Kamis, 04 Desember 2014

PEKA DAN HIDUP DALAM PEMBARUAN


Adven II, Tahun B
 

Harian Kompas tanggal 3 Desember 2014 dalam kolom Internasional menurunkan berita “ 1,7 Juta Pengungsi Terancam, Kelompok Milisi Al Shabab Kembali Membantai Warga.” Selanjutnya, dalam berita itu dikatakan, “Para pengungsi Suriah itu meninggalkan negara asal mereka yang dilanda konflik sejak Maret 2011. Hampir 200.000 warga tewas. Menurut data PBB, sekitar 3,2 juta warga Suriah mengungsi ke negara-negara tetangga, dan lebih dari 7,2 juta warga terusir dari kampung halaman mereka.” Kemudian di Kenya, kelompok milisi Al Shabab beraksi lagi setelah beberapa waktu lalu membantai 28 warga non-Muslim. Selasa, 2 Desember 2014 mereka membantai 36 pekerja tambang di Kenya. Penyerang memberondong dengan tembakan ke tenda-tenda, tempat para pekerja itu tidur. Bayangkan, jika Anda adalah salah seorang dari pengungsi dan korban pembantaian itu? Apa yang Anda harapkan?

Tentunya, PBB segera bertindak: Perogram Pangan Dunia (WFP) tidak menghentikan kucuran dana untuk penyediaan pangan dan air bersih dan yang terutama Dewan Keamanan PBB segera bertindak menghentikan konflik yang berkepanjangan ini. Namun, nyatanya sampai saat ini pembantaian terus terjadi, kelaparan melanda jutaan orang dan puluhan juta lagi hidup dengan tanpa pengharapan!

Hidup tanpa pengharapan di bawah penindasan dan aniaya, barang kali kata itu yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan umat Allah pada masa Yesaya. Mereka ditindas oleh Babel, Asyur dan Persia. Mereka dipaksa harus keluar dari negeri perjanjian. Ada tiga tahap pembuangan (605 SM, 597 SM, dan terakhir 586 SM, ketika Yerusalem diluluhlantakkan). Nyawa mereka tidak ada harganya, kapanpun dan dengan cara apa pun si penindas itu dapat membinasakan mereka. Sekali lagi, mari Anda bayangkan jika Anda hidup pada masa itu dan menjadi salah seorang dari warga Israel, apa yang akan Anda lakukan? Sangat mungkin harapan pun sudah tidak punya. Air mata ratapan pun barang kali sudah kering! Bayangkan, kalau Suriah dan Kenya baru mengalami 3 atau 4 tahun setelah ISIS dan Al Shabab terbentuk, Israel mengalaminya selama 70 tahun! Untuk itu, kita bisa memahami kalau banyak di antara mereka yang kecewa dan frustasi larut dalam kesedihan. Bahkan, sangat mungkin definisi sedih juga sudah kabur dari benak mereka. Dalam, situasi seperti ini sang nabi menyampaikan orakel-Nya, “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku,...tenangkanlah hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya, bahwa perhambaannya sudah berakhir; bahwa kesalahannya telah diampuni,...” (Yesaya 40:1,2)

Bagi sang nabi, penderitaan dan aniaya yang dialami umat Israel bukan karena allah para bangsa yang menganiaya itu lebih jagoan ketimbang TUHAN mereka. Bukan, bukan begitu! Namun, oleh karena umat TUHAN itu telah banyak berbuat dosa. Mereka membelakangi dan mengingkari TUHAN. Dosa, yang menurut Jurgen Moltmann akan berbuah ketiadaan pengharapan. Pada jamannya, janji-janji pemulihan dari TUHAN itu digenapi dengan mengutus para hamba-Nya untuk memulihkan keadaan Yerusalem. Namun, sejarah juga membuktikan bagaimana mereka, umat TUHAN itu seolah tidak kapok. Jatuh bangun dan jatuh lagi dalam kubangan dosa yang sama, yakni membelakangi Allah. Jika demikian mestinya ada cara tuntas yang dikerjakan Allah untuk mengatasi akar masalah penderitaan mnusia ini. Cara itu adalah hadirnya Sang Mesias di bumi ini.

Dalam terang ini kita bisa melihat bahwa Yesaya 40:1-11 bukan saja berita pengharapan dan janji Allah bagi Israel yang sedang teraniaya. Dalam konteks iman, Israel mewakili kita dalam kehidupan yang terbelenggu dosa. Oleh karenanya nubuat Yesaya ini merupakan sebuah pengharapan akan janji Allah. Ya, janji yang holistik, menyeluruh untuk sebuah kehidupan yang dipulihkan. Janji ini bukanlah pengharapan utopis yang tidak pernah tergenapi. Dalam keyakinan kristiani janji itu telah digenapi sepenuhnya dalam diri Yesus Kristus! Hal ini menjadi semakin jelas apabila kita membacanya dalam terang Injil.

Kutipan dari Yesaya 40:3 dalam Markus 1:3 menjadi makin besar artinya bila ikut disimak konteksnya dalam tulisan Yesaya sendiri, yaitu  Yesaya 40:1,2 yang diperdengarkan dalam bacaan pertama hari ini: “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikian firman Allahmu...” Begitu sang nabi menyampaikan pesan ilahi kepada kekuatan-kekuatan surgawi menghibur umat Israel yang waktu itu berada dalam pembuangan di Babilonia. Umat tidak perlu kecil hati, yang terburuk sudah lewat.

Dalam Yesaya 40:3, sang nabi menyebut diri sebagai suara yang berseru-seru menyampaikan kepada kekuatan-kekuatan tadi agar mereka juga mempersiapkan jalan, meluruskan lorong-lorongnya, meratakannya bagi perjalanan-Nya ini. Bagi Markus, suara yang berseru-seru itu ialah Yohanes Pembaptis. Markus, sangat peka akan apa yang terjadi di jamannya, dengan begitu, Yohanes ditampilkan Markus sebagai nabi yang mengenali suara ilahi dan kehendak-Nya dan berani menyuarakannya kepada bala tentara sorgawi tadi.

Orang-orang berdatangan kepadanya di padang gurun. Yohanes  menyeru, sekali lagi dalam pemikiran Markus, kepada kekuatan-kekuatan surgawi untuk menyiapkan jalan bagi mereka ini agar nanti dapat kembali lewat jalan lurus, rata bersama dengan dia yang kini akan menuntun mereka kembali....yaitu diumumkan kedatangannya. Dia yang jauh lebih besar dari dirinya. Markus memperkenalkan Yesus lewat tokoh yang dalam anggapan umum pada jamannya dapat mengenali gerak-gerik ilahi dan tetap membiarkannya bertindak menurut kehendak-Nya. Dia itulah Yohanes Pembaptis. Kisah ini kisah bagi hidup batin, bukan cerita tentang seorang yang membaptis di padang gurun. Bila ditanggkap dalam arti itu, kesaksiannya membantu orang pada zaman lain. Yohanes Pembaptis ada dalam diri tiap orang yang dengan tulus menantikan Yang Ilahi datang membimbing hidup orang beriman (Sumber: Agustinus Gianto, Wah...apa itu? kumpulan ulasan injil, Kanisius 2007).

Kalau Yohanes, dalam terang batin, bisa ada dalam diri tiap orang yang dengan tulus menantikan Yang Ilahi datang membimbing, pertanyaanya: “Apakah salah satunya adalah kita?” Mestinya kita ada pada arus ini: menantikan dan sekaligus menyiapkan jalan bagi-Nya. Jelas bukan secara harafiah, dengan buldozer dan alat berat kita menutup lembah dan mengeruk bukit serta meluruskan jalan, kalau itu sih cukup PU saja yang mengerjakannya. Jelas ini makna kiasan! Kita dipanggil untuk menyiapkan diri hidup dalam kebenaran dan membawa orang hidup dalam kebenaran-Nya. Tentu untuk tugas mulia itu tidak mudah. Yang harus kita lakukan adalah “meluruskan jalan” bagi diri sendiri terlebih dahulu. Di sinilah, kita pun memerlukan “Yohanes Pembaptis” masa kini. Siapa dia? Tidak lain adalah orang-orang yang dipakai TUHAN untuk mengingatkan dan meluruskan jalan yang kita tempuh.

Yohanes Pembaptis masa kini, bisa hadir dalam sosok hamba TUHAN yang memberitakan firman-Nya, ia bisa mewujud dalam diri orang terdekat dalam hidup kita: pasangan, anak, atau orang tua. Atau bisa saja ia hadir sebagai teman seperjalanan menuju sebuah kota. Sangat mungkin Yohanes Pembaptis masa kini menjelma sebagai bawahan kita, pendeknya siapa pun dapat dipakai TUHAN untuk menyerukan pertobatan. Jadi, jika TUHAN bisa memakai siapa saja, termasuk Anda dan saya sebagai Yohanes Pembaptis masa kini, maka yang diperlukan dari kita adalah mengasah kepekaan. Peka terhadap pesan yang disampaikan untuk sebuah pembaruan dan pertobatan hidup kita. Tak dapat disangkal bahwa subyek pembawa pesan itu yang menentukan kita menerima atau tidak pesan itu. Nah, cobalah sekarang teliti dan cermati jika pesan itu menyampaikan kebenaran dari TUHAN, siapa pun yang menyampaikannya, jika itu pesan kebenaran maka semestinya kita akan bisa menerima dan mensyukurinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar