Adven III, Tahun B
Tepat sekali, negeri ini
memerlukan “revolusi mental”. Kebobrokan yang berpuluh-pulh tahun ditutupi kini
nyata-nyata terlihat, praktek-praktek keji korupsi, penyelewengan kekuasaan, penindasan
dalam segala bentuk, kekerasan demi kekerasan, pengrusakan lingkungan, dan
seabreg lagi kebobrokan moral yang kalau diurai satu-persatu kita akan
kehabisan waktu untuk membicarakannya, hanya bisa diatasi dengan revolusi
mental. Sebab semua yang disebutkan tadi adalah buah dari mentalitas yang
rusak. Yohanes memakai kata “bertobat!”
Mengapa Yohanes Pembaptis
menyerukan pertobatan? Pada zamannya, di negerinya, sedang terjadi krisis
identitas nasional. Ajaran nenek moyang dan kepercayaan turun-temurun bahwa
mereka adalah bangsa pilihan Allah semakin jauh dari kenyataan. Pada
kenyataannya, Israel tidak lebih baik dari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah.
Bahkan, dalam beberapa hal jauh lebih biadab. Mereka berpikir bahwa yang
terpenting adalah memelihara kultus di Bait Allah itu yang akan membawa mereka
dimuliakan Allah, kehidupan moralitas adalah perkara yang berbeda dan tidak
akan menghilangkan status umat pilihan. Sementara di sisi lain begitu banyak
rakyat miskin yang tertindas, orang semakin kecewa dan apatis. Mereka semakin
merasa sebagai mangsa kekuatan-kekuatan yang menghimpit mereka sebagai umat
Tuhan. Harapan satu-satunya adalah kembali kepada janji-janji Allah tentang
munculnya Sang Mesias; Dia yang diurapi yang akan membawa perubahan radikal.
Di situlah Yohanes bersuara
lantang agar umat kembali kepada jalan yang benar; bertobat! Ibarat oase di
padang gurun gersang, Yohanes menjadi tumpuan harapan orang-orang pencari
kebenaran. Dengan gayanya yang eksentrik dan perkataan tanpa tedeng
aling-aling, tanpa takut dan dengan sekejap saja, Yohanes telah menjadi
populer. Ada banyak orang datang kepadanya. Namun, mereka yang datang itu belum
tentu mau belajar darinya. Bisa jadi mereka datang dengan angan-angan mereka
sendiri. Angan-angan itu terbukti dengan spontan mereka menyebutnya Mesias,
Elia dan salah seorang nabi yang akan datang. Namun, Yohanes tidak mau
meninabobokan angan-angan mereka dan kemudian mengambil keuntungan dari popularitas
yang sedang naik daun itu sebagai sebuah kesempatan untuk membesarkan dirinya.
Di tengah-tengah kerumunan
masa yang memaksanya mengungkapkan siapa dirinya, ia mengatakan, “Aku bukan Mesias, bukan Elia, atau nabi yang
akan datang!”. Yohanes bersaksi bahwa ia bukanlah Sang Mesias itu. Sangat
mungkin masyarakat melihat gaya, penampilan dan orasinya memenuhi cici-ciri
kemesiasan. Bukankah ini kesempatan berharga dan langka kalau Yohanes
mengiayakan saja pernyataan mereka dan dampaknya ia akan disanjung. Namun, ia
tidak mengambil kesempatan itu. Yohanes tegas mengatakan bahwa dirinya bukan
Mesias, itu artinya ia bukan orang yang dinantikan kedatangannya untuk
memulihkan umat ke dalam kondisi yang semestinya.
Yohanes menyatakan bahwa ia
juga bukan Elia, seorang nabi besar yang diangkat Allah ke sorga dan dipercaya
akan datang kembali menjelang akhir zaman. Bukankah ini juga sebuah kesempatan
buat Yohanes untuk mendapat penghormatan sebagai nabi besar setara Elia, gaya
berpakaian, cara hidup dan kharisma Elia itu melekat pada dirinya. Namun,
dengan tegas ia mengatakan bahwa dirinya bukan Elia. Karena ia tidak membawa
pesan bahwa akhir zaman sudah di ambang pintu. Yang ia beritakan Mesias sudah
datang!. Ia juga menolak disebut sebagai nabi yang akan datang, sebab iapada
waktu itu orang-orang meyakin bahwa seorang nabi akan datang mendahului akhir
zaman. Yohanes merasa tidak dalam kapasitasnya itu.
Setelah sederetan penyangkalan
itu, Yohanes menyatakan jati dirinya. Ia menyatakan bahwa dirinya adalah orang
yang berseru-seru di padang gurun. Ia tampil sebagai penggenapan dari nubuat
Yesaya 40:3. Yohanes hanyalah seorang utusan, seorang yang memberitakan martyria, yaitu kesaksian mengenai siapa
Mesias sebenarnya. Mesias yang sedang datang itu. Yang diharapkannya adalam
setiap orang yang mendengar kesaksiannya itu datang kepadaNya. Kebesaran hati
Yohanes terlihat di sini: ia tidak berupaya agar orang-orang yang tertarik dan
datang kepadanya menjadi loyalis atau pengikut setianya. Namun, ia menunjukkan
arah sebenarnya yang harus diikuti oleh para pendengarnya. Yohanes berbeda dari
kebanyakan rabi atau guru Yahudi yang bangga kalau banyak pengikutnya. Ia sadar
akan tugas yang diembannya, tidak melebih-lebihkan dan tidak mengurang-ngurangi:
sebagai seorang pembuka jalan yang menghantar orang kepada Mesias yang
sesungguhnya itu.
Yohanes menyatakan dirinya
tidak lebih dari seorang hamba. Pada bagian selanjutnya, mereka yang tidak puas
dengan jawaban Yohanes menggugatnya, “Mengapa
engkau membaptis, jikalau engkau bukan Mesias, bukan Elia, dan bukan nabi yang
akan datang?” Yohanes menjawab, “Aku
membaptis mereka dengan air; tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang
tidak kamu kenal, yaitu Dia yang datang kemudian dari padaku. Membuka tali
kasut-Nya pun aku tidak layak.” (Yohanes 1:25-27). Membuka tali kasut
adalah pekerjaan seorang budak. Pada zaman itu, seorang murid terbiasa untuk
menyediakan makanan, mencucikan pakai dan menyediakan semua yang diperlukan
oleh gurunya. Namun, tidak dalam hal membuka tali kasut. Itu pekerjaan budak!
Yohanes yang sudah kondang dan begitu dihormati, ia menempatkan dirinya sebagai
budak! Yohanes merndahkan diri, namun tidak rendah diri.
Banyak orang tergoda untuk mengambil lebih atau
mengurangi mandat yang dipercayakan kepadanya. Tujuannya, untuk memperoleh
keuntungan bagi diri sendiri. Pada Minggu Adven ke-3 ini kita belajar dari
kerendahan hati Yohanes Pembaptis. Yohanes, dalam tugasnya mempunyai kesempatan
namun tidak digunakannya untuk kepentingan sendiri. Yohanes menempatkan diri
sebagai budak agar orang banyak datang kepada Sang Mesias. Seringnya yang
terjadi ada banyak orang menempatkan diri sebagai tuan sehingga orang banyak
menjadi terhalang untuk sampai kepada Tuan yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar