Ada seorang gadis kecil sedang bermain-main di kebun rumahnya. Aktifitasnya
segera terhenti, ia berkonsentrasi pada pendengarannya. Kakinya bergerak
melangkah ke arah suara. Sejenak kemudian ia menemukan sumber suara itu. Anak
kucing yang ditinggalkan induknya sedang ketakutan! Dengan halus, ia mengangkat
anak kucing itu, membelainya dan membawanya masuk ke dalam rumahnya. Sang gadis
kecil merawat anak kucing itu dengan baik. Ia memberinya susu dan menidurkannya
dalam keranjang nyaman berlapis handuk-handuk tua. Anak kucing itu tumbuh
cepat, dan menjadi sahabat sang gadis kecil sekaligus teman bermain di rumah.
Tragisnya, anak kucing itu mati dalam kecelakaan. Tentu saja membuat Si
Gadis kecil begitu sedih. Ia menangis dan tidak mau makan, begitu sedihnya
hingga tak seorang pun yang dapat menghibur dan menangkan hatinya. Neneknya,
seorang wanita kaya raya, ia mendengar cucu kesayangannya begitu sedih
kehilangan sahabatnya. Sang nenek segera membelikan seekor kucing Persia yang
cantik. Tentu dengan harga yang sangat mahal, lalu ia memberikannya kepada
cucunya.
“Terima kasih,” kata Sang Gadis kecil itu dengan sopan, sorot matanya
mengarah ke bawah. “Ayolah sayang,” protes sang nenek. “Tommy kucingmu itu
hanyalah seekor kucing liar. Ia sudah mati, tidak ada gunanya terus meratap dan
bersedih. Sekarang Nenek telah menggantinya dengan kucing Persia yang bagus dan
mahal! Ayolah, tunjukkanlah perasaan gembira pada binatang peliharaanmu yang
baru ini!” Sambil menahan tangis, Gadis kecil itu menjawab, “Tapi Nek, Nenek
tidak mengerti! Bukan bentuk luar kucing itu yang penting, tapi apa yang ada di
dalam kucing itu yang paling penting!”
Alih-alih menghibur dengan memberikan kucing Persia yang bagus dan
mahal, Gadis kecil itu malah semakin sedih teringat akan kasih sayang dan
persahabatan yang begitu erat. Si Nenek tidak mengerti apa yang ada dalam benak
cucunya. Kita pun sering tidak mengerti apa yang dibayangkan oleh orang-orang
terdekat sekalipun. Suami-suami sering tidak memahami apa yang menjadi harapan
dan impian istri mereka. Demikian juga sebaliknya, sehingga pertengkaran dalam
rumah tangga sulit dihindari. Demikian juga para orang tua sulit mengerti
prilaku anak-anaknya apalagi ketika mereka beranjak remaja. Banyak orang tua
stres demikian juga sebaliknya.
Tema Minggu ini adalah “Memikirkan apa yang dipikirkan Allah.” Apakah
mungkin? Kita sering tidak mudah memikirkan apa yang dipikirkan oleh orang lain
sekalipun mereka begitu dekat dengan kehidupan kita apalagi memikirkan apa yang
dipikirkan Allah. Allah yang sulit dijangkau oleh indera kita. Bahkan Allah
sendiri telah mengingatkan bahwa, “Sebab
rancangan-Ku bukanlah rancangamu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah
firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya
jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” (Yesaya 55:8-9).
Memikirkan pikiran TUHAN tidakkah ini merupakan kemustahilan bagi manusia? Atau
sebuah kesia-siaan belaka? Mungkin benar, kalau sudut pandang kita berangkat
dari sudut pandang dunia. Dunia sering menjadi tempat sempit dan sesak untuk
pikiran dan rancangan Allah. Sebaliknya, dunia malah menjadi sangat lebar bagi
berkembangnya pemikiran liar Iblis. Kalau demikian, bagaimanakah cara kita
memahami sudut pandang Allah?
Dari sudut pandang Allah, manusia dapat memahami dan memikirkan apa yang
dipikirkan Allah oleh karena sejak awal manusia diciptakan mnurut gambar dan
rupa Allah (Kejadian 1:21). Manusia menjadi makhluk yang hidup oleh karena
Allahlah yang menghembuskan nafas kehidupan kepadanya (Kejadian 2:7). Sebelum
dosa berkuasa dalam kehidupan manusia, hubungan manusia dengan Allah begitu
dekat. Taman Eden adalah tempat di mana manusia dengan Allah dapat saling
memahami. Namun, ketika kuasa jahat menggoda manusia dan manusia terbujuk
akhirnya hubungan yang begitu indah itu rusak. Manusia mengalami kesulitan
untuk memahami dan mengerti jalan pikiran Allah. Bahkan manusia dalam hal ini
Adam dan Hawa juga pada akhirnya tidak saling mengerti. Semua ingin selamat
sendiri dan menyalahkan pihak lain. Manusia dipenuhi dengan pikiran-pikiran
keegoisan dan keserakahan demi memanjakan nafsunya. Di sinilah letak
kesulitannya!
Betapa sulitnya memahami jalan pikiran Allah sehingga Abraham sekalipun yang
mendapat julukan sebagai bapa orang
percaya, dalam perjalannya mengalami kesulitan memahami jalan pikiran
Allah. Bagaimana mungkin sebuah janji keturunan yang begitu banyak akan dapat
terwujud kalau saja pada usia senja bersama dengan Sara, isterinya tidak
kunjung ada tanda-tanda bahwa dirinya akan mempunyai anak. Apalagi Sara yang
sudah mati haid, maka ketika malaikat TUHAN mengabarkan bahwa Sara akan
mengandung dan melahirkan seorang anak, mereka menertawakannya. Bahkan kisah
sebelumnya menceritakan bahwa Sara berinisiatif memberikan hambanya, Hagar
kepada Abraham supaya mendapatkan keturunan. Begitu sulitnya memahami rencana
dan jalan pikiran Allah, maka manusia mencari jalannya sendiri, jalan pintas
yang menguntungkan!
Contoh lain sulitnya memahami jalan pikiran Tuhan adalah dalam diri Petrus,
murid yang begitu dekat dengan Yesus. Sebelumnya, bersama dengan dua murid
lain, Yakobus dan Yohanes menyaksikan sendiri Yesus yang berubah rupa dalam
kemuliaan-Nya, pun tidak memahami jalan pikiran Yesus. Petrus menolak apa yang
disampaikan Yesus bahwa Ia harus menderita dan mati. Lalu dengan lancangnya,
Petrus menarik Yesus dan menegor-Nya bahwa Sang Mesias tidak sepantasnya
menderita bahkan mati dengan cara mengerikan. Mewakili para penanti mesias
politik, Petrus yakin benar bahwa, Yesus akan menjadi Raja yang menaklukan
musuh-musuh Israel. Dengan berpikir demikian, ia menyangka akan menyelamatkan
nyawanya (Markus 8:35) dan nyawa serta martabat bangsanya. Ini menyiratkan
intisari pikiran yang sempit atau ekslusif, keselamatan hanya untuk diri dan
bangsanya. Petrus tidak mau menerima dan mengerti apa yang dipikirkan Yesus
dalam rangka ketaatan-Nya untuk tunduk pada rencana dan kehendak Bapa demi
keselamatan dunia.
Petrus memikirkan apa yang dipikirkan manusia. Pusat hidup adalah
dirinya, pikiran dan orientasi hidupnya masih berkisar pada keinginan daging
dan hawa nafsunya. Orientasi hidup demikian akan sangat mudah dipakai oleh
Iblis. Iblis yang sebelumnya telah dikalahkan Yesus dalam pencobaan di padang
gurun kini tampil dalam diri murid yang paling dekat, Petrus. Itulah sebabnya,
Yesus dengan keras menghardik Petrus. “Enyahlah
Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa
yang dpikirkan manusia.” (Markus 8:33b). Yesus menghendaki Petrus
memikirkan apa yang dipikirkan Allah. Pikiran Allah adalah mewujudkan keadailan
Allah bagi dunia. Allah memikirkan keselamatan bagi dunia dan segala isinya.
Penderitaan dan kematian Yesus adalah wujud keadilan Allah. Pikiran Allah
adalah menyelamatkan dunia dengan jalan membiarkan Anak-Nya yang Tunggal mati
disalib dan bangkit setelah hari ketiga. Sebagai seorang murid, Petrus
seharusnya meninggalkan cara hidup lama yang egois. Sebagai gantinya ia harus
memusatkan pikiran kepada Allah. Lalu bagaimana caranya? Jawab Yesus, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus
menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.”(Markus 8:34). Hanya
dengan cara ini seseorang dapat memikirkan apa yang dipikirkan Allah.
Saat ini apa yang sekarang
sedang kita pikirkan? Apakah kita berpikir bagaimana caranya menggapai kepuasan
hidup, selalu mendahulukan diri dengan segala kepentingannya? Jika demikian
berarti kita sangat mudah dipakai oleh Iblis dan itu berarti kita berhadapan
dengan Allah. Mestinya, sebagai pengikut Kristus, semakin lama, semakin kita
paham dan mengerti kehendak-Nya. Berpikir dan bertindak seperti Yesus berpikir
dan bertindak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar