Pra-paska V
“Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.” (Yohanes 12:25)
Sepenggal kalimat di atas adalah bagian dari tanggpan Yesus ketika ada
beberapa orang Yunani memohon kepada Filipus agar mereka dipertemukan dengan
Yesus. Orang Yunani terkenal sebagai orang yang haus mencari hikmat. Mereka ada
di pelataran Bait Allah ketika Yesus memporak-porandakan para pedagang hewan
dan penukar uang. Mungkin saja orang-orang Yunani ini merasa takjub dengan apa
yang dilakukan Yesus. Bagaimanapun juga mereka merasa terganggu dengan
keberadaaan para penjual ternak dan pedagang valas itu. Mereka ada di pelataran
Bait Allah tentu ingin memahami iman Yudaisme. Hanya di pelataranlah tempat
maksimal mereka boleh mendekat. Di sanalah mereka dapat merenungkan tentang
ajaran-ajaran Yahudi. Bagaimana bisa merenung dengan baik jika tempat itu jadi
begitu pengap, bau kotoran ternak dan orang sibuk dengan urusan bisnisnya.
Kini, tampil Yesus, seorang pemberani. Ia mengusir semua pedagang ternak dan pedagang
valas. Patilah orang-orang Yunani takjub sehingga mereka ingin bertemu dan
belajar dengan Yesus.
Orang-orang Yunani itu menyampaikan keinginan mereka untuk berjumpa
dengan Yesus kepada Filipus, seorang yang berasal dari Betsaida, Galilea.
Mungkin mereka juga berasal dari daerah yang sama. Filipus menyampaikannya
kepada Andreas. Mereka berdua sepakat untuk meneruskan keinginan orang-orang
Yunani ini kepada Yesus. Lalu bagaimana tanggapan Yesus? Alih-alih Yesus
menjawab boleh atau tidaknya orang-orang Yunani itu bertemu dengan-Nya, Yesus
menjawab, kata-Nya, “Telah tiba saatnya
Anak Manusia dimuliakan.” (Yoh.12:23). Yesus memakai kesempatan ini untuk
mengajar para murid-Nya tentang pelajaran yang rumit, yakni tentang Anak
Manusia yang harus menderita dan mati.
Tentu saja, lontaran jawaban Yesus itu tidak ditujukan untuk orang-orang
Yunani yang ingin bertemu dengan-Nya. Sebab kecil kemungkinan bahwa mereka
mengerti tentang “konsep” Anak Manusia. Pemahaman Anak Manusia hanya dikenal
dalam kalangan komunitas Yahudi. Ide tentang Anak Manusia itu terekam dalam
Daniel 7:1-8. Di sana dilukiskan tentang kerajaan-kerajaan dunia yang telah
berkuasa, Asyur, Babel, Media dan Persia. Semuanya bertindak begitu kejam dan
sadis, biadab dan sama sekali tidak berprikemanusia sehingga mereka hanya bisa
disamakan seperti binatang-binatang, gambaran itu : singa dengan sayap-sayap
burung rajawali, beruang dengan tiga tulang rusuk masih ada di dalam mulut, di
antara giginya, macan tutul dengan empat sayap di atas punggungnya dan
mempunyai empat kepala, dan binatang keempat adalah seekor binatang yang
manakutkan dengan gigi-gigi dari besi dan mempunyai sepuluh tanduk. Jangan
mencoba mencari binatang-binatang seperti ini di dunia nyata. Ini bukan
binatang sungguhan, ini merupakan simbolisasi dari kekuatan-kekuatan detruktif.
Kekuasaan tiran, kejam, penindas, pemeras dan haus darah akan selalu ada pada
sepanjang zaman.
Dalam kondisi demikian tentu menjadi impian bagi setiap orang yang
sedang tertindas dan teraniaya akan datangnya suatu era baru dengan kekuasaan
baru yang cinta damai, lemah-lembut, murah hati dan manusiawi. Kekuasaan seperti
itu tentu tidak cocok dengan gambaran binatang, apalagi binatang buas yang
mengerikan. Gambaran yang tepat untuk kekuasaan yang diimpikan adalah gambaran
manusia itu sendiri, karena manusia berbeda dari binatang! Bagian ini
menunjukkan bahwa zaman kebiadaban atau zaman jahiliah itu akan segera lewat
dan kini datang zaman baru; zaman kekuasaan Anak Manusia!
Inilah zaman yang menjadi impian orang Yahudi, yakni: zaman keemasan di
mana hidup dirasakan manis, bebas dari penindasan. Sampai di sini, pemahaman
mereka akan sebuah zaman baru sangat baik dan ideal. Namun, pengharapan itu
ternyata tidak berhenti di sana. Mereka yakin ketika zaman itu tiba, merekalah
yang akan menjadi penguasanya. Ya, penguasa dunia! Tetapi mereka juga harus
realistis, bagaimana zaman itu akan datang? Mungkinkah sekarang? Sementara
mereka adalah bangsa yang kecil, lemah dan sekarang sedang tertindas oleh
kekuasaan imperium Romawi. Untuk mengatasi persoalan pengharapan mesianik ini,
sebagian orang Yahudi percaya bahwa zaman
itu datang harus dengan intervensi langsung dari Tuhan. Sebab, tidaklah
mungkin bangsa yang kecil dan lemah akan dapat menjadi penguasa dunia. Mereka
percaya bahwa Tuhan akan mengutus pahlawan-Nya untuk menguasai dunia ini. Dengan
menoleh ke belakang, pada kitab Daniel mereka menyebut pahlawan itu dengan
sebuta Anak Manusia. Dan ketika Yesus menyebut bahwa sekarang ini tiba saatnya
Anak Manusia dimuliakan, pastilah hati mereka berbunga-bunga. Tidak salah lagi,
yang sedang berbicara ini adalah Anak Manusia yang tidak mungkin dapat
dikalahkan, Sang Mesias yang akan membawa mengangkat derajat mereka untuk
menguasai kancah dunia! Bukankah mujizat dan tanda-tandanya telah nyata?
Akan tetapi, Yesus tidak memaksudkan kata “dimuliakan” sama seperti yang
dibayangkan dalam benak mereka. Yang Yesus maksudkan dengan “dimuliakan” adalah
peristiwa penyaliban-Nya, buka penaklukan. Demikian pula yang Yesus maksudkan
dengan Anak Manusia bukanlah sosok pahlawan gagah perkasa yang menumpas para
lawan Yahudi dan kemudian mengangkat mereka menjadi pemenang dan penguasa
dunia. Tetapi yang dimaksudkan-Nya adalah kemenangan di atas kayu salib! Tentu
saja mulanya para murid gembira dengan pernyataan bahwa kini tiba saatnya Anak Manusia
dimuliakan namun kemudian mereka menjadi bingung oleh karena Anak Manusia itu
kini berbicara tentang pengorbanan dan kematian. Mereka mulai kecewa, maka
tidaklah mengherankan jika mereka tidak dapat mengerti Dia bahkan mereka
mencoba menolak gagasan Anak Manusia versi Yesus.
Dalam keheranan dan penolakan para murid tentang pengorbanan dan
kematian, Yesus mengatakan bahwa barangsiapa
mencintai nyawanya ia akan kehilangan nyawanya tetapi barangsiapa tidak
mencintai nyawanya, ia akan mendapatkannya untuk kehidupan yang kekal. Tentu
kalimat ini juga sulit dicerna. Bagaimana mungkin seseorang tidak mencintai
nyawanya sendiri. Ilmu pengetahuan moderen telah berhasil menemukan bahwa dalam
tubuh manusia saja begitu banyak sistem pertahanan tubuh; ada sistem imun yang
memproteksi tubuh dari pelbagai virus penyakit, ada sistem pertahanan fisik,
misalnya dalam kulit manusia ada penghalang fisik untuk mencegah patogen masuk
dalam tubuh, ada pertahanan mekanik dan reflek sehingga manusia dapat terhindar
dari ancaman mendadak, ada pertahanan kimia, ada pertahanan psikologis dan lain
sebagainya. Bukankah itu semua diciptakan oleh yang Mahakuasa untuk melindungi
tubuh manusia dan sekaligus juga dampaknya melindungi nyawa. Lalu bagaimana
mungkin kalau Allah menciptakan manusia dengan proteksi dan naluri untuk
melindungi diri, sementara Yesus menganjurkan untuk tidak mencintai nyawa
sendiri bahkan cenderung meremehkan nyawa manusia! Apakah benar pernyataan Yesus ini mengandung
pengertian meremehkan nyawa manusia?
Tentu saja yang dimaksud Yesus bukan itu. “Mencintai nyawa” dalam
kalimat ini harus dikaitkan dengan pemahaman orang yang diajak bicara, yakni
para murid. Di awal kita menyimak bagaimana pemikiran mereka tentang Anak
Manusia yang dimuliakan. Mereka menghendaki penaklukan atas kuasa dan bangsa
lain. Pendeknya, mereka mengingikan kekuasaan seperti kuasa duniawi ini.
Sejajar dengan semangat mereka, maka “mencintai nyawa” berarti orang yang
menginginkan dalam hidup ini nafsunya dapat tersalurkan, segala keinginannya
terpuaskan; dalam konteks murid-murid Yesus, keinginan manaklukan dan berkuasa
itu terlaksana. Nah, jika ini yang terjadi lalu, ketika Yesus berbicara tentang
Anak Manusia – seandainya saja Ia meluluskan apa yang diinginkan para murid -,
pertanyaannya apa bedanya “Anak Manusia” dengan “binatang buas”?
Yesus datang kepada orang Yahudi dengan pandangan hidup yang baru.
Mereka memandang kemuliaan sebagai penaklukan, mendapatkan kekuasaan, dan hak
untuk memerintah. Yesus katakan tidak. Bukan begitu! Melainkan salib. Dia
mengajarkan hanya dengan jalan melepaskan kepentingan diri sendiri, berjuang
untuk kebaikan bersama, sekalipun kematian merenggutnya maka di situlah letak
kehidupan yang kekal. Yesus mengajarkan bahwa hanya dengan mengorbankan
kehidupan (baca: keinginan dan ambisi akan kehidupan nyaman dan nikmat) kita
mendapatkan kehidupan yana kekal. Hidup kekal tidak harus diartikan dalam skala
kuantitas artinya hidup dengan umur panjang yang tidak ada matinya.
Imortalitas. Hidup kekal dapat berati kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan
yang berkualitas, hidup tulen. Meskipun pada umumnya sulit dimengerti namun,
apa yang diajarkan Yesus sangat logis. Lihatlah dalam sejarah dunia. Dunia saat
ini berhutang terhadap orang-orang yang meninggalkan ruang nyamannya kemudian
berjuang untuk kesejahteraan bersama. Ada tokoh-tokoh seperti Polikarpus Uskup
Smirna, Martin Luther King Jr. Bunda Teresa, Mahatma Gandhi, Bay Fang Lie,
Fransiskus dari Asisi dan banyak lagi, mereka telah membuktikan bahwa nama
mereka, spirit mereka tetap hidup sampai kini. Mereka rela kehilangan apa yang
paling berharga dalam hidup ini, yakni nyawanya. Namun dunia tetap menganggap
mereka hidup dan kita semua berhutang, hutang kemanusiaan terhadap mereka.
Yesus telah lebih dulu membuktikannya. Masa hidupnya tidak lebih dari 33 tahun.
Namun, nama-Nya tetap hidup sampai kekal, karena Ia tidak mempertahankannya
demi pemuasan ambisi manusia.
Pertanyaanya buat kita
sekarang, apakah saat ini kita sedang “mencintai nyawa” kita? Hidup yang
menuntut orang lain melayani? Ataukah justeru kini kita tidak menyayangkan apa
pun termasuk yang paling berharga, yakni nyawa kita sendiri demi menciptakan
tatanan hidup yang Tuhan kehendaki, yakni kasih, keadilan, kebenaran dan
keutuhan ciptaan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar