Rabu Abu 2015
Di tepi sebuah sungai, seorang yang berpenampilan sengat alim melihat
dua orang: laki-laki dan perempuan, sedang duduk bersama dengan membawa sebotol
minuman. Dalam benak orang saleh itu berpikir, “Alangkah bejatnya orang itu,
dan alangkah lebih baik kalau dia menjadi seperti aku!”
Sejurus kemudian, pemandangan segera berubah. Tiba-tiba ada sebuah
perahu tenggelam tidak jauh dari tempat itu. Tujuh orang yang berada di
dalamnya terancam tidak akan selamat. Laki-laki yang duduk bersama seorang
perempuan itu kemudian segera terjun ke sungai guna menolong mereka. Namun, ia
hanya berhasil menolong enam orang. Kemudian, laki-laki itu mendekati orang
alim itu dan berkata, “Jika saja engkau lebih mulia dariku, maka seharusnya
bersama Tuhanmu, selamatkanlah seorang lagi yang belum dapat kuselamatkan. Anda
diminta untuk menyelamatkan satu orang saja, sedangkan aku telah melakukannya
untuk enam orang.”
Namun, orang saleh itu bergeming, ia enggan melangkahkan kakinya apalagi
menyeburkan diri untuk menyelamatkan seorang yang sedang bergulat dengan maut.
Kemudian, laki-laki yang menyelamatkan enam orang itu berkata kepadanya, “Tuan,
perempuan yang duduk di sampingku bukanlah wanita jalang, ia adalah ibuku. Dan
botol minuman itu, bukan arak melainkan air putih!” Mendengar hal itu, orang
alim itu tertegun, lalu berkata, “Sebagaimana Anda telah menyelamatkan enam
orang itu, maka selamatkanlah aku dari kebanggaan dan kesombongan kesalehan
yang sia-sia ini!”
Baju kesalehan dapat dipakai siapa pun. Namun, karakter kesalehan sejati
tidak bisa diam manakala di dekatnya ada tuntutan moral yang memanggilnya
melakukan sebuah tindakan. Sekalipun tindakannya itu akan membahayakan dirinya.
Tampaknya berulang kali Tuhan kecewa terhadap umat-Nya. Mereka sangat gemar
memakai baju kesalehan. Yesaya 58 setidaknya mengambarkan itu. Tuhan sangat
kecewa oleh karena dari ucapan bibir dan pemberlakuan syareat ibadah bagaikan
sebuah baju. Tidak tembus sampai nurani yang menciptakan karakter kesalehan
murni. “Memang setiap hari mereka mencari
Aku dan suka untuk mengenal segala jalan-Ku. Seperti bangsa yang melakukan yang
benar dan yang tidak meninggalkan hukum Allahnya, mereka menanyakan AKu tentang
hukum-hukum yang benar, mereka suka menghadap Allah, tanyanya, “Mengapa kami
berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri
dan Engkau tidak mengindahkannya juga?” Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau
masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu.
Sesunggguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul
dengan tinju dengan dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti
sekarang ini suaramu tidak akan terdengar di tempat tinggi.” (Yesaya 58: 2-4)
Umat Tuhan itu bukan hanya memakai baju kesalehan untuk kebanggaannya
melainkan menggunakannya juga untuk memikat hati Allah. Mereka mengira dengan
cara demikian, Tuhan dapat dikelabuhi. Tidak! Tuhan mampu melihat kedalaman
hati manusia, Tuhan mampu melihat seutuhnya kehidupan manusia itu. Dengan tegas
Tuhan mencampakkan baju kesalehan itu. Tuhan menelanjangi kesalehan munafik
manusia, “Sungguh-sungguh inikah berpuasa
yang Kukehendaki, dan mengadkan hari merendahkan diri, jika engkau menundukan
kepala seperti gelagah dan membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik
tidur? Sunguh-sungguhkah itukah yang kausebutkan berpuasa, mengadakan hari yang
berkenan kepada TUHAN? Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau
membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya
engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya
engkau memecah-mecahkan rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu
orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang,
supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap
saudaramu sendiri!” (Yesaya 58: 5-7).
Tuhan tidak menginginkan kemunafikan dipelihara. Namun, nyatanya umat
tidak belajar dari kesalahan masa lalu. Buktinya, hampir enam ratus tahun
kemudian, yakni pada zaman Yesus, manusia masih gemar memungut kembali baju
kesalehan yang telah dicampakkan Tuhan. Setidaknya, Matius 6 merekam tiga rukun
agama (sedekah, doa dan puasa) sebagai baju kesalehan itu. Mereka
menggunakannya untuk kebanggaan diri agar orang disekitar mengagumi sebagai
orang saleh. Sama seperti dalam zaman Yesaya, Yesus pun menelanjangi kesalehan
seperti ini. Bagi-Nya, jauh lebih terpuji di hadapan Allah apabila manusia
melakukan tindakan kesalehan itu tersembunyi.
Bila Allah tidak menyukai
bahkan mencampakkan baju kesalehan munafik dan hal yang sama juga dilakukan
Yesus, apakah hari ini kita mau memungut dan mengenakannya lagi? Hanya orang
dungu yang tidak pernah mau belajar yang terus memakai kesalehan munafik! Bila
hari ini (Rabu Abu) kita mengenakan
abu pada dahi kita jadikanlah itu bukan sekedar tanda kesalehan bahwa kita
bertobat. Pertobatan yang sesungguhnya akan terbukti dalam prilaku kita. Kini,
marilah kita tumbuhkan dalam hati akan kecintaan kepada Tuhan yang sesungguhnya
karena dari sana akan tumbuh benih-benih karakter kesalehan yang sejati!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar