Adven IV, Tahun B
Ketika anak-anak seusianya sibuk berjam-jam dengan gadget di tangan mereka, ketika media-media sosial begitu banyak merasuki dan digandrungi para abege, ketika senda gurau dan hubungan mesra mulai mengusik keinginan dan ketika anak-anak sebayanya sibuk merintis cita-cita di bangku sekolah, Malala Yousafzai justeru sedang sibuk memperjuangkan haknya dan hak teman-teman sebayanya agar bisa bersekolah. Adalah rezim Taliban yang melarang setiap perempuan dapat bersekolah. Ancamannya tidak tanggung-tanggung, ditembak mati!
Sejak usianya menginjak 13
tahun, Malala berjuang menantang maut dan ia hampir tewas di tangan kaum
Taliban. Pada Oktober 2012, Malala ditembak di kepalanya karena ia selalu
gencar mengampanyekan pendidikan untuk anak-anak perempuan di Pakistan.
Perjuangannya untuk sebuah keyakinan yang dianggapnya sebagai kebenaran yang
mengandung resiko dan menyita keceriaan masa mudanya berbuah manis. Dunia
mengakuinya dan menganjar dengan hadiah Nobel Perdamaian. Hari Rabu, 10
Desember 2014, ketua Komite Nobel Thorbjorn Jagland menganugerahkan Hadiah
Nobel kepada gadis berusia 17 tahun ini bersama dengan Kailash Satyarthi dari
India. Dan, Malala tercatat sebagai pemenang Nobel termuda sepanjang 113 tahun
sejarah Hadiah Nobel. Dalam sambutannya yang disaksikan oleh Raja Norwegia
Harald V, Jagland mengatakan, “Mereka adalah juara untuk perdamaian!”
Dalam pidatonya, seperti
diberitakan Kompas (11/12), Malala
mengatakan, dia berada di Oslo untuk mewakili hak anak-anak yang dilupakan dan
anak-anak yang ketakutan untuk menyuarakan semua hak mereka. Malala mengatakan
bahwa penghargaan itu tidak hanya untuk dirinya. “Ini untuk anak-anak
terlupakan yang ingin pendidikan. Hal ini untuk anak-anak yang ketakutan, yang
menginginkan perdamaian. Hal ini untuk suara mereka yang menginginkan
perubahan.” Ujarnya. Kemudian uang 1,4 juta dollar AS yang diterimanya akan
didedikasikan untuk Malala Fund, yayasan yang dibentuknya untuk memperjuangkan
nasib anak-anak perempuan agar lebih baik. Malala telah menghabiskan masa
kanak-kanak dan remajanya untuk sebuah peradaban yang lebih baik. Untuk
perjuangannya itu ada banyak pengorbanan. Masa mudanya, bahkan nyawanya sendiri
terancam. Namun, ia tetap setia dalam perjuangannya itu.
Berbeda zaman, budaya dan
konteksnya, Maria mungkin saat itu sebaya dengan Malala. Sebagaimana gadis
belia, Maria punya segudang impian untuk masa depannya. Paling jelas adalah
impian di depan mata, yakni: membangun keluarga. Bersama Yusuf, sang kekasih
sekaligus tunangannya tentu ia membayangkan sebuah kehidupan rumah tangga yang
bahagia. Paling lama setahun lagi ia bersama Yusuf akan tinggal satu rumah,
satu kamar dan menikmati indahnya bulan madu. Gambaran sukacita itu tampaknya
harus dipendam dalam-dalam ketika Malaikat Gabriel menyampaikan salam dan pesan
Ilahi bahwa ia akan segera mengandung. Dalam benaknya: ya, mungkin saja itu
terjadi sebagai buah pernikahannya dengan Yusuf. Namun, ternyata bukan seperti
itu. Yusuf sama sekali tidak terlibat dalam kehamilannya! Bagaimana mungkin
terjadi?
Maria punya rencana dan Allah
pun punya rencana di dalam dirinya. Pada kisah-kisah natal sering kali momen
pergumulan ini lalu begitu saja. Sosok Maria digambarkan begitu lugunya. Ia
tidak banyak bicara dan hanya menuruti saja skenario sang sutradara, yakni
Allah sendiri. Cobalah sejenak kita merasakan pergumulan yang berkecamuk di
dalam bathin Maria. Setelah mendapat kabar dari Gabriel bahwa dirinya akan
segera mengandung, bagaimana nanti memberitahukan kepada Yusuf, sang
kekasihnya? Akankah Yusuf dengan begitu saja percaya bahwa kehamilannya adalah
karena rencana Allah? Atau, jangan-jangan Yusuf akan memandangnya sebagai
perempuan murahan. Kalau sudah begini semua harapan akan sebuah keluarga
bahagia akan segera kandas! Lalu, seandainya pun Yusuf dapat diyakinkan,
bagaimana pula menjelaskan kepada orang tua, sanak keluarga tentang kehamilan
itu. Bukankah dalam tradisi Yahudi sepasang anak manusia yang bertunangan tidak
boleh tinggal satu atap, apalagi melakukan hubungan suami-isteri. Bagaimana
nanti reaksi masyarakat dan hukuman sosial yang harus ditanggungnya. Berbeda
dengan sanaknya, Elizabet. Bagi Elizabet, mungkin pergumulannya tidak seberat
dengan apa yang dialami Maria. Elizabet jelas-jelas sudah puluhan tahun menikah
dengan Zakharia dan wajar saja kalau ia
kemudian mengandung dan melahirkan. Masyarakat akan menerimanya.
Sungguh situasi tidak mudah
yang sedang dihadapi Maria. Maka sangat wajarlah ketika ia menanggapinya
dengan, “Bagaimana hal itu mungkin
terjadi, karena aku belum bersuami?” (Lukas 1:34). Malaikat itu mengatakan,
“Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa
Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan
kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah...Sebab bagi Allah tidak ada
yang mustahil” (Lukas 1:35, 37). Maria menyadari bahwa rencana Allah jauh
lebih besar, lebih mulia, lebih agung ketimbang rencana dan angan-angannya.
Dampak rencana Allah adalah bagi keselamatan dunia sedangkan rencana dan
cita-citanya hanya sebatas dirinya bersama Yusuf dan sanak keluarganya.
Sambil berserah dan dalam
sikap rendah hati, Maria mengamini pesan yang didengarnya itu. Katanya, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan: Jadilah
padaku menurut perkataanmu itu.”(Lukas 1:38). Maria menyebut dirinya
sebagai hamba. Tepat sekali, bukan hanya sekedar perkataan belaka. Esensi
mendasar dari seorang hamba adalah taat dan setia kepada tuannya dalam segala
hal, bahkan ketika harus berhadapan dengan resiko yang membahayakan dirinya. Maria
punya rencana, ia punya cita-cita bersama Yusuf dan tentu kaum keluarganya.
Namun, ketika Allah melalui malaikat-Nya menyatakan bahwa dirinya dipakai Tuhan
untuk rencana agungNya, Maria rela melepaskan impiannya. Ia rela hidupnya diri
dan hidupnya dipakai sepenuhnya oleh Tuhan.
Manusia pada umumnya dapat
taat dan setia ketika melihat di depannya ada upah atau keuntungan yang
setimpal dengan resiko atau pengorbanan yang diberikannya. Contohnya, dapat
kita lihat pada loyalis partai atau
tokoh politik tertentu. Mereka bersedia membela, mendukung bahkan membukam
nuraninya demi membela sang tokoh. Mengapa? Karena sudah jelas, di ujungnya
nanti akan mendapat posisi tertentu. Maria, taat dan setia kepada rencana Tuhan
ketika ia belum tahu dan mengerti posisi seperti apa yang akan dia peroleh. Ia
menjalani saja sampai akhir hidupnya. Namun, ternyata Tuhan memuliakan dia
sebagai perempuan yang paling berbahagia. Demikian juga dengan Malala, ia
berjuang bukan untuk sebuah penghargaan. Malala berjuang untuk sebuah masa
depan kaumnya yang lebih baik. Ia tidak mencanangkan tindakannya untuk sebuah
penghargaan. Namun, apa yang tidak dicarinya, dunia menghormatinya.
Anda dan saya punya rencana, keinginan, cita-cita dan
harapan. Tuhan juga punya rencana dengan hidup kita. Kita sering menyebut diri
hamba-Nya atau anak-anak-Nya, manakah yang kita dahulukan? Apakah rencana dan
ambisi diri sendiri atau rencana dan kehendak-Nya? Sudahkah kita berupaya untuk
mencari dan menemukan kehendak-Nya dalam hidup kita dan kemudian menyesuaikan
rencana hidup kita dalam rencana-Nya? Ataukah malah sebaliknya, kita terus
berupaya supaya melibatkan dan mengatur Tuhan dalam rencana dan ambisi kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar