah berjuang menggapai prestasi lebih tinggi.”

Malam mulai tiba dan ada seorang pria datang mendekat. Orang itu baru pulang dari sebuah pesta, “Hidup,” katanya, “adalah pencarian terus-menerus terhadap kebahagiaan melalui jaring-jaring kekecewaan.” Setelah malam yang panjang, di ufuk timur terbitlah matahari yang memancarkan cahaya merah muda. “Seperti saya, subuh, adalah awal dari hari yang baru, maka hidup adalah awal dari keabadian!”

“Hidup adalah awal dari keabadian!” Kalimat senada merupakan bagian dari eskatologi (pemahaman akhir zaman) menurut Yohanes sudah terjadi di dunia ini. Kehidup kekal atau keabadian itu tidak dimulai nanti kalau manusia sudah mati, tetapi sekarang! Pengadilan sudah terjadi kini dan di sini, sekarang ini pada saat seseorang memutuskan mengimani Anak Tunggal Allah atau menolak-Nya. Hidup ini, kata orang bijak bagaikan mampir minum di sebuah kedai dalam suatu perjalanan panjang. Hidup singkat bagaikan mampir atau numpang minum. Namun, ingatlah bahwa “air” yang kita minum akan sangat menentukan perjalanan kita selanjutnya.

Yohanes mengatakan bahwa, “…supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3:16). Jadi, menurutnya hidup yang kekal itu sudah dimulai saat ini, yakni ketika seseorang percaya kepada kasih Allah melalui Anak Tunggal-Nya. Sebaliknya, “…barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah.”(Yohanes 3:18). Penyataan ini merupakan percakapan Yesus dengan Nikodemus, seorang pemimpin agama Yahudi yang datang pada waktu malam hari. Mengapa ia datang pada malam hari? Ada banyak pendapat. Ia tertarik dengan ajaran dan tanda-tanda yang diperbuat Yesus. Namun, mungkin ia malu dengan teman-temannya yang selalu menentang Yesus. Bisa juga, Nikodemus mengikuti kebiasaan pada zamannya bahwa malam hari adalah waktu yang tepat untuk fokus belajar, tidak terlalu banyak suara-suara yang dapat memecahkan konsentrasi. Namun, apa pun alasannya kita melihat bahwa Nikodemus punya niat baik untuk belajar kepada Yesus. Yang penting adalah isi dari percakapan itu bukan yang lain-lainnya.

Percakapan itu menyinggung kehidupan yang kekal (ayat 13-17). Menurut Yesus, Kehidupan kekal itu diperoleh saat seseorang percaya kepada Anak Manusia. Siapa Anak Manusia itu? Nikodemus yang adalah seorang pemimpin agama Yahudi, tentu tidak asing dengan istilah “Anak Manusia”, gagasan tentang Anak Manusia telah ada dalam kitab Daniel 7.

Dalam tradisi Injil sinoptik, “Anak Manusia” digunakan dalam konteks penggunaan: Ia akan datang pada saat pengadilan. Ia datang ke dunia harus menanggung kesengsaraan dan kematian. Yohanes 3:13 mengatakan bahwa Anak Manusia turun dari surga. Hanya Dia yang telah turun dari surga yang bisa naik ke surga sehingga bisa memberi kesaksian tentang surga itu. Kemudian Yohanes meneruskan bahwa Anak Manusia itu harus ditinggikan. Yang dimaksud dengan “ditinggikan” adalah megacu pada peristiwa penyaliban Yesus. Menarik, hanya dalam Injil Yohanes kita dapat menemukan bahwa peristiwa salib itu bukanlah sebuah peristiwa yang “mengerikan” melainkan sarana untuk meninggikan Yesus.

Berbicara tentang Anak Manusia yang ditinggikan, pastilah Nikodemus juga mengingat akan sejarah bangsanya. Setelah umat Israel berangkat dari gunung Hor, berjalan ke arah Laut Teberau untuk mengelilingi tanah Edom, bangsa itu kembali bersungut-sungut melawan Allah dan Musa. Lalu TUHAN menyuruh ular-ular tedung ke antara bangsa itu dan memaguti mereka. Banyak yang tewas oleh ular tedung itu. Kemudian datanglah bangsa itu berseru memohon kepada Musa belas kasihan dan pengampunan.  Maka atas titah TUHAN, Musa membuat ular tedung dari tembaga dan diletakkan di sebuah tiang. Musa meninggikan ular tembaga, maksudnya ular-ularan itu diletakkan di sebuah tiang yang tinggi supaya setiap orang yang terpagut ular tedung dan memandang ular tembaga itu, ia tidak mati. Ia akan selamat dari maut! (Bilangan 21:4-9).

Kini, gambaran dalam sejarah Israel itu menjadi nyata dalam diri Yesus. Ia, melalui peristiwa salib akan ditinggikan, supaya setiap orang yang berdosa (upah dosa adalah maut, ini sama seperti orang yang dipagut ular tegung; pasti mati) yang memandang salib Yesus tidak binasa melainkan dosanya diampuni dan ia memperoleh hidup yang kekal. Hidup kekal itu dicapai tidak ex opere operato  tanpa partisipasi si penerima. Sama seperti seseorang yang dipagut ular, ia harus memalingkan wajahnya untuk memandang ular tembaga, ia harus bertindak. Demikian juga dengan seseorang yang menginginkan hidup kekal itu harus berusaha “mengarahkan wajahnya” kepada salib Krsitus; menyatakan diri percaya dan beriman kepada Anak Manusia itu!

Dengan tepat, Paulus merepleksikan karya Kristus itu membuahkan kehidupan. Jemaat Efesus menjadi contoh dalam hal ini. “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosamu….Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkannya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita –oleh kasih karunia kamu diselamatkan - “. (Efesus 2:1, 4-5). Lalu, apa yang harus dilakukan ketika kita telah diselamatkan? Cukupkah kita mengucapakan terima kasih dan berpangku tangan? Mestinya, orang yang tersentuh oleh cinta kasih-Nya tidak akan tinggal diam. Paulus sendiri mengajak, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah ebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.”(Efesus 2:10).

Jadi, rayakanlah hidup ini dengan bersyukur kepada TUHAN. Caranya? Dengan mengerjakan pekerjaan baik yang dikehendaki Allah dan hidup di dalamnya. Hidup yang seperti apa? Hidup seperti Yesus hidup. Hidup bukan untuk diri sendiri, hidup bukan sekedar menikmati kesenangan dan hobi, melainkan terpanggil memujudkan apa yang Allah inginkan, yakni agar setiap orang mengenal juga cinta kasih-Nya. Selamat merayakan hidup!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar