Adven II, Tahun B
Harian Kompas tanggal 3 Desember 2014 dalam kolom Internasional menurunkan
berita “ 1,7 Juta Pengungsi Terancam, Kelompok Milisi Al Shabab Kembali
Membantai Warga.” Selanjutnya, dalam berita itu dikatakan, “Para pengungsi
Suriah itu meninggalkan negara asal mereka yang dilanda konflik sejak Maret
2011. Hampir 200.000 warga tewas. Menurut data PBB, sekitar 3,2 juta warga
Suriah mengungsi ke negara-negara tetangga, dan lebih dari 7,2 juta warga
terusir dari kampung halaman mereka.” Kemudian di Kenya, kelompok milisi Al
Shabab beraksi lagi setelah beberapa waktu lalu membantai 28 warga non-Muslim.
Selasa, 2 Desember 2014 mereka membantai 36 pekerja tambang di Kenya. Penyerang
memberondong dengan tembakan ke tenda-tenda, tempat para pekerja itu tidur.
Bayangkan, jika Anda adalah salah seorang dari pengungsi dan korban pembantaian
itu? Apa yang Anda harapkan?
Tentunya, PBB segera
bertindak: Perogram Pangan Dunia (WFP) tidak menghentikan kucuran dana untuk
penyediaan pangan dan air bersih dan yang terutama Dewan Keamanan PBB segera
bertindak menghentikan konflik yang berkepanjangan ini. Namun, nyatanya sampai
saat ini pembantaian terus terjadi, kelaparan melanda jutaan orang dan puluhan
juta lagi hidup dengan tanpa pengharapan!
Hidup tanpa pengharapan di
bawah penindasan dan aniaya, barang kali kata itu yang paling tepat untuk menggambarkan
keadaan umat Allah pada masa Yesaya. Mereka ditindas oleh Babel, Asyur dan Persia.
Mereka dipaksa harus keluar dari negeri perjanjian. Ada tiga tahap pembuangan
(605 SM, 597 SM, dan terakhir 586 SM, ketika Yerusalem diluluhlantakkan). Nyawa
mereka tidak ada harganya, kapanpun dan dengan cara apa pun si penindas itu
dapat membinasakan mereka. Sekali lagi, mari Anda bayangkan jika Anda hidup
pada masa itu dan menjadi salah seorang dari warga Israel, apa yang akan Anda
lakukan? Sangat mungkin harapan pun sudah tidak punya. Air mata ratapan pun
barang kali sudah kering! Bayangkan, kalau Suriah dan Kenya baru mengalami 3
atau 4 tahun setelah ISIS dan Al Shabab terbentuk, Israel mengalaminya selama
70 tahun! Untuk itu, kita bisa memahami kalau banyak di antara mereka yang
kecewa dan frustasi larut dalam kesedihan. Bahkan, sangat mungkin definisi
sedih juga sudah kabur dari benak mereka. Dalam, situasi seperti ini sang nabi
menyampaikan orakel-Nya, “Hiburkanlah,
hiburkanlah umat-Ku,...tenangkanlah hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya,
bahwa perhambaannya sudah berakhir; bahwa kesalahannya telah diampuni,...”
(Yesaya 40:1,2)
Bagi sang nabi, penderitaan
dan aniaya yang dialami umat Israel bukan karena allah para bangsa yang
menganiaya itu lebih jagoan ketimbang TUHAN mereka. Bukan, bukan begitu! Namun,
oleh karena umat TUHAN itu telah banyak berbuat dosa. Mereka membelakangi dan
mengingkari TUHAN. Dosa, yang menurut Jurgen Moltmann akan berbuah ketiadaan
pengharapan. Pada jamannya, janji-janji pemulihan dari TUHAN itu digenapi
dengan mengutus para hamba-Nya untuk memulihkan keadaan Yerusalem. Namun,
sejarah juga membuktikan bagaimana mereka, umat TUHAN itu seolah tidak kapok.
Jatuh bangun dan jatuh lagi dalam kubangan dosa yang sama, yakni membelakangi
Allah. Jika demikian mestinya ada cara tuntas yang dikerjakan Allah untuk
mengatasi akar masalah penderitaan mnusia ini. Cara itu adalah hadirnya Sang
Mesias di bumi ini.
Dalam terang ini kita bisa
melihat bahwa Yesaya 40:1-11 bukan saja berita pengharapan dan janji Allah bagi
Israel yang sedang teraniaya. Dalam konteks iman, Israel mewakili kita dalam
kehidupan yang terbelenggu dosa. Oleh karenanya nubuat Yesaya ini merupakan
sebuah pengharapan akan janji Allah. Ya, janji yang holistik, menyeluruh untuk
sebuah kehidupan yang dipulihkan. Janji ini bukanlah pengharapan utopis yang
tidak pernah tergenapi. Dalam keyakinan kristiani janji itu telah digenapi
sepenuhnya dalam diri Yesus Kristus! Hal ini menjadi semakin jelas apabila kita
membacanya dalam terang Injil.
Kutipan dari Yesaya 40:3 dalam
Markus 1:3 menjadi makin besar artinya bila ikut disimak konteksnya dalam
tulisan Yesaya sendiri, yaitu Yesaya
40:1,2 yang diperdengarkan dalam bacaan pertama hari ini: “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikian firman Allahmu...”
Begitu sang nabi menyampaikan pesan ilahi kepada kekuatan-kekuatan surgawi
menghibur umat Israel yang waktu itu berada dalam pembuangan di Babilonia. Umat
tidak perlu kecil hati, yang terburuk sudah lewat.
Dalam Yesaya 40:3, sang nabi
menyebut diri sebagai suara yang berseru-seru menyampaikan kepada
kekuatan-kekuatan tadi agar mereka juga mempersiapkan jalan, meluruskan
lorong-lorongnya, meratakannya bagi perjalanan-Nya ini. Bagi Markus, suara yang
berseru-seru itu ialah Yohanes Pembaptis. Markus, sangat peka akan apa yang
terjadi di jamannya, dengan begitu, Yohanes ditampilkan Markus sebagai nabi
yang mengenali suara ilahi dan kehendak-Nya dan berani menyuarakannya kepada
bala tentara sorgawi tadi.
Orang-orang berdatangan
kepadanya di padang gurun. Yohanes
menyeru, sekali lagi dalam pemikiran Markus, kepada kekuatan-kekuatan
surgawi untuk menyiapkan jalan bagi mereka ini agar nanti dapat kembali lewat
jalan lurus, rata bersama dengan dia yang kini akan menuntun mereka kembali....yaitu
diumumkan kedatangannya. Dia yang jauh lebih besar dari dirinya. Markus
memperkenalkan Yesus lewat tokoh yang dalam anggapan umum pada jamannya dapat
mengenali gerak-gerik ilahi dan tetap membiarkannya bertindak menurut
kehendak-Nya. Dia itulah Yohanes Pembaptis. Kisah ini kisah bagi hidup batin,
bukan cerita tentang seorang yang membaptis di padang gurun. Bila ditanggkap
dalam arti itu, kesaksiannya membantu orang pada zaman lain. Yohanes Pembaptis
ada dalam diri tiap orang yang dengan tulus menantikan Yang Ilahi datang
membimbing hidup orang beriman (Sumber: Agustinus Gianto, Wah...apa itu? kumpulan ulasan injil, Kanisius 2007).
Kalau Yohanes, dalam terang
batin, bisa ada dalam diri tiap orang yang dengan tulus menantikan Yang Ilahi
datang membimbing, pertanyaanya: “Apakah salah satunya adalah kita?” Mestinya
kita ada pada arus ini: menantikan dan sekaligus menyiapkan jalan bagi-Nya.
Jelas bukan secara harafiah, dengan buldozer dan alat berat kita menutup lembah
dan mengeruk bukit serta meluruskan jalan, kalau itu sih cukup PU saja yang
mengerjakannya. Jelas ini makna kiasan! Kita dipanggil untuk menyiapkan diri
hidup dalam kebenaran dan membawa orang hidup dalam kebenaran-Nya. Tentu untuk
tugas mulia itu tidak mudah. Yang harus kita lakukan adalah “meluruskan jalan”
bagi diri sendiri terlebih dahulu. Di sinilah, kita pun memerlukan “Yohanes
Pembaptis” masa kini. Siapa dia? Tidak lain adalah orang-orang yang dipakai
TUHAN untuk mengingatkan dan meluruskan jalan yang kita tempuh.
Yohanes Pembaptis masa kini, bisa hadir dalam sosok
hamba TUHAN yang memberitakan firman-Nya, ia bisa mewujud dalam diri orang
terdekat dalam hidup kita: pasangan, anak, atau orang tua. Atau bisa saja ia
hadir sebagai teman seperjalanan menuju sebuah kota. Sangat mungkin Yohanes
Pembaptis masa kini menjelma sebagai bawahan kita, pendeknya siapa pun dapat
dipakai TUHAN untuk menyerukan pertobatan. Jadi, jika TUHAN bisa memakai siapa
saja, termasuk Anda dan saya sebagai Yohanes Pembaptis masa kini, maka yang
diperlukan dari kita adalah mengasah kepekaan. Peka terhadap pesan yang
disampaikan untuk sebuah pembaruan dan pertobatan hidup kita. Tak dapat
disangkal bahwa subyek pembawa pesan itu yang menentukan kita menerima atau
tidak pesan itu. Nah, cobalah sekarang teliti dan cermati jika pesan itu
menyampaikan kebenaran dari TUHAN, siapa pun yang menyampaikannya, jika itu
pesan kebenaran maka semestinya kita akan bisa menerima dan mensyukurinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar