Jumat, 13 Februari 2015

DIMULIAKAN DALAM KEMULIAAN KRISTUS

Setelah tertangkap, Christopher Daniel Sjarief (22 tahun) penyebab kecelakaan maut yang merenggut 4 korban meninggal di kawasan Pondok Indah, Jakarta, menyatakan dirinya berada dalam pengaruh LSD (Lysergic Acid Diethylamide) jenis narkoba yang bisa membawa pengggunanya pada halusinasi. Sulit membedakan daya pandang: jauh dekat sama saja, tidak bisa membedakan waktu: pagi, siang, sore dan malam. Berdasarkan pengakuan itu, kepolisian langsung mengumumkan bahwa benar tersangka berada dalam pengaruh narkotika.

Selang beberapa hari kemudian, berdasarkan pemeriksanaan laboratorium yang dilakukan pihak BNN terhadap urin, darah dan kejiwaan Christopher, sama sekali tidak terbukti berada dalam pengaruh narkotika. Kali ini pun pihak kepolisian meralat berita sebelumnya dan menyatakan bahwa Christopher tidak terbukti memakai LSD seperti yang dinyatakan sebelumnya. Adalah Direktur Narkoba Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Eko Dananto menyatakan bahwa pengakuan tersangka menggunakan LSD adalah upaya cerdas tersangka untuk berkelit dari hukuman kecelakaan fatal akibat kelalaian. Menurutnya, jika Christopher mengaku dalam pengaruh narkotik dan kemudian kejiwaannya terganggu maka dalam hukum, kelalaiannya akan dipertimbangkan karena ia mengemudi dalam keadaan kurang sadar. Dan karena tidak ada barang bukti, ia hanya dikenakan pasal sebagai pengguna. Pengguna hanya bisa dipenjarakan satu tahun bersamaan dengan itu harus direhabilitasi. Sementara kalau ternyata hasil test urin dan darahnya negatif, maka dia akan terjerat kasus kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian, ia melakukan pelanggaran berat terhadap undang-undang lalu lintas dengan ancaman hukuman 12 tahun!

Sayangnya, polisi telah memberikan dua pernyataan berbeda dan hal ini telah menjadi polemik dalam masyarakat. Eko sendiri menyesalkan mengapa polisi terburu-buru menyampaikan pernyataan bahwa Christopher menggunakan LSD hanya berdasarkan pada pengakuannya sendiri, tidak melalui hasil test laboratorium. Berita yang masih prematur ketika dirilis akan menimbulkan pengaruh negatif.

Pada waktu mereka turun dari gunung itu, Yesus berpesan kepada mereka, supaya mereka jangan menceritakan kepada seorang pun apa yang telah mereka lihat itu, sebelum Anak Manusia bangkit dari antara orang mati.” (Markus 9 :9). Bukankah apa yang disaksikan Petrus, Yakobus dan Yohanes punya nilai berita yang tinggi? Mereka menyaksikan sendiri ketika Yesus berubah rupa, tubuh dan pakaiannya putih, berkilau, bermandikan cahaya. Yesus tampil dalam kemuliaan-Nya! Tidak hanya itu, dua tokoh Perjanjian Lama yang begitu besar dan dihormati, Musa dan Elia, tampak jelas mendampingi Yesus. Belum lagi Suara Langit yang menyatakan “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia.”(Mark.9:7). Ini fakta bukan halusinasi seperti orang mengkonsumsi LSD. Ini peristiwa maha dasyat ketimbang mujizat-mujizat lain. Ini wajib diberitakan! Namun, mengapa Yesus melarang memberitakannya? Bukankah misi-Nya ke dunia ini adalah untuk memberitakan kabar baik, kabar kemuliaan-Nya?

Peristiwa Yesus menampakkan diri dalam kemuliaan-Nya sering disebut dengan transfigurasi. Ketika itu Yesus berubah wajah-Nya, pakaian-Nya pun tampak putih berkilauan bermandikan cahaya. Pakaian memberi sosok bentuk pada yang memakainya. Tanpa pakaian maka sosok yang bersangkutan sulit untuk dikenali. Yesus tampak sebagai sosok “putih berkilauan”. Markus menekankan bahwa tidak ada di duni ini yang bisa membuat pakaian seputih itu. Berarti tidak ada kegelapan sedikit pun pada-Nya. Terang tak terhalang sama sekali. Petrus, Yakobus dan Yohanes menyadari, tokoh yang mereka ikuti hingga saat itu adalah Dia yang membawakan Yang Illahi tanpa menyertakan hal-hal yang menghalangi-Nya. Bahkan mereka menyaksikan sendiri terang itu memancar dalam diri-Nya. Terang itu seolah mulai menyibakkan benak mereka untuk mengerti kemesiasan Yesus yang terungkap dalam Perjanjian Lama. Mereka juga mampu mendengar suara ilahi yang meminta mereka untuk mendengarkan-Nya. Sampai di sini mereka harus mencerna, mengolahnya dalam sebuah proses utuh nanti setelah kematian dan kebangkitan-Nya.
Tubuh transfigurasi Yesus berkait erat dengan tubuh kebangkitan-Nya. Oleh karenanya, seandainya kebangkitan Kristus tidak didahului dengan transfigurasi, maka kisah kebangkitan hanya akan menjadi mitos atau sekedar halusinasi belaka. Sebab dalam peristiwa kebangkitan Yesus tidak ada saksi. Namun, kini dalam transfigurasi ketiga orang murid menyaksikannya secara langsung.

Untuk sementara, Petrus, Yakobus dan Yohanes, meski mulai tersngikap rahasia ilahi di dalam diri Yesus, bagaimana pun bagi mereka belumlah lengkap. Mereka butuh waktu untuk menggarapnya dan mengendapkannya. Karena itu mereka dilarang untuk menceritakan pengalaman yang belum utuh terolah. Jangan mengobral keyakinan yang masih prematur, itulah intinya. Perkara yang dipersaksikan perlu terjadi lebih dahulu. Yesus harus menanggung salib sampai mati dan mencapai kebangkitan. Barus setelah itu mereka boleh membicarakan kepada orang banyak bahwa memang benar Dia itu patut didengarkan. Inilah maksud larangan membicarakan apa yang mereka lihat tadi. Supaya beritanya lengkap, tidak sempal dan kemudian hari tidak dianulir seperti berita polisi yang meralat pernyataan sebelumnya. Kini , kita boleh merasa beruntuk dapat menikmati buah pengalaman yang matang.

Alangkah berbahayanya jika berita itu diterima mentah-mentah sepengal saja. Namun, nyatanya banyak orang menyampaikan berita tidak selalu utuh. Dan celakanya lagi, orang yang menikmati berita sepenggal itu merasa senang. Berita Injil (kabar baik) kadang dikabarkan sepenggal-sepenggal, tidak utuh dan apa yang tidak utuh itu kemudian dipertahankan dan dimutlakkan. Pemberitaan Injil yang hanya menyampaikan kesuksesan, mujizat, kemenangan, berlimpahnya berkat harta kekayaan, kepopuleran dan yang semacamnya jelas, pendeka kata sisi “kemuliaan” adalah berita sepenggal. Belum lengkap! Namun, justeru yang belum lengkap ini yang disukai dan orang tidak menyadari bahayanya. Sisi “kemuliaan” ini mestinya utuh atau lengkap. Seperti apa? Tidaklah lain seperti kemuliaan yang diterima oleh Yesus. Gambaran kemuliaan itu menjadi lengkap manakala Yesus menyelesaikan dengan paripurna apa yang harus Ia kerjakan.

Yesus melarang para murid menceritakan peristiwa kemuliaan-Nya di atas gunung. Ia melarang menyebarkan berita prematur. Yesus melarang setiap pengikut-Nya untuk memberikan pengharapan berlebihan, janji-janji muluk ketika seseorang mau menjadi pengikut-Nya. Ini berbahaya, ini masih sempal! Seolah Yesus mau mengatakan, “bukan, bukan itu yang hendak Aku katakan! Ini hanya gambaran konkrit, nanti kebangkitan itu nyata seperti yang kamu pandang.”

Kemuliaan itu menjadi lengkap setelah Yesus turun dari gunung itu, wajah-Nya kembali seeperti biasa. Kemudian Ia masuk Yerusalem. Mulanya disambut dan dielu-elukan. Namun, kemudian orang banyak berbalik, mulai menolak, menggugat, menghina, mengejek, meludahi, mengadili dengan pengadilan palsu,  memukul, menyesah dengan cambuk berduri, memahkotai-Nya dengan duri, terakhir menancapkan paku di kaki dan tangan di atas kayu salib kemudian menombak lambung-Nya untuk memastikan kematian-Nya. Inilah jalan kemuliaan yang dikerjakan Yesus: via dolorosa! Melalui jalan ini kemuliaan sesungguhnya terjadi: Kebangkitan! Tanpa kematian tidak mungkin ada kebangkitan.

Transifurasi mengajarkan kepada kita untuk mengenal kemuliaan yang diberikan Allah Bapa secara utuh bukan sepenggal-sepenggel dan kemudian kita memutlakkannya. Mengikut Kristus juga mestinya utuh, tidak hanya untuk mencari “kemuliaan” sesaat dalam wujud kesuksesan dan kemakmuran melainkan dalam segala hal. Jadilah pengikut Yesus sejati bukan sempalan. Jadilah Kristen fulltime bukan parttime!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar