Setelah tertangkap, Christopher Daniel Sjarief (22 tahun) penyebab
kecelakaan maut yang merenggut 4 korban meninggal di kawasan Pondok Indah,
Jakarta, menyatakan dirinya berada dalam pengaruh LSD (Lysergic Acid Diethylamide) jenis narkoba yang bisa membawa
pengggunanya pada halusinasi. Sulit membedakan daya pandang: jauh dekat sama
saja, tidak bisa membedakan waktu: pagi, siang, sore dan malam. Berdasarkan
pengakuan itu, kepolisian langsung mengumumkan bahwa benar tersangka berada
dalam pengaruh narkotika.
Selang beberapa hari kemudian, berdasarkan pemeriksanaan laboratorium
yang dilakukan pihak BNN terhadap urin, darah dan kejiwaan Christopher, sama
sekali tidak terbukti berada dalam pengaruh narkotika. Kali ini pun pihak
kepolisian meralat berita sebelumnya dan menyatakan bahwa Christopher tidak
terbukti memakai LSD seperti yang dinyatakan sebelumnya. Adalah Direktur
Narkoba Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Eko Dananto menyatakan bahwa
pengakuan tersangka menggunakan LSD adalah upaya cerdas tersangka untuk
berkelit dari hukuman kecelakaan fatal akibat kelalaian. Menurutnya, jika
Christopher mengaku dalam pengaruh narkotik dan kemudian kejiwaannya terganggu
maka dalam hukum, kelalaiannya akan dipertimbangkan karena ia mengemudi dalam
keadaan kurang sadar. Dan karena tidak ada barang bukti, ia hanya dikenakan
pasal sebagai pengguna. Pengguna hanya bisa dipenjarakan satu tahun bersamaan
dengan itu harus direhabilitasi. Sementara kalau ternyata hasil test urin dan
darahnya negatif, maka dia akan terjerat kasus kecelakaan lalu lintas yang
menyebabkan kematian, ia melakukan pelanggaran berat terhadap undang-undang
lalu lintas dengan ancaman hukuman 12 tahun!
Sayangnya, polisi telah memberikan dua pernyataan berbeda dan hal ini
telah menjadi polemik dalam masyarakat. Eko sendiri menyesalkan mengapa polisi
terburu-buru menyampaikan pernyataan bahwa Christopher menggunakan LSD hanya
berdasarkan pada pengakuannya sendiri, tidak melalui hasil test laboratorium.
Berita yang masih prematur ketika dirilis akan menimbulkan pengaruh negatif.
“Pada waktu mereka turun dari
gunung itu, Yesus berpesan kepada mereka,
supaya mereka jangan menceritakan kepada seorang pun apa yang telah mereka
lihat itu, sebelum Anak Manusia bangkit dari antara orang mati.” (Markus
9 :9). Bukankah apa yang disaksikan Petrus, Yakobus dan Yohanes punya nilai
berita yang tinggi? Mereka menyaksikan sendiri ketika Yesus berubah rupa, tubuh
dan pakaiannya putih, berkilau, bermandikan cahaya. Yesus tampil dalam
kemuliaan-Nya! Tidak hanya itu, dua tokoh Perjanjian Lama yang begitu besar dan
dihormati, Musa dan Elia, tampak jelas mendampingi Yesus. Belum lagi Suara
Langit yang menyatakan “Inilah Anak yang
Kukasihi, dengarkanlah Dia.”(Mark.9:7). Ini fakta bukan halusinasi seperti
orang mengkonsumsi LSD. Ini peristiwa maha dasyat ketimbang mujizat-mujizat
lain. Ini wajib diberitakan! Namun, mengapa Yesus melarang memberitakannya?
Bukankah misi-Nya ke dunia ini adalah untuk memberitakan kabar baik, kabar
kemuliaan-Nya?
Peristiwa Yesus menampakkan diri dalam kemuliaan-Nya sering disebut
dengan transfigurasi. Ketika itu
Yesus berubah wajah-Nya, pakaian-Nya pun tampak putih berkilauan bermandikan
cahaya. Pakaian memberi sosok bentuk pada yang memakainya. Tanpa pakaian maka
sosok yang bersangkutan sulit untuk dikenali. Yesus tampak sebagai sosok “putih
berkilauan”. Markus menekankan bahwa tidak ada di duni ini yang bisa membuat
pakaian seputih itu. Berarti tidak ada kegelapan sedikit pun pada-Nya. Terang
tak terhalang sama sekali. Petrus, Yakobus dan Yohanes menyadari, tokoh yang
mereka ikuti hingga saat itu adalah Dia yang membawakan Yang Illahi tanpa
menyertakan hal-hal yang menghalangi-Nya. Bahkan mereka menyaksikan sendiri
terang itu memancar dalam diri-Nya. Terang itu seolah mulai menyibakkan benak
mereka untuk mengerti kemesiasan Yesus yang terungkap dalam Perjanjian Lama.
Mereka juga mampu mendengar suara ilahi yang meminta mereka untuk
mendengarkan-Nya. Sampai di sini mereka harus mencerna, mengolahnya dalam
sebuah proses utuh nanti setelah kematian dan kebangkitan-Nya.
Tubuh transfigurasi Yesus berkait erat dengan tubuh kebangkitan-Nya.
Oleh karenanya, seandainya kebangkitan Kristus tidak didahului dengan
transfigurasi, maka kisah kebangkitan hanya akan menjadi mitos atau sekedar
halusinasi belaka. Sebab dalam peristiwa kebangkitan Yesus tidak ada saksi.
Namun, kini dalam transfigurasi ketiga orang murid menyaksikannya secara
langsung.
Untuk sementara, Petrus, Yakobus dan Yohanes, meski mulai tersngikap
rahasia ilahi di dalam diri Yesus, bagaimana pun bagi mereka belumlah lengkap. Mereka
butuh waktu untuk menggarapnya dan mengendapkannya. Karena itu mereka dilarang
untuk menceritakan pengalaman yang belum utuh terolah. Jangan mengobral
keyakinan yang masih prematur, itulah intinya. Perkara yang dipersaksikan perlu
terjadi lebih dahulu. Yesus harus menanggung salib sampai mati dan mencapai
kebangkitan. Barus setelah itu mereka boleh membicarakan kepada orang banyak
bahwa memang benar Dia itu patut didengarkan. Inilah maksud larangan
membicarakan apa yang mereka lihat tadi. Supaya beritanya lengkap, tidak sempal
dan kemudian hari tidak dianulir seperti berita polisi yang meralat pernyataan
sebelumnya. Kini , kita boleh merasa beruntuk dapat menikmati buah pengalaman
yang matang.
Alangkah berbahayanya jika berita itu diterima mentah-mentah sepengal
saja. Namun, nyatanya banyak orang menyampaikan berita tidak selalu utuh. Dan
celakanya lagi, orang yang menikmati berita sepenggal itu merasa senang. Berita
Injil (kabar baik) kadang dikabarkan sepenggal-sepenggal, tidak utuh dan apa
yang tidak utuh itu kemudian dipertahankan dan dimutlakkan. Pemberitaan Injil
yang hanya menyampaikan kesuksesan, mujizat, kemenangan, berlimpahnya berkat
harta kekayaan, kepopuleran dan yang semacamnya jelas, pendeka kata sisi “kemuliaan”
adalah berita sepenggal. Belum lengkap! Namun, justeru yang belum lengkap ini
yang disukai dan orang tidak menyadari bahayanya. Sisi “kemuliaan” ini mestinya
utuh atau lengkap. Seperti apa? Tidaklah lain seperti kemuliaan yang diterima
oleh Yesus. Gambaran kemuliaan itu menjadi lengkap manakala Yesus menyelesaikan
dengan paripurna apa yang harus Ia kerjakan.
Yesus melarang para murid menceritakan peristiwa kemuliaan-Nya di atas
gunung. Ia melarang menyebarkan berita prematur. Yesus melarang setiap
pengikut-Nya untuk memberikan pengharapan berlebihan, janji-janji muluk ketika
seseorang mau menjadi pengikut-Nya. Ini berbahaya, ini masih sempal! Seolah
Yesus mau mengatakan, “bukan, bukan itu yang hendak Aku katakan! Ini hanya
gambaran konkrit, nanti kebangkitan itu nyata seperti yang kamu pandang.”
Kemuliaan itu menjadi lengkap setelah Yesus turun dari gunung itu,
wajah-Nya kembali seeperti biasa. Kemudian Ia masuk Yerusalem. Mulanya disambut
dan dielu-elukan. Namun, kemudian orang banyak berbalik, mulai menolak,
menggugat, menghina, mengejek, meludahi, mengadili dengan pengadilan palsu, memukul, menyesah dengan cambuk berduri,
memahkotai-Nya dengan duri, terakhir menancapkan paku di kaki dan tangan di
atas kayu salib kemudian menombak lambung-Nya untuk memastikan kematian-Nya.
Inilah jalan kemuliaan yang dikerjakan Yesus: via dolorosa! Melalui jalan ini kemuliaan sesungguhnya terjadi:
Kebangkitan! Tanpa kematian tidak mungkin ada kebangkitan.
Transifurasi mengajarkan kepada kita untuk mengenal kemuliaan yang
diberikan Allah Bapa secara utuh bukan sepenggal-sepenggel dan kemudian kita
memutlakkannya. Mengikut Kristus juga mestinya utuh, tidak hanya untuk mencari “kemuliaan”
sesaat dalam wujud kesuksesan dan kemakmuran melainkan dalam segala hal.
Jadilah pengikut Yesus sejati bukan sempalan. Jadilah Kristen fulltime bukan
parttime!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar