Selasa, 23 Desember 2014

RAJA DAMAI TELAH DATANG

“Radikalisme yang Mengail di Air Keruh” demikian headline Kompas hari ini (23/12). Headline itu seakan merefleksikan kembali benih-benih radikalisme agama yang muncul ke permukaan dalam bentuk teror. Serangan teror 11 September 2001 telah mengubah wajah dunia secara keseluruhan. Amerika Serikat menginisiasi perang melawan teror, yang mencapai puncaknya 10 tahun kemudian dengan tewasnya Osama bin Laden, pemimpin Al-Qaeda yang dituding berada di balik serangan 11/9 itu.

Beberapa bulan sebelum Bin Laden tewas, gerekan massa pro-demokrasi bergulir di dunia Arab. Musim Semi Arab, demikian fenomena itu dikenal, memberi harapan bertiupnya angin kebebasan den demokrasi. Ideologi Al-Qaeda dan kekerasan kelompok radikal pun terasa mulai ketinggalan zaman. Namun, harapan tingal harapan. Pada akhir 2014, bukan ideologi radikal, melainkan prediksi keruntuhannya yang berantakan. Seperti ditulis Peter Neumann, perofessor ilmu keamanan dari King’s College London, Inggris, Al-Qaeda dan kelompok sempalannya mengail di air keruh, mengambil keuntungan dari konflik dan ketidakstabilan politik yang muncul. Termasuk di negara-negara yang dilanda Musim Semi Arab.

Faktanya, Pusat Internasional Studi Radikalisme (ICSR) bekerjasama dengan BBC mencatat, sepanjang November 2014 terjadi 664 serangan kelompok radikal dan menewaskan 5.042 orng. Jumlah korban itu jauh lebih banyak daripada orang yang kehilangan nyawanya pada serangan 9/11. Munculnya kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang menguasai sebagian wilayah dua negara itu menjadi pusaran utama kebrutaran tersebut. Namun, serangan kelompok radikal ini juga terjadi sekurangnya di 12 negara lain.

Padabulan ini hampir 800 orang tewas di Nigeria akibat kekejaman Boko Haram. Jumlah korban hampir sama tercatat di Afganistan karena ulah Taliban. Ratusan orang meregang nyawa karena perbuatan Al-Qaeda di Jazirah Arab di Yaman dan Al-Shabab di Somalia. Terakhir, Tehreek-el-Taliban di Pakistan menyerang sekolah yang dikelola militer di Pesawar, Pakistan, menewaskan tidak kurang dari 132 siswa.(sumber: Kompas 23 Desember 2014, hlm.1)

Itu tadi, rangkuman peristiwa kekerasan yang tampak ke permukaan. Fenomena ini bagai gunung es, bisa jadi korban akibat kekerasan radikalisme itu jauh lebih banyak dan lebih sadis! Benar, dunia dan kita semua membutuhkan damai! Lalu, damai seperti apa dan dengan cara bagaimana? Apakah memberangus radikalisme dan para teroris kemudian dapat menghentikan kekerasan yang sedang terjadi. Analisis di atas ternyata tidak membuktikan itu. Alih-alih berhenti setelah Osama bin Laden dibunuh, malah kekerasan radikalisme dan teror terus menyebar. Bagaikan sel kanker yang tersentuh pisau, ia akan segera menyebar ke bagian-bagian tubuh yang lain. Kalau begitu, mestinya ada cara lain menghentikan kekerasan dan teror itu.

Tepatlah apa yang diajarkan Yesus bahwa kejahatan jangan dilawan dengan kejahatan melainkan dengan kebaikan! Damai itu akan terjadi bukan dengan pembalasan kekerasan lagi melainkan dengan kesediaan membuka diri dan memeahami pihak lain. Pada titik ini, selalu ada alasan untuk menyanggah apalagi jika kitalah yang menjadi korban dari kekerasan itu. Sebenarnya, pengalaman empiris kita sudah banyak membuktikan keberhasilan perdamaian itu bukan dengan mengangkat senjata atau membalaskan dendam melainkan dengan kasih!

Kita masih ingat peristiwa lain yang menggegerkan dunia. Penyanderaan di Lindt Chocolate Cafe, Sydney. Seorang pria bersenjata,.......sekejap mata peristiwa ini menyebar ke seluruh dunia. Dan tentu saja dunia dan Australia khusunya marah. Mereka marah bukan saja kepada si pelaku penyanderaan tetapi juga terhadap kaum Muslim. Kebencian itu kian merebak sehingga menimbulkan ketakutan luar biasa di kalangan kaum Muslim Australia. Mereka takut menjadi sasaran balas dendam. Cerita ini bermula di dalam kereta di kota Brisbane. Rachael Jacobs mengecek ponselnya untuk mencari berita baru tentang penyanderaan di Lindt Chocolate Cafe, Sydney. Pada saat itu matanya tertuju pada seorang wanita berjilbab yang duduk di kejauhan sedang melihat ponselnya dengan cemas dan takut wanita itu kemudian mulai mencopot jilbabnya.

Melihat pemandangan itu, hati Rachael Jacobs berkecamuk: ia merasakan amarah, rasa sedih dan pahit. Dia kemudian mengirim status pertamanya di Facebook dengan harapan kawan-kawannya bisa mengambil momen sejenak untuk tidak hanya fokus kepada para sandera melainkan memikirkan juga “korban lain” yang tidak berada dalam kafe itu, yakni warga Muslin di Australia, yang sangat mungkin menjadi sasaran balas dendam serangan antimuslim setelah penyanderaan itu.

Jacobs ingin berbicara dengan wanita itu namun ia tidak tahu bagaimana memulainya. Ia ingin mengatakan rasa sesalnya atas banyak hal. Entah kebetulan atau bukan, Jacobs ternyata turun di stasiun yang sama dengan wanita tersebut dan ia merasakan dorongan untuk berkata sesuatu kepada wanita itu. Namun, kembali tidak ada kata-kata yang keluar hingga akhirnya dia mengejar wanita tersebut.

“Saya katakan, ‘Kenakan (jilbabmu) lagi. Saya akan berjalan denganmu.’ Dia mulai menangis dan memelukku sekitar satu menit. Kemudian berjalan pergi,” tulisnya lewat status di Fasbook. Salah seorang temannya dengan akun @sirtessa kemudian meneruskan status itu di Twitter dan... status itu menjadi gerakan yang diikuti oleh ribuan orang.  Setiap menitnya, sebanyak 73 orang meneruskan pesan #illridewithyou dan terus berkembang menjadi 120.000 kicauan. Sejumlah politisi, pekerja media dan bintang olahraga juga ikut meneruskan dan mendukung kampanye itu!

Tak pelak lagi, kepedulian Rachael Jacobs dapat menghentikan semangat balas dendam. Apa jadinya jika kebencian, pembalasan itu menjadi gerakan massa? Tidak akan terjadi kehidupan damai! Apa yang dilakukan Rachael Jacobs sangat kontras dengan militer Amerika dan sekutunya dalam menciptakan perdamaian di dunia ini!

Melihat pengalaman Rachael Jacobs, bukankah ini adalah pengalaman sederhana. Sesederhana ketika kita berjumpa di stasiun, pasar, mall dan di mana-nama. Kita akan berjumpa dengan orang yang berbeda, prilaku dan minat berbeda. Masalahnya, apakah di situ kita juga punya kepedulian? Rata-rata kita punya ponsel, punya akun Facebook, Twitter, BBM, dan macam-macam media sosial. Nah, apakah itu juga menjadi sarana kita menebarkan kedamaian? Atau sebaliknya, menebar kebencian, fanatisme sempit?

Pesan damai itu sederhana, Natal adalah damai. Ya, Sang Raja Damai sudah datang! Dia hadir dengan begitu sederhana, di kandang domba hingga orang-orang dari kelas paling sederhana pun tidak sungkan menghampirinya. Kabar lahirnya Raja Damai itu pertama kali disampaikan malaikat Tuhan kepada orang-orang sederhana, para gembala di padang Efrata. Mereka sering kali tidak diperhitungkan, cenderung dikesampingkan dan dianggap bodoh. Namun, justeru merekalah yang pertama-tama melihat Sang Raja itu. Mereka pulang dan bersukacita dan memuliakan Allah.

Kita mungkin bukan orang-orang “besar”, namun bukan menjadi alasan untuk diam! Justeru Tuhan memakai orang-orang sederhana dengan cara sederhana untuk menghadirkan damai sejahtera di bumi! Selamat Hari Natal, Damai Sejahtera Di Bumi! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar